Header Ads

PENJELASAN RINCI TENTANG HUKUM MENDIRIKAN SHOLAT JUM'AT DI MASJID YANG BELUM DIWAKAFKAN

Sumber Channel Telegram: MaktabahFairuzAddailamiy

PENJELASAN RINCI TENTANG HUKUM MENDIRIKAN SHOLAT JUM'AT DI MASJID YANG BELUM DIWAKAFKAN

 الحمد لله رب العالمين، وأشهد لأن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، صلى لله عليه وعلى آله وسلم. وبعد: 

Maka sungguh saya telah ditanya berulang kali tentang hukum mendirikan shalat Jum’at di masjid yang belum diwakafkan, kemudian saya menjawab sesuai dengan fatwa sebagian ulama bahwasanya hal itu tidak boleh. Sebagian hujjah para ulama adalah: karena jika hal ini dibuka luas: setiap orang akan berlomba-lomba membuat masjid sendiri di dekat masjid wakaf, sehingga membuat perpecahan umat di wilayah tadi.


Kemudian datanglah pada saya dua orang ustadz yang mulia: Abu Tsumamah dan putra beliau Akhuna Tsumamah dari Boyolali untuk memastikan kembali fatwa yang rajih tentang masalah tadi.
Lalu saya memeriksa kembali hujjah-hujjah yang ada, dan juga praktek para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mana kebanyakan dari mereka menegakkan shalat-shalat Jum’at di masjid yang bukan masjid Jami’, sehingga terbentuk kesimpulan bahwasanya: pensyaratan ditegakkannya shalat Jum’at di masjid Jami’ saja adalah tidak betul. Dan itu telah saya bahas sebelumnya di dalam kitab “Masjidh Dhirar Wa Ahkamuhu Bil Ikhtishar”.

Tinggal yang tersisa adalah: apakah boleh menegakkan shalat Jum’at di masjid yang belum diwakafkan, karena masyarakat di sebagian wilayah berhajat kepada masjid untuk pusat peribadatan yang disyariatkan, tapi pemiliknya belum mewakafkan fi sabilillah? Apalagi Salafiyyun memang sangat dianjurkan untuk punya masjid sendiri agar tidak tergantung dan dibatasi ibadah mereka oleh para ahli bid’ah.

Kemudian sayapun di sela-sela kesibukan saya –demikian pula setiap ikhwah juga punya kesibukan- menanyakan masalah itu kepada beberapa ulama.

Saya bertanya kepada Fadhilatu Syaikhina Abdul Hamid Bin Yahya Al Hajuriy حفظه الله dengan kalimat sebagai berikut:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته. حياكم الله شيخي الكريم أبا محمد. معذرة. هل يجوز أن تقام صلاة الجمعة في مسجد لم يكن وقفا لله؟ أي: أن المسجد ما زال حق صاحب الأرضية؟ جزاكم الله خيرا وبارك فيكم.

Terjemah setelah salam:
“Semoga Allah memberikan penghormatan kepada Anda wahai Syaikhku yang mulia Abu Muhammad. Maafkanlah saya. Apakah boleh shalat Jum’at ditegakkan di masjid yang bukan wakaf untuk Allah, yaitu: bahwasanya masjid tadi masih menjadi hak milik bagi si pemilik tanah? Semoga Allah membalas Anda dengan pahala terbaik dan memberikan keberkahan pada Anda”.

Lalu beliau حفظه الله menjawab:

وعليكم السلم ورحمة الله وبركاته. نعم يجوز.

Terjemah setelah salam:
“Iya, boleh”.
Selesai penukilan.

Saya juga bertanya kepada Fadhilatu Syaikhina Abdurraqib Bin Ali Al Kaukabaniy حفظه الله dengan kalimat hampir sama (hanya merubah panggilannya).
Lalu beliau حفظه الله menjawab:

وعليكم السلم ورحمة الله وبركاته. وحياك الله يا أبا فيروز. وأظن بإذن الله أن سؤالك في ضمن المذكور أعلاه.

