Hukum Belajar Di Jami'ah Islamiyyah Madinah
Sumber: Abuhanifsufyan's Blog
Hukum Belajar Di Jami'ah Islamiyyah Madinah
“Menyingkap Hakikat Jami’ah Islamiyyah Madinah”
Judul Asli:
“Kasyful Haqoiqid Dafinah Fii Jami’atil Islamiyyah Bil Madinah”
Disusun dan diterjemahkan Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsy
بسم الله الرحمن الرحيم
Kata Pengantar
:الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما بعد
Sesungguhnya telah datang surat dari seorang saudara yang mulia meminta saya untuk menjelaskan HUKUM BELAJAR DI JAMI’AH ISLAMIYYAH DI MADINAH.
Dan saya memang telah mendapati para hizbiyyun menghasung para pemuda untuk belajar ke universitas tersebut.
Dan saya juga telah mendapati sebagian saudara kita Salafiyyun bersemangat untuk belajar ke situ dan tidak peduli dengan nasihat-nasihat orang-orang yang jujur agar jangan sampai mereka terperosok ke dalam jaringan para ahli bid’ah di sana.
Maka dalam rangka memberikan nasihat dan kesetiaan pada umat Islam dan larangan untuk menyembunyikan kebenaran, saya menjawab dengan memohon pertolongan kepada Alloh ta’ala.
BAB SATU :
Jami’ah Islamiyyah di Madinah Sekarang Penuh Dengan Mubtadi’ah
Sesungguhnya Jami’ah Islamiyyah di Madinah sekarang ini penuh dengan hizbiyyun (para ahli bid’ah yang suka bergolongan-golongan), dan dikuasai oleh para ahli bid’ah.
Kalaupun sebagian Salafiyyun (Ahlussunnah) didapati di sana, maka mereka itu amat sedikit, dan mereka itu kaum yang lemah di sana. Dan hukum itu dibangun berdasarkan kondisi yang dominan.
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata:
“Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada kondisi yang dominan yang banyak. Sementara perkara yang jarang terjadi itu dihukumi bagaikan tidak ada.” [“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah].
Dan kebanyakan di Jami’ah Islamiyyah di Madinah adalah para penyeleweng (orang-orang yang menyimpang dari kebenaran).
Dan janganlah engkau lupa akan keberadaan Abul Hasan An Nadwiy Al Jisytiy sebagai anggota di Jami’ah Islamiyyah di Madinah juga termasuk penyusupan!
Asy Syaikh Hamud At Tuwaijiriy رحمه الله berkata: “Dan termasuk dari syaikh besar Tablighiyyin adalah Abul Hasan An Nadwiy.
Muhammad Aslam telah menulis biografinya pada hal. 22-26 dalam kitabnya yang berjudul “Jama’ah Tabligh ‘Aqidatuha Wa Afkaru Masyayikhuha” dan dia menyebutkan bahwasanya Abul Hasan ini merupakan termasuk pengganti dan pengiring serta murid dari Asy Syaikh Muhammad Ilyas pendiri Jama’ah Tabligh.
Kemudian dia menyebutkan: “Al Ustadz Abul Hasan Ali An Nadwiy Al Jisytiy Ash Shufiy, dan beliau adalah termasuk pembesar ulama Jama’ah Tabligh, dan pimpinan Darul Ulum Li Nadwatil Ulama di Kahnawiy India, dan anggota Robithotul ‘Alamil Islamiy, juga anggota majelis Jami’ah Islamiyyah di Madinah Munawwaroh.” -Selesai penukilan-.
[“Al Qoulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’atit Tabligh”/hal. 137/ cet. Darush Shumai’iy].
Syaikh kami Al Muhaddits Al Mujahid Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله berkata:
“Dan ini ada surat dari saudara kita syaikh yang mulia Muhammad bin Hadi Al Madkholiy, salah seorang pengajar di Jami’ah Islamiyyah yang ditujukan kepada saudara kita syaikh Hasan bin Qosim Ar Roimiy حفظهما الله , kepada saikh kami Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله . Saudara kita Hasan dalam risalahnya yang di situ beliau mendebat sejumlah ucapan Asy Syaikh Ubaid tentang Jami’ah Islamiyyah, dan menetapkan dengan sifatnya salah seorang lulusan Jami’ah Islamiyyah bahwasanya mayoritas dan kekuasaan di Jami’ah Islamiyyah adalah milik hizbiyyin.
Dan ini adalah apa yang dinukilkannya dari Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Hadi bahwasanya beliau berkata padanya:
أخْبر الشيخ مقبلا بأن الجامعة الإسلامية ليست بأيدي السلفيين
“Kabarilah Asy Syaikh Muqbil bahwasanya Jami’ah Islamiyyah bukan di tangan Salafiyyin.”
[selesai penukilan dari “At Taudhih”/hal. 7/karya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy].
Dan di dalam Jami’ah Islamiyyah di Madinah ada salah satu mantan pengajar yang bernama: Doktor Abdul ‘Aziz Al Qoriy. Dan dia adalah orang yang menggambarkan pada masyarakat bahwasanya Ahlussunnah itu menzholimi sufiyyah.
[sebagaimana dalam kitab “Kasyfu Zaifish Shufiyyah”/Syaikh Robi’ hadahulloh/hal. 13-14].
Dan termasuk yang menunjukkan kekuasaan mubtadi’ah terhadap Jami’ah Islamiyyah tersebut adalah:
Bahwasanya para calon murid yang baru tidak diizinkan belajar di situ kecuali dengan tazkiyyah dari Abdul Majid Az Zindaniy (Ikhwanul Muslimin), atau Abul Hasan Al Mishriy (pembelas besar Ikhwaniyyin), atau beberapa pimpinan Jam’iyyah Anshorus Sunnah dan tokoh hizbiyyin yang lain. Adapun tazkiyyah dari Al Imam Al Wadi’iy atau Al ‘Allamah Al Hajuriy atau ulama Salafiyyin yang lain tidaklah diterima.
Beberapa tokoh mulia yang masuk dalam proses seleksi mahasiswa baru di sana mengabari kami bahwasanya manakala mereka tidak memuji Az Zindaniy dan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang lainnya, mereka diusir dari Jami’ah.
