Header Ads

Menjamak Sholat Bagi Orang Yang Mukim

Sumber Channel Telegram: MaktabahFairuzAddailamiy

Menjamak Sholat Bagi Orang Yang Mukim

Pertanyaan:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Di manakah dalil yang membolehkan menjamak sholat bagi orang mukim (bukan dalam situasi safar?
--------


Jawaban dengan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله ﷺ. أما بعد:

Sesungguhnya permasalahan ini adalah salah satu ujian tentang ilmu dan ketakwaan, maka saya wasiatkan pada diri saya sendiri dan semua saudara saya kaum Muslimin untuk senantiasa berusaha menambahkan ilmu dan ketakwaan, mengikuti ajaran Nabi ﷺ baik itu yang bersifat ucapan, perbuatan, persetujuan, isyarat ataupun yang lainnya yang memang pasti dari beliau, tanpa bersikap berlebihan ataupun mengurangi.

Dalil dari masalah ini adalah hadits yang di dalam “Shahih Muslim (705) dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:

جمع رسول الله ﷺ بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر.

“Rasulullah ﷺ pernah menjamak antara sholat zhuhur dan asar, dan sholat maghrib dan isya di Madinah bukan karena takut dan juga bukan karena hujan”.

Di dalam sanad Waki’ disebutkan: aku (murid Ibnu Abbas) berkata kepada Ibnu Abbas: “Kenapa Rasulullah melakukan yang demikian itu?” Beliau menjawab:

كي لا يحرج أمته.

“Agar beliau tidak menyulitkan umat beliau”.
 Dan di dalam hadits (riwayat Abu Mu’awiyah) disebutkan: ditanyakan kepada Ibnu Abbas: “Apa yang Rasulullah inginkan dari amalan tadi?” Beliau menjawab:

أراد أن لا يحرج أمته.

“Beliau ingin untuk tidak menyulitkan umat beliau”.

Diriwayatkan oleh Muslim juga no. (705) dari jalur Malik: dari Abuz Zubair: dari Sa’id Bin Jubair: dari Ibnu Abbas yang berkata:

صلى رسول الله ﷺ الظهر والعصر جميعا والمغرب والعشاء جميعا في غير خوف ولا سفر.

“Rasulullah ﷺ pernah melakukan sholat zhuhur dan asar secara keseluruhan, dan sholat maghrib dan isya secara keseluruhan bukan karena takut dan juga bukan karena safar”.

Diriwayatkan oleh Muslim juga no. (705) dari jalur Hammad: dari Az Zubair Ibnul Khirrit: dari Abdullah Bin Syaqiq: yang berkata:

خطبنا ابن عباس يوماً بعد العصر حتى غربت الشمس وبدت النجوم، وجعل الناس يقولون: الصلاة الصلاة. قال: فجاءه رجل من بني تميم لا يفتر ولا ينثني: الصلاة الصلاة. فقال ابن عباس: أتعلمني بالسنة؟ لا أم لك ثم قال: رأيت رسول الله ﷺ جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء.

“Pada suatu hari Ibnu Abbas berkhutbah di hadapan kami setelah asar hingga matahari terbenam dan bintang-bintang bermunculan. Dan mulailah orang-orang berkata: “Sholat, sholat”. Lalu datanglah seorang lelaki dari Bani Tamim yang tidak pernah putus beribadah dan tidak pernah berhenti dari beramal, seraya berkata: “Sholat, sholat”. Maka Ibnu Abbas menjawab: “Apakah engkau mengajari Sunnah? Engkau bagaikan tidak punya ibu”. Lalu Ibnu Abbas berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ pernah menjamak antara sholat zhuhur dan asar, dan sholat maghrib dan isya”.

Abdullah Bin Syaqiq berkata: “Maka hal itu menimbulkan suatu kegalauan di dalam dadaku, kemudian aku mendatangi Abu Hurairah, selanjutnya aku menanyakan hal itu pada beliau, maka beliau membenarkan ucapan Ibnu Abbas”.

Juga diriwayatkan oleh Al Bukhariy dalam “Shahih” beliau no. (543) dari jalur Hammad Bin Zaid: dari Amr Bin Dinar: dari Jabir Bin Zaid: dari Ibnu Abbas:

أن النبي ﷺ صلى بالمدينة سبعا وثمانيا الظهر والعصر والمغرب والعشاء.

“Bahwasanya Nabi ﷺ pernah sholat di Madinah tujuh rekaat dan delapan rekaat: zhuhur dan asar, maghrib dan isya”.

Ayyub berkata: “Barangkali itu terjadinya pada malam yang terguyur hujan”. Beliau (Jabir Bin Zaid) menjawab: “Boleh jadi”.