Terjemah setelah salam:
“Dan semoga Allah memberikan penghormatan padamu wahai Abu Fairuz. Dan aku menyangka bahwasanya pertanyaanmu itu telah masuk ke dalam kandungan fatwa yang tersebut di atas”.
Kemudian Syaikhuna mendatangkan fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Al Imam Ibnu Baz رحمه الله sebagai berikut:

الفتوى رقم ( 19448 )
س : يوجد في قريتنا بجمهورية مصر العربية عدد (6) مساجد موزعة بالقرية ، وحيث إنني أملك قطعة أرض فضاء تبعد عن أقرب مسجدين لها حوالي (700 متر) بينها وبين كل مسجد ، ويوجد حول هذه القطعة الأرض ما يقرب عن ألف وخمسمائة مسلم ، وبودي بناء هذه القطعة سكن خاص لي ولكن أرغب في تخصيص الدور الأرضي منها مسجدا لهذه المنطقة ، والدور الثاني وما يليه سكن خاص بي ، أو للإيجار .
والسؤال : هل يجوز بناء سكن خاص أو للإيجار فوق المسجد ؟ علما بأن المسجد يحتوي على كتاب الله (المصحف الشريف) وكتب الفقه والحديث .
ج : إذا كانت هذه الأرض ليست وقفا على المسجد ، وأنت تملكها ملكا خاصا فلا مانع من بنائها من دورين أو أكثر وتخصيص الدور الأرضي مسجدا للحي الذي تسكنه ، وجعل الدور الثاني وما يليه سكنا خاصا بك ، أو للإيجار ؛ لأن النية بناء المسجد والسكن على هذا الوضع ، ولترجح المصلحة في ذلك لحاجة أهل الحي إلى المسجد .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو ... عضو ... نائب الرئيس ... الرئيس
بكر أبو زيد ... صالح الفوزان ... عبد العزيز آل الشيخ ... عبد العزيز بن عبد الله بن باز
(انتهى من " فتاوى اللجنة الدائمة (31/ 221-222).

Terjemah:
Fatwa no. (19448):
Pertanyaan: di desa kami di Republik Mesir Arab terdapat enam buah masjid yang terpencar-pencar. Saya memiliki sebidang tanah kosong yang mana jaraknya dari masing-masing dua masjid terdekat adalah sekitar enam ratus meter. Di sekitar tanah kosong tadi ada kurang lebih seribu limaratus orang Muslim. Saya ingin membangun tempat tinggal khusus untuk saya sendiri, tapi saya juga ingin mengkhususkan tingkat yang bawah sebagai sebuah masjid untuk wilayah ini, sedangkan tingkat kedua dan yang setelahnya menjadi tempat tinggal khusus untuk saya atau untuk disewakan.
Pertanyaan saya: apakah boleh saya membangun di atas masjid itu tempat tinggal khusus atau untuk disewakan? Padahal diketahui bahwasanya di dalam masjid itu ada Kitabullah (Mushhaf yang mulia), kitab-kitab Fiqih dan Hadits.

 Jawaban:*
__Jika tanah tadi tidak diwakafkan untuk masjid, dan engkau memilikinya dengan kepemilikan yang memang khusus untukmu, maka tidak terlarang untuk membangun dua tingkatan atau lebih; dengan mengkhususkan lantai bawah sebagai masjid untuk desa yang engkau tinggali tersebut, dan menjadikan lantai dua dan setelahnya sebagai tempat tinggal yang khusus untukmu, atau untuk disewakan; karena niatnya adalah membangun masjid dan tempat tinggal dengan pola tadi, dan demi kemaslahatan yang lebih besar untuk memenuhi hajat penduduk desa tadi kepada masjid.__

وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

Lajnah Daimah Lil Buhutsil Ilmiyya Wal Ifta
Kepala: Abdul Aziz Bin Abdillah Bin Baz
Wakil Kepala: Abdul Aziz Alusy Syaikh
Anggota: Shalih Al Fauzan
Anggota: Bakr Abu Zaid
(Selesai dari “Fatawal Lajnatid Daimah”/31/hal. 221-222).