Dan Syaikh kami An Nashihul Amin Yahya Al Hajuri hafizhohulloh berkata:
“Bahkan ini diketahui oleh banyak Ahlussunnah, jika bukan mayoritasnya, sama saja apakah mereka sedang belajar di Jami’ah Islamiyyah ataukah orang yang pernah belajar di situ di zaman terakhir, ataukah diuji lalu ditolak dikarenakan jawabannya tidak cocok tentang keadaan sebagian hizbiyyin yang para pelajar dites dengan ditanya tentang mereka. Jika dia memujinya, mereka akan menerimanya. Tapi jika dia mengingkari tokoh tadi, maka mereka menolaknya. Atau di sela-sela banyaknya tazkiyah Az Zindaniy dan yang lainnya dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan yang lainnya dari kalangan pengikut Jam’iyyatul Hikmah, Al Ihsan, At Turots, dan Anshorus Sunnah di Sudan, serta Abul Hasan Al Mishriy dan yang lainnya.
Berikut ini adalah contoh kejadian di Jami’ah Islamiyyah tersebut.
Saudara kita salah seorang pelajar yang hapal Al Qur’an, dai yang yang mulia berkata sebagai berikut:
“Saya adalah Muhammad bin Mahdi Zhofir, ditetapkan oleh Alloh bahwasanya saya bertekad untuk bergabung belajar di Jami’ah Islamiyyah untuk memenuhi permintaan kedua orang tuaku yang mulia.
Maka saya berangkat pada tahun 1422 H pada bulan Romadhon ke Jami’ah, dan saat itu saya telah memenuhi syarat-syarat penerimaan yang sangat bagus, yang mana barangsiapa memeriksanya dia akan memastikan setelah taufiq dari Alloh bahwasanya saya akan diterima dengan segera tanpa kebimbangan, berupa hapalan Al Qur’an, pengambilan faidah yang bagus dari markiz-markiz salafiyyah di Yaman, ijazah ilmiyyah Tsanawiyyah sebagaimana yang dituntut, nilai di atas delapan puluh, dan syarat-syarat penerimanaan yang lainnya yang disebutkan secara lahiriyyah.
Kemudian dilangsungkanlah ujian penerimaan. Ternyata hasilnya mengejutkan!!
Sang doktor mengajukan sembilan pertanyaan.
Enam soal bersifat ilmiyyah: soal tentang Al Qur’an, soal tentang aqidah, soal tentang tauhid, soal tentang fiqh, soal tentang pelajaran-pelajaran yang saya pelajari di markiz-markiz salafiyyah di Yaman, serta soal umum seperti yang mereka katakan.
Dan soal-soal inilah yang seorang pelajar harus dinilai dari sela-sela itu. Dan dari sela-sela pertanyaan itu sang pelajar diterima ataukah ditolak.
Seandainya Jami’ah ini salafiyyah murni dan bersih dari hizbiyyin dan lain-lain. Akan tetapi manakala Jami’ah tadi tidak seperti yang diberitakan, dan saudara kita sang doktor yang mengujiku termasuk dari kalangan hizbiyyin yang ada di dalam Jami’ah, dia tidak menganggap jawaban-jawabanku itu lurus semua. Dia melemparkannya ke dinding dan mengarahkan padaku soal-soal yang terpandang di sisinya, sehingga soal-soal pertama tadi hanyalah sebagai bentuk persiapan, sementara dari sela-sela soal yang terpandang menurutnya itulah si murid dinilai.
Setelah jawabanku terhadap enam soal pertama, sang doktor menampakkan rasa senang dan penyambutan yang aku menyangka dengan itu aku berhasil meraih peringkat pertama dalam ujian penerimaan tahun itu.
Akan tetapi dia mengajukan tiga soal kepadaku yang dari sela-sela itu dia akan mengetahui apakah aku sehati dengan mereka ataukah tidak.
Maka dia bertanya: “Apa majalah terakhir yang engkau baca?” Dan termasuk bagianku yang bagus –segala pujian hanya bagi Alloh- adalah bahwasanya aku membaca majalah As Salafiyyah edisi ketujuh tahun 1422 H. maka aku menjawab: “Majalah As Salafiyyah.” Dia bertanya: “Apa kandungannya?” aku menjawab: “Di dalamnya ada penjelasan tentang keadaan sebagian ahli batil seperti Sayyid Quthb dan Hasan Al Banna, dari fatwa-fatwa Al Albaniy dan Ibnu Baz rohimahumalloh dan pengingkaran terhadap pemikiran-pemikiran yang menyeleweng seperti pemikiran hizbiy dengan tulisan sang muhaddits Asy Syaikh Ahmad An Najmiy hafizhohulloh dan yang lainnya.”
Maka mulailah si doktor itu berubah terhadapku. Lalu dia bertanya: “Apa pandanganmu terhadap Jama’ah-jama’ah Islamiyyah?”
Aku bertanya: “Apa yang Anda maksudkan? Jama’ah-jama’ah yang saya hidup bersama mereka di negri saya?”
Dia menjawab: “Iya.”
Saya menjawab: “Demi Alloh, di tempat kami ada jama’ah Ikhwanul Muslimin, Syi’ah, Jama’ah Tabligh, Shufiyyah. Kami mohon perlindungan pada Alloh. Dan juga di tempat kami ada dakwah salafiyyah –segala pujian hanya bagi Alloh-.”
Dia bertanya: “Maka jama’ah yang manakah yang engkau pandang ada di atas kebenaran?”
Aku berkata: “Sebelum saya jawab, kita jadikan Al Kitab dan As Sunnah sebagai timbangan.”
Dia menjawab: “Baik.”
Saya menjawab: “Demi Alloh, tidak ada jama’ah yang saya lihat berangkat berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah, juga kembalinya kepada Al Kitab dan As Sunnah selain dakwah salafiyyah.”
Kemudian dia mengarahkan padaku soal ketiga yang menjadi pemutus: “Lalu apa pandanganmu terhadap Asy Syaikh Az Zindaniy?”
Maka aku tersenyum di hadapannya sambil menampilkan keheranan atas soal itu. Aku menjawab: “Demi Alloh, orang ini punya kekeliruan dan ketergelinciran.”
