Ghibah
Sumber Channel Telegram: MaktabahFairuzAddailamiy
GHIBAH
Assalamualaikum ya syeikh ana mohon syeikh rincikan tentang permasalahan ghibah. Bagaimana kita menyikapi ghibah? Ghibah yang dibenarkan dan semisalnya. Sepertinya kita menerangkan keburukan2 ahlul bida dan seumpamanya.
JazakAlloh khair ya syeikh
---------------
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Ghibah (menggunjing) adalah haram, dan boleh jadi sampai menjadi dosa besar. Allah ta’ala berfirman:
﴿وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ﴾ [الحجرات: 12].
“Dan janganlah sebagian dari kalian mengghibahi sebagian yang lain. Apakah salah seorang dari kalian menyukai untuk memakai daging saudaranya yang telah mati? Pastilah kalian membenci itu”.
Dari Anas رضي الله عنه yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَماَّ عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمَشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ. فقلتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قال: هَؤُلَاءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِم».
"Ketika aku dinaikkan ke langit aku melewati suatu kaum yang punya kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka sendiri. Kutanyakan: "Siapakah mereka itu wahai Jibril?" Jawabnya: "Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan merusak kehormatan mereka." (HR. Abu Dawud (4878) dan dishahihkan Al Imam Al Wadi'i رحمه الله dalam "Ash Shahihul Musnad" (112)).
Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Kemudian orang mukmin diberi kenikmatan di alam kubur sesuai dengan amalannya, dan orang yang jahat disiksa di situ sesuai dengan amalannya juga. Dan setiap anggota badan dikhususkan dengan siksaan yang layak dengan kejahatan anggota badan tadi, maka orang yang suka menggunjing dan merobek-robek daging manusia serta merusak kehormatan mereka, mulutnya digunting dengan gunting-gunting dari api." ("Tuhfatul Maudud"/hal. 305).
Demikianlah yang disebutkan oleh Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله. Yang menjadi pendalilan adalah: bahwasanya siksaan di alam kubur itu terjadi sesuai dengan jenis kejahatan yang diperbuat. Allah yang paling tahu.
Dan dari Abu Hurairah رضي الله عنه yang berkata:
أن رسول الله ﷺ قال: «أتدرون ما الغيبة؟» قالوا: الله ورسوله أعلم. قال: «ذكرك أخاك بما يكره». قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال: «إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته».
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: "Ghibah itu adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang dia benci." Mereka berkata,"Kabarkanlah pada kami bagaimana jika pada saudaraku itu ada yang saya sebutkan? Beliau menjawab,"Jika memang yang kau katakan itu ada padanya, maka engkau telah menggibahinya. Tapi jika yang kau katakan itu tidak ada padanya, maka engkau telah berdusta atas nama dia." (HR. Muslim (2589)).
Peringatan:
Nasihat yang dilakukan oleh Ahlussunnah untuk umat ini, dan peringatan mereka terhadap pelaku bid'ah dan pengekor hawa nafsu itu boleh, bahkan wajib, berdasarkan dalil-dalil dan kesepakatan para ulama.
Bacalah ucapan Al Khathib Al Baghdadiy dalam “Al Kifayah” (1/hal. 84-86).
Dalam pembukaan Shahih Muslim: bab penjelasan bahwasanya sanad adalah bagian dari agama, dan bahwasanya riwayat itu tidak diterima kecuali dari para tsiqat, dan bahwasanya jarh (celaan) terhadap para rawi sesuai dengan kenyataan yang ada pada mereka adalah boleh dan bahkan wajib, dan bahwasanya hal itu bukanlah termasuk dari ghibah (pergunjingan) yang diharamkan. Bahkan hal itu termasuk dari pembelaan untuk syariat yang dimuliakan. ("Shahih Muslim"/1/hal. 199-200/Al Minhaj/cet. Maktabatul Ma'arif).
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata dalam syarh hadits ghibah: "Ghibah itu diperbolehkan untuk tujuan yang syar'iy, dan yang demikian itu untuk enam sebab:
Yang pertama: mengadukan kezhaliman. Boleh bagi orang yang terzhalimi untuk mengadukan kezhaliman kepada penguasa, hakim dan yang lainnya, dari kalangan yang punya kekuasaan atau kemampuan untuk berbuat adil dari orang yang menzhaliminya, dengan berkata: "Fulan menzhalimiku, atau berbuat begini-begini padaku."
Yang kedua: meminta bantuan untuk merubah kemungkaran, mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran, dengan berkata pada orang yang diharapkan kemampuanny: "Fulan berbuat demikian, maka cegahlah dia dari itu," dan yang seperti itu.