Maka saya menyimpulkan bahwasanya Ulama Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Al Imam Ibnu Baz رحمه الله (dan di dalamnya ada Al Imam Shalih Al Fauzan حفظه الله) membolehkan hal itu demi kemaslahatan yang lebih besar.**
Dan saya menyimpulkan bahwasanya Fadhilatu Syaikhina Abdurraqib Bin Ali Al Kaukabaniy حفظه الله juga sependapat dengan fatwa di atas.

Dan saya juga meyakini berdasarkan kebiasaan Fadhilatu Syaikhina Abdul Hamid Al Hajuriy  dan para ulama yang sependapat dengan beliau: bahwasanya pembolehan menegakkan shalat Jum’at di masjid yang bukan wakaf tadi tadi bukan secara mutlak, tapi karena hajat syar’iyyah. Berdasarkan kebiasaan fiqih dan manhaj beliau dan ulama yang sependapat dengan beliau; saya yakin bahwasanya jika ada orang yang membangun masjid baru berdampingan dekat sekali dengan masjid lama yang sudah syar’iy, sekedar untuk main-main atau sengaja untuk memecah-belah masyarakat atau merusak hubungan antar Salafiyyin, tentulah mereka melarang hal itu.

Maka dari itu pada hari Sabtu kemarin saya mengirimkan jawaban kepada Ustadz Abu Tsumamah حفظه الله, dan juga saya mengeluarkan surat sebagai berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Tentang permasalahan bolehkah sholat Jum’at di masjid yang belum diwakafkan?
Ana rujuk pada pendapat Al Imam Ibnu Baz رحمه الله , Al Imam Al Fauzan, Fadhilatusy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy dan Fadhilatusy Syaikh Abdurraqib Al Kaukabaniy حفظهما الله, bahwasanya yang rajih adalah boleh, demi kemaslahatan yang lebih besar di wilayah tersebut.

والله أعلم بالصواب.
والحمد لله رب العالمين.

Ditulis oleh Al Faqir Ilallah
Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Indonesiy وفقه الله.
19 Jumadal Ula 1440 H.

Kemudian datanglah pertanyaan dari sebagian ikhwah yang mulia tentang surat yang berjudul: Perbedaan antara masjid dan mushalla.
Di antara isinya adalah sebagai berikut:
Soal … Bismillah....
Ada pertanyaan" Apakah perbedaan antara mesjid dan musholloh?"
Soal ini kami telah ajukan pada ulama Yaman .

Jawaban Asy Syaikh Hasan Qosim Ar_Ruamy hafidzahullooh :

في الحقيقة تبين لي ان المسجد ما اجتمعت فيه الشروط الآتية :
1- ما كان موقوفا ، وخرج عن ملك واضعه .
2- وأُذن فيه بالصلاة إذنا عاما ، أي ل م يمنع أحد أراد الصلاة فيه .
3- وأعدّ لإقامة الصلوات الخمس على الدوام .
جاء في "فتاوى اللجنة الدائمة" (5/ 169) : "ما الفرق بين المسجد والمصلى ؟ أعني بذلك : هل تحية المسجد واجبة في المصلى أم خارجة عن حكمه ، أو هي على سبيل الاستحباب والندب ؟
فأجابت : المسجد : البقعة المخصصة للصلوات المفروضة بصفة دائمة ، والموقوفة لذلك ، أما المصلى فهو ما اتخذ لصلاة عارضة ؛ كصلاة العيدين أو الجنازة أو غيرهما ، ولم يوقف للصلوات الخمس ، ولا تسن تحية المسجد لدخول المصلى ، وإنما تسن لدخول المسجد لمن أراد الجلوس فيه ، ويأتي بها قبل أن يجلس لقول النبي صلى الله عليه وسلم : (إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين) متفق على صحته .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم" انتهى .
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز ... الشيخ عبد الله بن غديان ... الشيخ صالح الفوزان ... الشيخ عبد العزيز آل الشيخ ... الشيخ بكر أبو زيد .
فالحاصل ياأخي حفظك الله ان المسجد هو الذي اوقفه صاحبه وياخذ احكام المسجد من تحية المسجد والاعتكاف ونحو ذلك ؛ولا يجوز بيعه الا في مواطن ضيقة ؛ 
اما ماكان  المكان الذي يجعله صاحبه مصلى ولم يوقفه صاحبه وانما هو مازال في ملكه ويجوز له بيعه فهذا لايطلق عليه مسجد وانما يطلق عليه مصلى ولا ياخذ احكام المسجد المعلومة ؛ 
وعليه فالذي ننصح به هذا المالك ان يوقف هذا الموضع لله تعالى حتى يصير له احكام المسجد ؛