Maka si doktor membentakku dan adabnya memburuk terhadapku, seakan-akan jawabanku tentang Az Zindaniy adalah ruqyah syar’iyyah yang aku bacakan pada orang yang kesurupan.
Lalu si doktor bangkit dan melompat dari kursinya sambil menudingkan tangannya kepadaku dan berkata: “Ha! Ha! Apakah engkah mencaci ulama!? Apakah engkau men-jarh ulama umat!?”
Maka aku tersenyum di hadapannya dengan mata kesabaran –segala pujian dan karunia hanya milik Alloh-, karena kebenaran punya ketenangan bagi hati dan kekokohan di lidah. Dan aku katakan: “Wahai doktor yang mulia, jika orang yang Anda kabarkan tadi adalah termasuk dari ulama umat ini, tidak ada halangan untuk dia punya kekeliruan dan ketergelinciran, karena sesungguhnya ‘ishmah (keterjagaan dari kesalahan) hanyalah untuk para Nabi. Kedua: ini tadi bukan ucapan saya, saya hanyalah pelajar. Tapi ini tadi adalah ucapan syaikh kami Muqbil, Asy Syaikh Fulan dan Fulan,” aku sebutkan pada sejumlah ulama sunnah.”
Kemudian aku hendak menjelaskan sebagian kekeliruan teman kita ini: Az Zindani, yang terkait dengan sisi tauhid dan aqidah, hanya saja si doktor menghardikku dengan kasar dan berkata: “Cukup! cukup!! Dan dia mengisyaratkan pengusiran dengan tangannya ke pintu dan berkata: “Silakan, silakan.”
Maka aku berdiri dengan senang –segala pujian hanya bagi Alloh- dengan merasa mulia dengan aqidah dan manhajku yang memutihkan wajah-wajah dan mengangkat kepala-kepala.
﴿أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبّاً عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمَّنْ يَمْشِي سَوِيّاً عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ﴾ [الملك:22].
“Maka apakah orang yang berjalan terbalik di atas wajahnya itu lebih terbimbing daripada orang yang berjalan dengan lurus di atas shiroth mustaqim?” (QS.Al-Mulk:22)
Kemudian si doktor mengejarkan ke pintu dan berkata: “Hah, hah, Az Zindaniy termasuk dari ulama Al Ikhwan.” Maka aku jawab: “Iya.” Lalu aku diam dan berjalan, setelah aku melihat dia mencoret nilai jawabanku yang benar.
Kemudian aku berusaha mengeluarkan kisah ujian penerimaan ini untuk aku perlihatkan pada para saudaraku salafiyyin, tentang Jami’ah yang telah dirubah dan diganti sepeninggal pendirinya, sang ayah yang penyayang, Al Imam Abdul Aziz Ibnu Baz –semoga Alloh merohmatinya dan orang yang berjalan sepeninggal beliau di atas jalan itu- .
Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam. Dan Alloh ada di belakang maksud, dan Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu.” Selesai.
Aku -Asy Syaikh Yahya Al Hajuri- katakan:
berapa banyaknyakah salafiyyun selain orang ini mengalami kejadian yang semisal dengan itu, seandainya ucapan (kisah) mereka dikumpulkan dalam acara itu (proses penerimaan mahasiswa baru) pastilah terbentuk satu juz tersendiri.
Akh Abdul Basith As Sufiy Al Jazairiy berkata:
“Segala pujian bagi Alloh Robb semesta alam.
Kemudian setelah itu: Aku bersaksi bahwasanya aku ketika maju untuk masuk ke Jami’ah Islamiyyah pada tahun 1423 H, aku ingin minta syafaat pada doktor Abdulloh Al Muthrofiy –pengajar bidang hadits di Jami’ah- karena beliau dulu adalah kepala Lajnah Ifriqiyyah yang khusus menangani perlombaan di Jami’ah kemudian beliau dilepas.
Maka beliau berkata padaku:
“Lajnah sekarang semuanya adalah hizbiyyah, kecuali satu orang, bukan muta’ashshib (fanatik), tapi dia termasuk dari mereka.”
-sampai ucapan Asy Syaikh:-
Dan akh Adil As Siyaghiy berkata:
“Segala pujian bagi Alloh Robb semesta alam. Kemudian setelah itu:
Sebagian saudara kita dari mahasiswa telah menerima kami sebagai tamu di Jami’ah Islamiyyah, dan ke tempat tempat tinggalnya secara khusus. Di tengah-tengah kunjunganku ke tempat tinggal Jami’ah aku ingin mengetahui syarat belajar di tempat mereka, dan aku saat itu tidak ragu bahwasanya mereka memerangi para pelajar, terutama yang datang dari Darul Hadits di Dammaj.
Akan tetapi aku berkata dalam hati:
“Berita itu tidak sama dengan melihat langsung.” Maka mulailah aku bertanya tentang tempat panitia pencatatan.
Ketika aku masuk ke tempat penantian tiba-tiba saja ada anak muda Yaman yang menjumpaiku sambil membawa kertas-kertas dan tazkiyah. Maka aku tanya dia tentang syarat-syarat mereka.
Maka dia menjawab:
“Yang paling penting adalah tazkiyah dari dua orang alim yang terkenal.”
Aku bertanya:
“Seperti siapa?”
Dia menjawab: “Seperti Abdul Majid Az Zindaniy –yang mana dia itu adalah pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yaman- dan Abul Hasan Al Mishriy.”
Maka kukatakan padanya:
“Jika engkau punya tazkiyah dari Asy Syaikh Muqbil rohimahulloh atau asy Syaikh Muhammad Al Imam?”
Dia menjawab: “Mereka akan mengambil kertas-kertasmu dan berkata: “Kami akan menelponmu.” Tapi kapan? Alloh tahu. Bisa jadi mereka akan menolakmu seketika itu juga. Jika engkau ingin diterima dengan cepat, datanglah dengan tazkiyah salah seorang Ikhwanul Muslimin yang terkenal di sisi mereka, …”
[selesai penukilan dari “At Taudhih”/Asy Syaikh Yahya Al Hajuri/hal. 3-4].