Yang ketiga: minta fatwa dengan berkata pada mufti: "Fulan, atau ayahku, atau saudaraku, atau suamiku menzhalimiku dengan berbuat ini. Maka apakah boleh dia berbuat demikian? Dan bagaimana jalan keluar bagiku darinya, dan menolak kezhalimannya dariku?" dan yang seperti itu. Maka ini boleh karena keperluan. Dan lebih bagus jika berkata tentang seseorang atau suami atau orang tua atau anak: "Dia berbuat demikian." Sekalipun demikian penyebutan namanya boleh berdasarkan hadits Hindun dan perkataannya: "Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit"
Yang keempat: peringatan muslimin dari kejelekan. Yang demikian itu ada beberapa sisi:
Di antaranya adalah celaan terhadap rawi yang layak dicela, atau para saksi, atau para penulis, dan yang demikian itu boleh dengan kesepakatan ulama. Bahkan wajib dalam rangka menjaga syariat. Di antaranya adalah pengabaran tentang aibnya ketika sedang bermusyawarah untuk berhubungan dengannya. Di antaranya adalah: jika engkau melihat ada orang yang membeli sesuatu yang cacat, atau membeli hamba sahaya yang suka mencuri atau suka berzina atau suka minum khamr atau yang seperti itu, engkau mengingatkan sang pembeli jika dia tak tahu itu, sebagai bentuk nasihat, bukan dengan maksud menyakiti atau merusak. Dan di antaranya adalah: jika engkau melihat ada orang yang sedang menuntut ilmu tapi berbolak-balik pada orang yang fasiq atau mubtadi’, dia mengambil ilmu darinya, dan engkau mengkhawatirkan bahaya terhadapnya, maka wajib atasmu untuk menasihatinya dengan menjelaskan keadaannya dengan maksud menasihati. Dan di antaranya adalah: dirinya punya kekuasaan tapi dirinya tak boleh menjalankan sebagaimana mestinya karena tak punya keahlian atau karena dirinya fasiq, maka seseorang melaporkan pada orang yang lebih berkuasa di atasnya menjelaskan tentang keadaannya sehingga tidak tertipu dengannya dan senantiasa bersikap lurus.
Yang kelima: orang yang terang-terangan dengan kefasiqan atau kebid’ahan, seperti khomr, merampas harta manusia, mengambili pajak, mengurusi perkara-perkara batil, maka boleh untuk disebutkan perkara yang dia terang-terangan tersebut. Dan tak boleh menyebutkan yang lain kecuali dengan sebab lain.
Yang keenam: untuk memperkenalkan, jika dirinya memang dikenal dengan suatu julukan, seperti Al A’masy, Al A’raj, Al Azraq, Al Qashir, Al A’ma, Al Aqtha’ dan yang seperti itu, maka boleh memperkenalkan dengan itu. Dan diharamkan menyebutkan dalam rangka merendahkan. Jika memungkinkan memperkenalkan dengan julukan yang lain itu lebih utama. Wallahu a’lam”
(selesai dari “Al Minhaj”/16/hal. 379/cet. Maktabatul Ma’arif).
Dari ‘Affan رحمه الله yang berkata: “Aku ada di sisi Isma’iI bin ‘Ulayyah, maka ada seseorang yang menyampaikan hadits dari seseorang. Maka kukatakan: “Janganlah Anda menyampaikan hadits dari orang ini, karena dia itu tidak kokoh.” Maka dia berkata: “Engkau telah mengghibahi dia.” Maka Isma’il berkata: “Dia tidak mengghibahi dirinya, dia tapi menghukumi orang itu bahwasanya dirinya itu tidak kokoh.” (“Al Jarh Wat Ta’dil”/karya Al Imam Ibnu Abi Hatim Ar Raziy/2/hal. 23/atsar shahih/cet. Darul Fikr).
Al Imam Ibnu Abi Hatim Ar Raziy رحمه الله menyebutkan atsar ini di bawah judul: bab pensifatan rawi dengan kelemahan, dan bahwasanya yang demikian itu bukanlah ghibah.
Dari Abu Shalih Al Fara yang berkata: “Aku ceritakan pada Yusuf bin Asbath tentang Waki’ tentang suatu perkara fitnah. Maka Yusuf berkata: “Orang itu seperti ustadznya –yaitu: Hasan bin Hayy- maka kukatakan pada Yusuf: “Apakah Anda tidak takut bahwasanya ini adalah ghibah?” maka beliau menjawab: “Memangnya kenapa wahai orang tolol? Aku lebih baik untuk mereka daripada ayah ibu mereka. Aku melarang manusia dari melakukan apa yang mereka buat yang boleh menyebabkan dosa-dosa mereka mengikuti mereka. Dan orang yang berlebihan memuji mereka itu lebih berbahaya terhadap mereka.” (“Adh Dhu’afa”/karya Al ‘Uqailiy رحمه الله/1/hal. 232/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
والله تعالى أعلم بالصواب.
والحمد لله رب العالمين.
-----------
Dijawab Oleh: Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy حفظه الله