Pada hakekatnya nampak padaku bahwa masjid itu apa yang terkumpul padanya syarat syarat dibawah ini.
 1⃣ Apa yang telah  diwaqafkan ,dan telah keluar dari kepemilikan yang membangunnya.
2⃣ Diidzinkan pada masjid tersebut untuk sholat dengan idzin secara umum. Maksudnya tidak melarang seorang pun untuk sholat didalamnya.
3⃣ Dipersiapkan untuk menegakkan sholat lima waktu terus menerus.

Telah datang dalam fatwa lajnah dai'mah 5/169 : apa perbedaan antara masjid dan mushalla?? Yang saya maksudkan : apakah tahiyyatul masjid Wajib di mushalla atau keluar dari hukum mushalla, atau tahiyyatul masjid itu dianjurkan dan disunnahkan??
Maka lajnah dai'mah menjawab : tempat yang dikhususkan untuk sholat wajib dengan sifat terus menerus, dan telah diwaqafkan untuk hal tersebut, Adapun mushalla adalah apa yang dijadikan untuk sholat karena ada suatu sebab kebutuhan seperti sholat  Ied atau jenazah atau selain dari keduanya, dan tidak diwaqafkan untuk sholat lima waktu , dan tidak disunnahkan tahiyyatul masjid untuk masuk mushalla, akan tetapi tahiyyatul masjid disunnahkan bagi yang masuk masjid bagi siapa yang ingin duduk didalamnya, dan dia sholat tahiyyatul sebelum duduk, sebab Rasulullaah bersabda : jika salah seorang diantara kalian masuk masjid , maka janganlah ia duduk sampai ia sholat dua rakaat, (disepakati akan keshohihannya). 
Selesai penukilan dari fatwa Lajnah dai'mah 5/169 

Kemudian kata Syaikh Hasan Qosim Ar ruami hafidzahullooh :
Maka kesimpulannya wahai saudaraku semoga Allah menjagamu , masjid itu adalah apa yang pemiliknya telah mewaqafkannya, dan ini akan mengambil hukum hukum masjid (berlaku padanya) berupa tahiyyatul masjid , i'tikaf dan semisalnya, dan tidak boleh menjualnya kecuali pada tempat tempat yang sempit.(tidak dibutuhkan Tambahan pent').
Adapun tempat yang pemiliknya menjadikan mushalla dan tidak mewaqafkannya , maka ini masih terus dalam kepemilikannya, dan boleh baginya untuk menjualnya, maka ini tidak diitlakkan atasnya masjid, akan tetapi diitlakkan atasnya mushalla dan tidak mengambil hukum hukum masjid yang telah diketahui(seperti tahiyyatul masjid dan lain sebagainya).
Atas dasar inilah maka yang kami nasehatkan dengannya pemilik  terebut untuk mewaqafkan tempat itu karena Allooh sampai berlaku  untuknya hukum hukum masjid.
Selesai dari fatwa Asy syaikh Hasan Qosim ar_ruamy hafidzahullooh
➖➖➖➖➖➖➖➖ 

Dan ini yang juga difatwakan oleh Asy syaikh Al Allaamah Ibnu Utsaimin Rohimahullooh ketika beliau ditanya :

السؤال: بارك الله فيكم نعود إلى رسالة المستمع م. أ. أ يقول فضيلة الشيخ مصلى المدرسة هل يأخذ أحكام المساجد