Sudah dikenal oleh para salafiyyin di negri kami bahwasanya panitia penerimaan mahasiswa Jami’ah Islamiyyah itu mayoritasnya –jika saya tidak berkata: semuanya- dari hizbiyyin, dan mereka singgahnya di markiz-markiz hizbiyyin, dan tidak ada yang diterima kecuali oleh orang yang ditazkiyah oleh hizbiyyun negri kami, kecuali jarang sekali yang bukati hizbiyyin. Dan perkara yang jarang itu tidaklah dibangun di atasnya hukum. Ini semua menunjukkan kekuasaan Jami’ah memang dipegang oleh hizbiyyun, bukan di tangan salafiyyun seperti di permulaannya.
Syaikh kami Abdul Hakim Ar Roimiy hafizhohulloh mengabari saya bahwsanya manakala beliau mengunjungi Jami’ah Islamiyyah di Madinah dan masuk ke dalam asrama para pelajar, beliau mendapati bahwasanya mayoritas dari mereka para Ikhwaniyyun dan para mubtadi’ah yang lain.
Penjelasan yang sederhana ini cukup untuk menghukumi jami’ah tadi bahwasanya dia itu penuh dengan mubtadi’ah dan dikuasai oleh mereka.
BAB DUA :
Tidak Boleh Mengambil Ilmu Dari Mubtadi’ah.
Jika Anda telah mengetahui kondisi Jami’ah Islamiyyah di Madinah sekarang ini adalah demikian, maka tidaklah disyariatkan untuk belajar di situ jika kondisinya masih seperti itu.
Alloh -ta’ala- berfirman:
( فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى﴾
[النجم : 29-30]
“Maka berpalinglah, (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Yang demikian itu adalah puncak pengetahuan mereka. Sesungguhnya Robbmu lebih mengetahui orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui orang yang mengikuti petunjuk.” [QS. An Najm:29-30]
Alloh ta’ala juga berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ الله يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ الله جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
[النساء: 140].
“Dan sungguh telah Alloh turunkan kepada kalian di dalam kitab ini bahwasanya jika kalian mendengar ayat-ayat Alloh dikufuri dan diejek, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sampai mereka memperbincangkan pembicaraan yang lain. Sesungguhnya kalian jika tetap duduk dengan mereka akan semisal dengan mereka. Sesungguhnya Alloh akan mengumpulkan munafiqin dan kafirin ke dalam jahannam semuanya.” [QS.An Nisaa’:140].
Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata:
“Maka dengan ini menunjukkan akan wajibnya menjauhi pelaku maksiat jika nampak dari mereka kemungkaran, karena orang yang tidak menjauhi mereka berarti dia ridho dengan perbuatan mereka. Dan ridho dengan kekufuran adalah kekufuran juga. Alloh ‘azza wajalla berfirman: “Sesungguhnya kalian jika tetap duduk dengan mereka akan semisal dengan mereka.”
Maka setiap orang yang duduk di majelis maksiat dan tidak mengingkari mereka, berarti dia sama-sama mereka dalam dosa. Maka dia harus mengingkari mereka jika mereka berbicara dengan maksiat dan mengerjakannya.
Jika dia tak sanggup mengingkari mereka, dia harus bangkit meninggalkan mereka hingga tidak termasuk orang yang terkena ayat ini.
Dan telah diriwayatkan dari Umar bin Abdil ‘Aziz rodhiyallohu ‘anh bahwasanya beliau pernah menangkap sekelompok orang yang sedang minum khomr. Maka dikatakan pada beliau tentang salah seorang yang hadir saat ditangkap: “Orang ini puasa”, maka beliau menimpakan padanya hukuman juga dan membaca ayat ini: “Sesungguhnya kalian jika tetap duduk dengan mereka akan semisal dengan mereka.”() yaitu sesungguhnya ridho dengan kemaksiatan merupakan kemaksiatan juga. Karena itulah pelaku dan orang yang meridhoinya dihukum dengan hukuman kemaksiatan hingga mereka binasa semuanya.
Keserupaan ini bukanlah di seluruh sifat, tapi dalam bab pengharusan kemiripan untuk dihukumi secara zhohir dengan penggabungan, sebagaimana ucapan seseorang: “Maka setiap orang itu mencontoh orang yang disertainya.”
[“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/5/hal.418].
Jika kita telah tahu bahwasanya bersahabat dengan mubtadi’ah adalah harom, dan menjauhi mereka adalah, wajib berarti belajar kepada mubtadi’ah adalah lebih wajib untuk diharomkan juga.
Al Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata:
“Dan para ulama telah bersepakat bahwasanya tidak boleh bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot/menjauhi) saudaranya melebihi tiga hari kecuali jika takut bahwasanya berbincang-bincangnya dia dan berhubungannya dia dengan orang tadi akan merusak dirinya atau menyebabkan bahaya terhadap agamanya atau dunianya. Jika hal itulah yang ada, sungguh dia diperbolehkan untuk menjauhinya. Dan bisa jadi pemutusan hubungan dengan cara yang bagus itu lebih baik daripada pergaulan yang mengganggu.” [“At Tamhid”/6/hal. 127].
Al Imam Ibnu Baththoh rohimahulloh berkata:
“… Termasuk dari perkara yang kami jelaskan yang telah disepakati oleh seluruh muslimin dan umat ini adalah –lalu beliau menyebutkannya sampai pada ucapan beliau:- dan termasuk dari As Sunnah adalah: menjauhi dan memboikot setiap orang yang meyakini suatu perkara yang kami sebutkan tadi, membenci pelakunya, dan memboikot orang yang loyal kepada orang tadi, orang yang menolongnya, orang yang membelanya dan membela sahabatnya, sekalipun pelaku penyimpangan tadi menampakkan sunnah.” [“Asy Syarh Wal Ibanah”/Ibnu Bathhthoh/hal. 65/cet. Darul Atsar].
Al Imam Abu Utsman Ash Shobuniy rohimahulloh menukilkan madzhab Salaf:
“Dan mereka bersepakat untuk menundukkan Ahlul Bida`, menghinakan dan merendahkan mereka, dan menjauhkan mereka, dan menjauh dari mereka, dan menghindari persahabatan dengan mereka dan pergaulan dengan mereka, dan mendekatkan diri kepada Alloh dengan cara menjauhi mereka dan meninggalkan mereka.” [“Aqidatis Salaf Ashabil Hadits” hal. 114/Darul Minhaj].