 “ musholla sekolah apakah berlaku hukum hukum masjid?”
الجواب
الشيخ: مُصلى المدرسة أو المصلى في البيت الذي أعده الإنسان للصلاة فيه لا يأخذ حكم المساجد وإنما هو مصلى يُحترم لكون الناس يصلون فيه.أما أن يُعطى حكم المسجد من كونه إذا دخل فيه لا يجلس حتى يصلى ركعتين وإذا كان ج نبا لا يجلس فيه إلا بوضوء ويعتكف فيه وما أشبه ذلك من أحكام المساجد فلا.فالمصلى في مكان العمل والمصلى في البيت ليس بمسجد وليس له أحكام المسجد لكنه مكان اجتماعي يصلى الناس فيه.

Maka beliau Rohimahullooh menjawab:
 “Musholla sekolah, ataupun musholla rumah yang memang dipersiapkan  untuk tempat shalat, tidaklah mengambil hukum hukum masjid. Tempat tersebut hanyalah tempat shalat(mushalla) yang  dihormati karena orang  orang yang mengerjakan shalat di tempat tersebut.
Adapun memberikan hukum  masjid dari keberadaannya jika ia masuk didalamnya, maka ia tidak duduk sampai sholat dua rakaat shalat, orang yang junub tidak boleh duduk di dalamnya kecuali setelah berwudhu terlebih dahulu, menjadi tempat i’tikaf dan apa yang semisal itu dari hukum hukum masjid, maka tidak berlaku.
Maka musholla pada tempat kerja(kantor atau pabrik) dan musholla rumah itu bukan masjid dan tidak ada untuknya ketentuan hukum hukum  untuk masjid, akan tetapi tempat tersebut sekedar tempat berkumpul  orang mengerjakan shalat di dalamnya”.
ߓᅮumber:http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_3386.shtml.


Saya (Abu Fairuz وفقه الله) diminta pendapat atas tulisan di atas.

Maka saya menjawab dengan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala:

Sepertinya tulisan di atas sesuai dengan judulnya, bukanlah membahas tentang masalah hukum sholat Jum’at di masjid yang bukan wakaf.
Kalaupun dimaksudkan untuk membahas masalah yang saya bahas, maka: Yang ditampilkan tadi adalah fatwa Lajnah Daimah ketika ditanya tentang perbedaan antara masjid dengan musholla. Maka jawabannya menjadi seperti itu.

Sementara dalam fatwa yang lainnya; Lajnah telah menamakan masjid yang tidak diwakafkan tadi sebagai masjid juga, dan mereka membolehkan untuk menjadi pusat tempat sholat berjamaah bagi penduduk desa tadi. Dan kedua fatwa Lajnah tadi sama-sama diketuai oleh Al Imam Ibnu Baz رحمه الله.

Maka saya menasihati diri saya sendiri dan para ikhwah sekalian حفظكم الله untuk mencari fatwa yang lebih spesifik dan lebih sesuai dengan masalah yang dihadapi, karena boleh jadi jika pertanyaannya lebih khusus, jawaban para ulama juga lebih khusus lagi.

Maka dari itu; Fadhilatu Syaikhina Hasan Bin Qasim Ar Raimiy (dari propinsi yang cukup cantik alamnya, Raimah, Yaman), ketika beliau ditanya tentang perbedaan antara masjid dan musholla, beliau menjawab demikian.
Dan memang ma’ruf di kalangan Arab (Saudi, Yaman dan sekitarnya), bahwasanya musholla adalah sebidang tanah lapang yang bisa dipakai sebagai area untuk sholat Id, sholat jenazah dan sebagainya, bukan masjid khusus. Dan itulah makna yang ma’ruf di zaman Nabi Muhammad ﷺ dan sesudah beliau. Adapun di Nusantara (Indonesia, Malaysia dan sekitarnya), musholla adalah sejenis masjid kecil, dan dinamakan sebagai surau atau langgar.
Adapun jika pertanyaan kepada beliau lebih khusus terkait dengan masalah kita: “Hukum Sholat di masjid yang bukan wakaf”, bisa jadi jawaban beliau lain, tidak masuk ke dalam fatwa beliau yang pertama.

Makanya hari ini saya bertanya pada Fadhilatu Syaikhina Hasan Bin Qasim Ar Raimiy حفظه الله sebagai berikut: 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته. حياكم الله يا شيخي الكريم أبا عبد السلام. كيف حالكم؟ معذرة. هل يجوز أن تقام صلاة الجمعة في مسجد لم يكن وقفا لله؟ أي: أن المسجد ما زال حق صاحب الأرضية؟ جزاكم الله خيرا وبارك فيكم.

Terjemah setelah salam:
“Semoga Allah memberikan penghormatan kepada Anda wahai Syaikhku yang mulia Abu Abdissalam. Bagaimanakah kabar Anda? Maafkanlah saya. Apakah boleh shalat Jum’at ditegakkan di masjid yang bukan wakaf untuk Allah, yaitu: bahwasanya masjid tadi masih menjadi hak milik bagi si pemilik tanah? Semoga Allah membalas Anda dengan pahala terbaik dan memberikan keberkahan pada Anda”.

Lalu beliau حفظه الله menjawab:

وعليكم السلم ورحمة الله وبركاته. لا بأس إن شاء الله

Terjemah setelah salam:
“Itu tidak mengapa insya Allah”.
Selesai penukilan.

Ternyata Fadhilatu Syaikhina Hasan Bin Qasim Ar Raimiy حفظه الله membolehkan hal itu.
Ini menunjukkan bahwasanya fatwa terhadap suatu permasalahan itu bisa saja bukan menjadi jawaban seorang ulama untuk masalah  yang lain.
Maka demikian pula untuk fatwa Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله yang dinukilkan dalam surat di atas, yang terkait dengan perbedaan antara hukum musholla dan masjid. Alangkah bagusnya untuk dipastikan: apa fatwa beliau tentang hukum menegakkan sholat Jum’at di masjid yang bukan wakaf?

Apapun jawaban beliau jika didapatkan, memang masalah ini diperselisihkan di kalangan ulama. Adapun Fadhilatu Syaikhina Zayid Bin Hasan Al Wushabiy حفظه الله, maka dulu di Malaysia beliau memang mensyaratkan harus masjid wakaf.
Lalu saya tanyakan lagi kepada beliau untuk memastikan, sebagai berikut:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته. حياكم الله يا شيخي الكريم أبا عبد الله. كيف حالكم؟ معذرة. هل يجوز أن تقام صلاة الجمعة في مسجد لم يكن وقفا لله؟ أي: أن المسجد ما زال حق صاحب الأرضية؟ جزاكم الله خيرا وبارك فيكم.

Terjemah setelah salam:
“Semoga Allah memberikan penghormatan kepada Anda wahai Syaikhku yang mulia Abu Abdillah. Bagaimanakah kabar Anda? Maafkanlah saya. Apakah boleh shalat Jum’at ditegakkan di masjid yang bukan wakaf untuk Allah, yaitu: bahwasanya masjid tadi masih menjadi hak milik bagi si pemilik tanah? Semoga Allah membalas Anda dengan pahala terbaik dan memberikan keberkahan pada Anda”.

Lalu beliau حفظه الله menjawab:

وعليكم السلم ورحمة الله وبركاته. حياك الله يا شيخ أبا فيروز، الله يبارك فيك. حفظكم الله. وأسأل الله عز وجل أن يحفظكم ويبارك فيكم. بارك الله فيكم. بالنسبة للجواب عن السؤال: المسجد لا يكون مسجداً حتى توقف أرضه. لا يكون مسجدا حتى توقف أرضه. وبما أنه على هذا الحال لا تقام فيه الجمعة حتى يتأكد وينظر في الأمر وتوقف الأرض وتصبح الأرض وقفية يعني: موقوفة على المسجد وتكون مسجدا ففي هذا تقام الجمعة. هذا وبارك الله فيكم.