Abul Hasan Al Asy’ariy rohimahulloh berkata:
“Dan Ahlussunnah bersepakat untuk mencela seluruh ahli bida’ dan berlepas diri dari mereka. Dan mereka adalah rofidhoh, khowarij, murjiah dan qodariyyah. Dan bersepakat untuk tidak bercampur dengan mereka, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam tentang masalah itu, dan perintah untuk berpaling dari mereka, di dalam firman ta’ala berfirman:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ،
“Dan jika engkau melihat orang-orang yang memperbincangkan ayat-ayat Kami (dengan pendustaan, bantahan dan ejekan), maka berpalinglah dari mereka”Hingga akhirnya.
[“Risalah Ila Ahlits Tsaghr”/Abul Hasan Al Asy’ariy/hal. 307-309/cet. Maktabatul ‘Ulum Wal Hikam].
Maka kita tidak boleh menyepelekan masalah ini dan bersandar pada perasaan bahwa keimanan kita kuat, karena hati itu lemah, sementara syubuhat itu menyambar-nyambar.
Dari Imron bin Hushoin rodhiyallohu ‘anhuma yang berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
«من سمع بالدجال فلينأ عنه فوالله إن الرجل ليأتيه وهو يحسب أنه مؤمن فيتبعه مما يبعث به من الشبهات أو لما يبعث به من الشبهات ».
“Barangsiapa mendengar datangnya dajjal maka hendaknya dia menjauh darinya. Karena demi Alloh, sesungguhnya ada orang yang mendatangi dajjal dalam keadaan dia mengira dirinya itu mukmin, lalu dia mengikuti dajjal itu dikarenakan syubhat-syubhat yang dibangkitkan oleh dajjal.”
[HR. Abu Dawud (4311) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy rohimahulloh dalam “Ash Shohihul Musnad” (1019)].
Setelah menyebutkan hadits ini Al Imam Ibnu Baththoh rohimahulloh berkata:
“Ini adalah sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan.
Maka demi Alloh wahai kaum Muslimin, jangan sampai baik sangka salah seorang dari kalian terhadap dirinya sendiri dan terhadap keshohihan madzhabnya yang diketahuinya membawa dirinya untuk melakukan taruhan dengan agamanya, dengan duduk-duduk dengan para pengekor hawa nafsu, lalu berkata:
“Aku akan masuk kepadanya untuk melakukan diskusi dengannya, atau akan kukeluarkan darinya madzhabnya.”
Karena sesungguhnya ahli hawa itu lebih besar fitnahnya daripada dajjal. Ucapan mereka lebih lengket daripada kurap, dan lebih membakar hati daripada gejolak api. Sungguh aku telah melihat sekelompok orang yang dulunya melaknati ahli hawa, mencaci mereka. Lalu mereka duduk-duduk dengan mereka untuk mengingkari mereka dan membantah mereka. Terus-menerus berlangsung ramah-tamah di antara mereka, makar tersembunyi, dan halusnya kekufuran tersamarkan hingga akhirnya orang-orang tadi masuk ke madzhab ahli hawa tadi.” [“Al Ibanatul Kubro”/di bawah no.480].
Dengan penjelasan yang sesuai dengan manhaj Salaf ini, nampaklah kekurangan orang yang menjadikan masalah hajr terhadap mubtadi’ah ini hanya bagaikan obat saja, jika obat itu tidak manjur (tidak bisa menyebabkan si mubtadi’ah sembuh), obat tadi harus diubah dan kita tidak boleh menhajrnya. Ini pendapat yang salah besar.
Apakah dia tidak melihat bahwasanya orang yang tertimpa penyakit menular itu, orang yang sehat dilarang untuk mendekatinya, sama saja obatnya tadi (menjauhi si sakit itu) membantu kesembuhan dia ataukah tidak?
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu yang menceritakan:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: «لا عدوى» .ويحدث مع ذلك: «لا يورد الممرض على المصح»
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada penularan dengan sendirinya.” Bersamaan dengan itu beliau menyebutkan hadits: “Binatang yang bisa menimbulkan penyakit tidak boleh didatangkan kepada binatang yang sehat.” [HR. Muslim (2221)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh ditanya tentang orang yang sedang sakit yang tinggal di suatu rumah di antara orang-orang yang sehat.
Sebagian dari mereka berkata:
“Engkau tidak mungkin berdekatan dengan kami. Dan engkau tidak boleh berdekatan dengan orang-orang yang sehat.”
Maka bolehkah orang sakit tadi dikeluarkan?”
Maka beliau menjawab:
“Iya, mereka boleh melarangnya untuk tinggal di antara orang-orang sehat, karena sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Binatang yang bisa menimbulkan penyakit tidak boleh didatangkan kepada binatang yang sehat.”
Maka beliau melarang pemilik onta untuk mendatangkan onta yang menularkan penyakit kepada onta-onta yang sehat. Ini bersamaan dengan sabda beliau: “Tidak ada penularan dengan sendirinya, dan tidak boleh punya keyakinan sial.”
Demikian pula diriwayatkan bahwasanya manakala ada orang terkena penyakit lepra datang untuk berbai’at dengan beliau, beliau mengirimkan utusan kepadanya bahwasanya bai’atnya telah telah diterima. Dan beliau tidak mengidzinkan dia untuk masuk ke Madinah.” [“Majmu’ Fatawa”/24/hal. 284-285].
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata:
Pasal: di dalam jalan Beliau shollallohu ‘alaihi wasallam untuk berjaga-jaga dari penyakit-penyakit yang menular secara alami, dan bimbingan beliau bagi orang-orang yang sehat untuk menjauhi para pembawa penyakit yang menular.
Telah pasti di dalam “Shohih Muslim” dari hadits Jabir bin Abdillah bahwasanya di kalangan delegasi dari Tsaqif ada orang yang terkena lepra. Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kembalilah, kami telah membai’at kamu.”
[“Zadul Ma’ad”/4/hal.134].