Terjemah setelah salam:
“Semoga Allah memberimu penghormatan wahai Syaikh Abu Fairuz. Semoga Allah memberikan berkah pada dirimu. Semoga Allah menjaga kalian. Dan aku mohon pada Allah عز وجل agar menjaga kalian dan memberikan berkah pada kalian. Semoga Allah memberikan berkah pada kalian. Adapun tentang jawaban terhdap pertanyaan tadi: masjid itu tidak menjadi masjid sampai tanahnya itu diwakafkan. Dia tidak menjadi masjid sampai tanahnya diwakafkan. Dan dengan sebab keadaannya seperti tadi; tidak boleh sholat Jum’at ditegakkan di situ sampai dipastikan dan urusanya diperiksa serta tanahnya diwakafkan dan jadilah tanah tadi tanah wakaf, yaitu: diwakafkan untuk masjid dan menjadi masjid. Maka di tarea yang semacam inilah ditegakkan Jum’at. Inilah, dan semoga Allah memberikan berkah pada kalian.”.
Selesai penukilan.

Inilah pendapat beliau حفظه الله : tidak boleh mendirikan sholat Jum’at di atas tempat yang belum diwakafkan untuk masjid.

Memang ini masih khilaf di kalangan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.**

Adapun yang nampak rajih bagi saya sekarang –semoga Allah menambahi saya ilmu lagi-: itu boleh dengan pertimbangan yang lalu, karena yang mensyaratkan harus di atas tanah wakaf itu tidak jelas dalilnya. Dan pensyaratan itu perlu dalil.

Dari Aisyah رضي الله عنها yang mana Rasulullah ﷺ bersabda:

«من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فهو باطل، وإن اشترط مائة شرط شرط الله أحق وأوثق». (أخرجه البخاري (2155) ومسلم (1504)).

“Barangsiapa membuat suatu syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah maka syarat tadi adalah batil meskipun dia membuat seratus syarat. Syarat Allah lebih berhak ditaati dan lebih kokoh”. (HR. Al Bukhariy (2155) dan Muslim (1504)).

Oleh karena itulah saat saya menanyakan perkara yang sama pada Syaikhunal Fadhil Al Ushuliy/ Manshur Bin Ahmad Al Adibiy  حفظه الله, beliau berkata setelah menjawab salam:

الذي أعرفه أنه لا يشترط حفظك الله ورعاك.

“Yang aku tahu adalah bahwasanya pewakafan tidaklah disyaratkan (untuk tegaknya sholat Jum’at), semoga Allah menjagamu dan memeliharamu”.

Bahkan ketika dikatakan pada beliau ucapan:

إن التوقيف شرط من شروط إقامة الجمعة.

*“Sesungguhnya pewakafan adalah salah satu dari syarat-syarat ditegakkannya sholat Jum’at”.**

Beliau balik bertanya:

والدليل على هذا؟

“Dan apa dalil dia tentang ini?”
Selesai penukilan.

Jika ada yang mengatakan: Nabi Muhammad ﷺ mendirikan Masjid Nabawiy di atas tanah wakaf, sementara kita harus mengikuti sunnah beliau.

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah: 

memang kita harus mengikuti Sunnah beliau ﷺ, dan sunnah beliau lebih kita cintai daripada nyawa kita sendiri, dan kita insya Allah siap berhadapan dengan para musuh Allah demi membela sunnah beliau.
Akan tetapi sunnah Nabi ﷺ itu bertingkat-tingkat, ada yang wajib dan ada yang mustahab, dan sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Tidak semua penyelisihan terhadap sunnah menyebabkan pelakunya itu mubtadi’. Qabliyyah Subuh adalah sunnah muakkadah, tapi orang yang meninggalkannya bukanlah dinamakan sebagai mubtadi’. Dan berapa banyaknya orang yang tidak bersiwak setiap kali sholat, padahal haditsnya sangat menekankan? Dan orang tadi tidak dinamakan sebagai mubtadi’ atau fasik atau berbuat haram, atau dikatakan bahwasanya sholatnya tidak sah.