Dan Dari Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha yang berkata:
دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وعندي مخنث فسمعته يقول لعبد الله بن أبي أمية: يا عبد الله أرأيت إن فتح الله عليكم الطائف غدا فعليك بابنة غيلان فإنها تقبل بأربع وتدبر بثمان. وقال النبي صلى الله عليه وسلم: «لا يدخلن هؤلاء عليكن». (أخرجه البخاري (4324) ومسلم (2180)).
“Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam masuk menemuiku dan di sisiku ada seorang banci. Lalu aku mendengar si banci itu berkata pada Abdulloh bin Abi Umayyah (saudara Ummu Salamah): “Wahai Abdulloh, bagaimana pendapatmu jika Alloh membukakan kota Thoif untuk kalian besok? Engkau harus mengambil Bintu Ghoilan, karena anak perempuan itu menghadap dengan empat sisi dan membelakangi dengan delapan sisi (menggambarkan kecantikan badannya).” Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jangan sekali-kali si banci ini masuk menemui kalian (wahai para wanita).” [HR. Al Bukhoriy (4324) dan Muslim (2180)].
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata:
“Dan di dalam hadits-hadits ini ada dalil tentang disyariatkannya mengeluarkan setiap orang yang bisa menimbulkan gangguan pada manusia dari tempatnya sampai dia rujuk dari perbuatan itu atau bertobat.”
[“Fathul Bari”/10/hal. 334].
Maka penjagaan agama dan keselamatan aqidah adalah perkara yang amat penting.
Dan tidak setiap orang yang membacakan dalil itu pantas untuk dipercaya begitu saja.
Asma bin Khorijah rohimahulloh berkata : «Ada dua orang dari kalangan ahli ahwa masuk menemui Muhammad bin Sirin seraya berkata :
“Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan pada Anda satu hadits ?”
Maka beliau menjawab:
“Tidak boleh.”
Lalu keduanya berkata:
“Jika demikian, bolehkah kami menyampaikan pada Anda satu ayat dari Kitabulloh ‘azza wajalla?”
Maka beliau menjawab:
“Tidak boleh. Kalian meninggalkan aku atau aku yang akan pergi.”»
[Diriwayatkan Al Ajurriy dalam “Asy Syari’ah” (114)/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy/dishohihkan oleh Syaikhuna Abu ‘Amr Al Hajuriy hafizhohulloh].
Dan pencampuran Ahlissunnah dengan ahli bid’ah itu membahayakan agama si Ahlissunnah.
Pemimpin kaum muslimin di zamannya: Abu Abdillah Malik bin Anas rohimahulloh ketika ditanya tentang bagaimana istiwa Alloh, beliau menjawab:
“Istiwa itu telah diketahui.
Gambarannya itu tidak diketahui.
Beriman dengan itu adalah wajib.
Bertanya tentang itu adalah bid’ah.
Dan aku mengira bahwasanya engkau adalah seorang zindiq. Keluarkanlah dia dari masjid.”
[“Thobaqotusy Syafi’iyyatil Kubro”/4/hal. 163].
Dan terhadap kisah ini: ucapan Al Imam Malik:
“Dan aku tidak mengira dirimu kecuali seorang mubtadi'” lalu beliau memerintahkan agar orang ini dikeluarkan, Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkomentar:
“Dan demikianlah seharusnya para ulama jika melihat di dalam barisan mereka ada seorang mubtadi’ hendaknya mereka mengusirnya dari barisan mereka, karena mubtadi’ itu keberadaannya di tengah Ahlussunnah merupakan kejelekan, karena bid’ah itu penyakit seperti kanker, tidak diharapkan kesembuhannya kecuali jika Alloh menghendaki. Ucapan beliau “Kecuali seorang mubtadi'” bisa jadi beliau memaksudkan ucapan ini “Kecuali seorang mubtadi'” dengan sebab pertanyaan tadi atau “Kecuali seorang mubtadi'” yaitu (maksudnya):
kecuali karena engkau itu termasuk dari ahli bida’, karena ahli bida’ itulah yang agama mereka itu bersumber dari perkara yang samar-samar demi membikin percampuran terhadap orang-orang. Dan makna manapun yang dimaukan, maka hal itu menunjukkan bahwasanya jalan Salaf adalah mengusir para mubtadi’un dari barisan para pelajar.
Dan demikianlah seharusnya: mereka itu diusir dari seluruh masyarakat, dan area mereka dipersempit sehingga kebid’ahan mereka tidak tersebar.
Dan tak boleh dikatakan:
“Sesungguhnya manusia itu merdeka.”
Iya dia merdeka akan tetapi dalam batasan syariat. Adapun jika dia menyelisihi syariat maka sungguh dia wajib untuk dipersempit dan dijelaskan untuknya kebenaran, jika dia mau rujuk pada kebenaran maka itulah yang dikehendaki, tapi jika tidak, maka dia diperlakukan sesuai dengan apa yang dituntut oleh kebid’ahannya, berupa pengkafiran atau pemfasiqan.”
[“Syarhul ‘Aqidatis Safariniyyah”/1/hal. 171-172].
BAB TIGA :
Untuk Orang Yang Berkata: “Sesungguhnya di Jami’ah Itu Diajarkan Al Qur’an dan As Sunnah.”
Adapun orang yang berkata: “Sesungguhnya di Jami’ah Islamiyyah Madinah itu diajarkan Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita belajar di sana untuk mengambil dalil, dan tidak akan terpengaruh dengan kesalahan mereka.”
Maka saya menjawab dengan memohon pertolongan pada Alloh :
Janganlah kalian mengira bahwasanya para mubtadi’ah itu akan langsung menampakkan kejelekan mereka. Bahkan mereka punya metode untuk menyesatkan manusia dari arah yang tidak disadari.
Dari Mufadhdhol bin Muhalhil rohimahulloh yang berkata :
“Andaikata pelaku kebid’ahan jika engkau duduk di sisinya, dia menyampaikan kebid‘ahannya, pastilah engkau akan menghindar darinya dan lari darinya. Akan tetapi dia akan menyampaikan hadits-hadits sunnah di permulaan majelisnya, lalu memasukkan kepadamu kebid’ahannya. Maka bisa jadi kebid’ahan itu akan bercokol di hatimu. Maka kapankah kebid’ahan itu akan keluar dari hatimu ?”