Maka semata-mata Nabi ﷺ -atau para Shahabat رضي الله عنهم- mewakafkan tanah untuk membangun Masjid Nabawiy tidaklah menunjukkan hal itu wajib, apalagi menjadi syarat sah masjid.

Ketika sebagian ulama mewajibkan suatu amalan karena bersandarkan pada fi’il Nabi ﷺ; berkatalah Al Imam Al Fakihaniy Al Malikiy رحمه الله:

لأن المختار: أن فعله - صلى الله عليه وسلم - لا يدل على الوجوب، إلا إذا كان بيانا لمجمل تعلق به الوجوب. ("رياض الأفهام في شرح عمدة الأحكام" /1/ص 385).

“... Karena yang terpilih adalah: bahwasanya fi’il (perbuatan) beliau ﷺ tidaklah menunjukkan pada kewajiban, kecuali jika hal itu dilakukan untuk menjelaskan perkara yang masih global yang mana kewajiban itu tergantung kepadanya”. (“Riyadhul Afham Fi Syarhi Umdatil Ahkam”/Al Fakihaniy/1/hal. 385).

Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Asy Syafi’iy رحمه الله berkata:
والفعل بمجرده لا يدل على الوجوب على المختار. ("إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام" /1/ص 159).

“Dan semata-mata perbuatan beliau tidaklah menunjukkan pada kewajiban, menurut pendapat yang terpilih”. (“Ihkamul Ahkam Syarh Umdatil Ahkam”/Ibnu Daqiq/1/hal. 159).

Al Imam Utsman Az Zaila’iy Al Hanafiy رحمه الله berkata:
والقاعدة أن الفعل أيضاً لا يدل على الوجوب. ("تبيين الحقائق شرح كنز الدقائق" /6/ص 106).

“Dan kaidah telah menetapkan: bahwasanya perbuatan beliau juga tidaklah menunjukkan pada kewajiban”. (“Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzid Daqaiq”/Az Zaila’iy/1/hal. 159).

Al Imam Muhammad bin Muflih Al Maqdasiy Al Hanbaliy رحمه الله berkata:
لأن فعله هذا لا يدل على الوجوب. ("المحرر في الفقه على مذهب الإمام أحمد بن حنبل" /1/ص 184).

“... Karena perbuatan beliau tidaklah menunjukkan pada kewajiban”. (“Al Muharrar Fil Fiqh ‘Ala Madzhabil Imam Ahmad Bin Hanbal”/Al Maqdasiy/1/hal. 184).

Maka berdasarkan hujjah-hujjah yang ada; yang nampak bagi saya sekarang adalah: boleh mendirikan sholat Jum’at di masjid yang belum diwakafkan.

Saya telah menanyakan hal yang sama pada Fadhilatu Syaikhina Husain Bin Mahmud Al Hathibiy حفظه الله maka beliau berkata:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته. ما دام أنه قد أعدّ للصلاة، صلاة الجماعة وصلاة الجمعة فالظاهر أنه يجوز وأنه مسجد وإن كان يملكه صاحبه.

Terjemah setelah salam:
“Selama masjid tadi telah disiapkan untuk sholat, sholat jama’ah dan sholat Jum’at, maka yang nampak adalah hal itu boleh, dan bahwasanya dia itu adalah masjid, sekalipun masih dimiliki oleh pemiliknya”.
Selesai penukilan.

Ini adalah khilaf dalam perkara ijtihadiyyah, semoga tidak membesar. Al Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله terkadang berubah pendapat sampai tiga kali. Demikian pula Al Imam Muhammad Ash Shan’aniy رحمه الله.

والله تعالى أعلم. سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك. والحمد لله رب العالمين.

Ditulis oleh hamba yang faqir dalam keadaan memohon ampunan atas dosa-dosanya:
Abu Fairuz Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy Al Qudsiy وفقه الله
Malaysia, 20 Jumadal Ula 1440 H

-selesai-
Diberdayakan oleh Blogger.