[“Al Ibanatul Kubro”/karya Al Imam Ibnu Baththoh rohimahulloh/no. (399)/cet. Al Faruqul Haditsiyyah/sanad hasan].
Al Imam Al Barbahariy rohimahulloh:
“Permisalan pemilik bid’ah itu seperti kalajengking-kalajengking yang mengubur kepala dan badannya di dalam tanah, dan mengeluarkan ekor-ekornya. Ketika dia merasa mampu maka saat itu dia menyengat. Maka demikianlah ahlul bid’ah: mereka bersembunyi di antara manusia kemudian di saat punya kemampuan, mereka mengeluarkan apa-apa yang mereka inginkan.”
[“Tobaqot Hanabilah”/2/hal. 44/tentang terjemah Al Imam Hasan bin ‘Ali Al Barbahariy/ cetakan Darul Ma’rifah].
Maka wahai orang yang menghormati dirinya sendiri dan mencintai keselamatannya, larilah engkau dari para penyesat sebagaimana engkau lari dari singa, karena sesungguhnya perkara ini adalah agama, dan sesungguhnya kesudahan urusan ini adalah ke Jannatun Na’im (Surga yang penuh kenikmatan) atau ke Narul Jahim (Neraka yang apinya amat bergejolak).
Al Imam Al Hasan Al Bashriy rohimahulloh berkata:
“Wahai Anak Adam, jagalah agamamu, jagalah agamamu, karena sesungguhnya dia itulah daging dan darahmu. Jika engkau selamat, maka alangkah besarnya ketentraman, dan alangkah agungnya kenikmatan itu. Tapi jika yang terjadi adalah yang lainnya, maka itu hanyalah api yang tidak padam, dan batu yang tidak dingin, serta jiwa yang tidak mati.”
[Diriwayatkan oleh Al Imam Al Firyabiy dalam “Shifatun Nifaq”/no. (49) dengan sanad shohih].
BAB EMPAT :
Ahlussunnah Wal Jama’ah Tidak Memerlukan Ilmu Para Mubtadi’ah
Sekarang tinggal melengkapi jawaban terhadap syubhat sebagian ahli bid’ah yang mengatakan: “Mengambil ilmu dari ahli bid’ah itu boleh sebagaimana dulu Al Imam Al Bukhoriy mengambil riwayat dari mubtadi’ah.”
Sesungguhnya jawaban-jawaban di atas itu cukup untuk membantah syubhat tadi.
Kemudian kita tambahkan:
bahwasanya kami Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak memerlukan ilmu dari para mubtadi’ah, karena ilmu mereka tercampuri oleh kotoran-kotoran. Dan juga dikarenakan para ulama sunnah itu ada di setiap zaman.
Dari Tsauban rodhiyallohu ‘anhu yang berkata:
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
«لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق، لا يضرهم من خذلهم، حتى يأتي أمر الله وهم كذلك».
“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang tampil di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan mereka hingga datangnya urusan Alloh dalam keadaan mereka seperti itu.” [HR. Muslim (1920)].
Hadits ini juga datang dari Al Mughiroh bin Syu’bah rodhiyallohu ‘anh.
[HR. Al Buhoriy (7311) dan Muslim (1921)].
Hadits ini juga datang dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan rodhiyallohu ‘anhuma.
[HR. Al Buhoriy (7312) dan Muslim (7031)].
Hadits ini juga datang dari ‘Imron bin Hushoin rodhiyallohu ‘anhuma.
[HR. Abu Dawud (2484) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy rohimahulloh dalam “Ash Shohihul Musnad Mimma Laisa Fish Shohihain” (1025)].
Al Imam An Nawawiy rohimahulloh berkata dalam menjelaskan hadits ini:
“Dan di dalam hadits ini ada mu’jizat yang nyata, karena sifat ini dengan pujian untuk Alloh ta’ala terus-menerus ada dari zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam sampai sekarang dan sampai datangnya urusan Alloh tersebut –yaitu datangnya angin yang mencabut nyawa-nyawa kaum Mukminin.”
[“Syarh Shohih Muslim”/13/hal.67].
Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rohimahulloh dalam “Syarh Khuthbah Al Ilmam” berkata:
“Dan bumi ini tidak kosong dari orang yang menegakkan hujjah Alloh. Dan umat yang mulia ini pasti selalu ada di dalamnya orang yang menempuh jalan kepada kebenaran, di atas jalan yang jelas, sampai datangnya urusan Alloh pada tanda-tanda Kiamat yang besar.”
[sebagaimana dalam kitab “Al Ghoitsul Hami’”/karya Abu Zur’ah Al ‘Iroqiy/3/hal.902/ cet. Al Faruq].
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata:
“Karena sesungguhnya umat ini adalah umat yang paling sempurna, dan umat yang paling baik yang dikeluarkan untuk manusia, dan Nabinya adalah penutup para Nabi, tiada nabi setelah beliau. Maka Alloh jadikan para ulama di dalam umat ini setiap kali seorang alim meninggal, dia digantikan oleh orang alim yang lain agar alamat-alamat agama ini tidak pupus dan tidak tersamarkan tanda-tandanya.” [“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal.143].
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata:
“… dan ini dikarenakan Alloh subhanah telah menjamin penjagaan hujjah-hujjah-Nya dan bayyinah-bayyinah-Nya, dan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwasanya akan senantiasa ada sekelompok dari umat beliau yang tegak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan mereka, ataupun orang yang menyelisihi mereka, sampai hari Kiamat. Maka senantiasa Alloh menanam orang-orang yang ditanam-Nya di dalam agama-Nya, mereka menanamkan ilmu di dalam hati-hati orang-orang yang Alloh beri kemampuan untuk itu dan diridhoi-Nya untuk itu, maka jadilah mereka itu pewaris bagi para ulama sebelumnya, sebagaimana para ulama sebelumnya pewaris bagi para ulama sebelumnya lagi, maka hujjah-hujjah Alloh tidak terputus. Dan yang menegakkannya juga tidak terputus di bumi.
Dan di dalam atsar yang terkenal:
«لا يزال الله يغرس في هذا الدين غرسا يستعملهم بطاعته»
“Senantiasa Alloh menanam di dalam agama ini tanaman yang mereka itu Alloh jadikan beramal dengan ketaatan pada-Nya.”
Dan dulu termasuk doa sebagian orang terdahulu adalah:
(اللهم اجعلني من غرسك الذين تستعملهم بطاعتك).
“Ya Alloh jadikanlah saya termasuk dari tanaman-Mu yang Engkau jadikan mereka beramal dengan ketaatan pada-Mu.”
Dan karena itulah tidaklah Alloh tegakkan untuk agama ini orang yang menjaganya kemudian Dia mengambilnya kepada-Nya (mewafatkannya) kecuali dalam keadaan Alloh telah menanamkan apa yang diketahuinya dari ilmu dan hikmah, bisa jadi dalam hati-hati orang yang semisal dengannya, dan bisa jadi di dalam kitab-kitab yang dimanfaatkan oleh manusia sepeninggalnya.”
[selesai dari “Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 147-148].
Tentang hadits tadi, maka dia itu diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam «Sunan» (8) dan Ibnu Hibban dalam «Shohih» (236) dari Abu ‘Anbah Al Khoulaniy rodhiyallohu ‘anhu. Di dalam sanadnya adalah Al Jarroh bin Malih, dan dia punya kelemahan hapalan. Tapi hadits ini dengan pendukung-pendukungnya dalam bab ini menjadi hasan. Alloh a’lam.
Sampai bahkan dalam ilmu Bahasa Arobpun kita tidak boleh mengambilnya dari mubtadi’ah, karena bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan sebab belajar kepada mubtadi’ah itu lebih besar daripada kemaslahatan dengan dihasilkannya ilmu dari mereka.
Al ‘Allamah Muhammad Az Zarkasyiy rohimahulloh berkata: “Menolak kerusakan itu lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan.” [“Al Bahrul Muhith Fi Ushulil Fiqh”/7/hal.281].
Al ‘Allamah Ali Al Mardawiy rohimahulloh berkata:
“Dan perhatian Sang Pembuat Syari’at terhadap penolakan kerusakan itu lebih besar daripada penarikan (pengambilan; edt) kemaslahatan.” [“At Tahbir Syarhut Tahrir”/5/hal.2258].
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata:
“Kami berpendapat bahwasanya manusia itu jangan duduk-duduk dengan ahlul bida’ wal ahwa secara mutlak, sampai bahkan kalaupun dia tidak mendapati ilmu Bahasa Arob dan Balaghoh serta Shorf kecuali pada mereka.
Maka Alloh akan memberikan padanya yang lebih baik baik daripada orang tadi.
Hal ini dikarenakan jika kita mendatangi mereka dan kita berbolak-balik mengunjungi mereka, tidak ada keraguan lagi, pastilah mereka akan tertipu dengan diri mereka sendiri, dan orang-orang akan tertipu dengan mereka”
[“Syarh Hilyah Tholibil ‘Ilm”/Al ‘Utsaimin/hal. 90/cet. Darul ‘Aqidah].
Dan kalaupun kita anggap zaman ini kosong dari seorang alim sunniy, maka kita mencukupkan diri dengan kaset-kaset ulama, kitab-kitab mereka dan para murid mereka yang istiqomah yang ada.
Maka di dalam yang demikian itu ada kecukupan dan kebaikan yang banyak.
Dan hanya bagi Alloh sajalah segala pujian.
Kemudian sesungguhnya Al Imam Al Bukhoriy rohimahulloh itu memiliki kecukupan ilmu, iman dan kewaspadaan sehingga aqidah beliau tidak tertimpa bahaya kalaupun mengambil riwayat-riwayat dari mubtadi’ah.
Maka apakah para pelajar pada hari ini memiliki kecukupan ilmu, iman dan kewaspadaan?
Bahkan banyak dari mereka yang terjerumus ke dalam perangkap mubtadi’ah.
Kemudian sesungguhnya Al Imam Al Bukhoriy dan para imam yang lain rohimahumulloh itu mengambil riwayat-riwayat dari sebagian mubtadi’ah demi memelihara sunnah-sunnah agar tidak luntur, karena sebagian hadits ketika itu tidak didapati kecuali dari sebagian mubtadi’ah.
Maka ketika berbenturan dua maslahat :
Yakni maslahat menghinakan mubtadi’ah dan maslahat menghindari hilangnya hadits dari muka bumi, maka kemaslahatan yang kedua tentunya harus diutamakan.
Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rohimahulloh berkata:
“Kami berpandangan bahwasanya orang yang menjadi da’i kepada madzhabnya yang bid’ah itu, fanatik kepada bid’ahnya tadi, terang-terangan dengan kebatilannya tadi, hendaknya ditinggalkan saja periwayatan darinya, sebagai bentuk penghinaan untuknya dan untuk mematikan kebid’ahannya, karena sesungguhnya pengagungan terhadap mubtadi’ah merupakan suatu iklan untuk madzhab dia itu. Allohuma, kecuali jika hadits tadi tidak tidak kita dapati kecuali dari jalur dia, maka ketika itu maslahat penjagaan hadits, lebih diutamakan daripada maslahat penghinaan terhadap mubtadi’.” [“Al Iqtiroh”/hal.59].
Maka hadits apa lagi yang manusia memerlukannya pada hari ini yang tidak didapati kecuali dari jalur mubtadi’ah. (?)
Kemudian, sesungguhnya Al Imam Al Bukhoriy tidak mengambil riwayat dari para pendusta. Bahkan beliau menyaring para masyayikh beliau. Barangsiapa diketahui dari mereka kejujurannya dan kesholihannya, beliau mengambil riwayat darinya. Adapun pada hari ini, maka kita tidak mendapati dari kalangan mubtadi’ah yang jujur dan sholih sebagaimana mestinya kecuali sedikit sekali.
Maka pada hakikatnya tidaklah tersisa hajat manusia untuk mengambil ilmu dari mubtadi’ah pada hari ini.
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.
[Selesai disusun dan diterjemahkan di Shon’a, Yaman 20 Jumadal Ula 1436 H]