Dan itu diriwayatkan juga oleh Muslim no. (705) dari jalur tadi tanpa ucapan Ayyub.

Maka pondasi dalil dari masalah ini adalah hadits ini semua: hadits Ibnu Abbas dan juga hadits Abu Hurairah رضي الله عنهم.

Pasal Satu: Bolehnya menjamak dua sholat karena suatu kesulitan, asalkan tidak dilakukan terus-menerus

Alasan yang digunakan oleh Nabi ﷺ untuk menjamak sholat-sholat tadi di Madinah adalah jelas: agar tidak menyulitkan umat beliau. Hal ini menunjukkan bahwasanya amalan Nabi ﷺ saat itu tadi bukanlah dikarenakan udzur safar, ataupun udzur takut, ataupun udzur hujan, sebagaimana hal itu ditiadakan oleh saksi kisahnya langsung yaitu: Ibnu Abbas رضي الله عنهما.

Sekalipun demikian, para ulama berkata: hal itu (menjamak sholat karena suatu kesulitan) tidak boleh sering dilakukan; karena waktu-waktu sholat telah Allah tentukan, dan juga karena Nabi ﷺ tidak sering melakukan itu.

Al Imam Ibnul Mundzir رحمه الله berkata: “Jika telah pasti adanya rukhshah (keringanan) di dalam menjamak dua sholat; bolehlah seseorang menjamaknya karena hujan, karena angin kencang, karena situasi yang gelap, dan kesulitan yang lain seperti sakit dan alasan-alasan yang lainnya”. (“Al Ausath”/Ibnul Mundzir/3/hal. 481).

Al Imam Ibnul ‘Aththar Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Adapun menjamak sholat karena adanya hajat (keperluan yang jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesulitan –pen) di dalam situasi mukim, tanpa menjadikan jamak tadi sebagai kebiasaan; maka hal itu diperbolehkan oleh Ibnu Sirin, dan juga oleh Asyhab dari kalangan pengikut Malik, juga oleh Al Qaffal Asy Syasyiy Al Kabir dari kalangan pengikut Asy Syafi’iy. Dan dinukilkan oleh Al Khaththabiy darinya dari Abu Ishaq Al Marwaziy dari sekelompok ahli hadits. Dan itulah yang dipilih oleh Ibnul Mundzir. Dan memang itulah yang nampak dari ucapan Ibnu Abbas: ‘Nabi ingin untuk tidak menyusahkan umat beliau’. Dan beliau tidak menyebutkan alasan jamak tadi adalah karena sakit ataupun yang lainnya.“ (“Al ‘Uddah Fi Syarhil ‘Umdah”/Ibnul ‘Aththar/2/hal. 665).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Maka jelaslah dengan itu bahwasanya menjamak sholat tadi adalah untuk menghilangkan kesulitan. Maka jika di dalam memisahkan sholat (mengerjakannya di masing-masing waktunya –pen) itu ada kesulitan, bolehlah untuk menjamaknya, dan itu adalah waktu udzur dan hajat. Maka dari itu para Sahabat seperti Abdurrahman Bin Auf dan Ibnu Umar berkata tentang wanita yang haid jika telah suci sebelum terbenamnya matahari: ‘Hendaknya dia mengerjakan sholat zhuhur dan asar. Dan jika dia suci sebelum fajar, hendaknya dia mengerjakan sholat maghrib dan isya’. Dan ini juga pendapat ahli (ulama yang berpendapat adanya) jamak seperti Malik dan Syafi’iy serta Ahmad. Maka hal ini sesuai dengan kaidah sholat jamak di waktu yang mengalami persekutuan di antara dua sholat yang boleh dijamak ketika adalah faktor darurat atau faktor penghalang”. (“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 88).

Al Imam Ibnu Muflih Al Hanbaliy رحمه الله berkata: “Dan dinukilkan oleh Ibnu Misyisy: ‘Boleh menjamak di kampung sendiri karena darurat semacam sakit atau kesibukan’. Al Qadhiy berkata: ‘Atau apa saja yang menyebabkan bolehnya untuk tidak mengikuti sholat Jum’at dan sholat jama’ah’. Pengarang “Al Muharrar” berkata: ‘Dan tambahan dari Al Qadhiy ini menunjukkan bahwasanya udzur-udzurnya itu semua membolehkan untuk menjamak sholat. Dan beliau berdalilkan di dalam kitab “Al Khilaf” bahwasanya sholat berjama’ah itu kewajibannya gugur karena adanya hujan, berdasarnya atsar. Dan jika kewajiban berjama’ah itu gugur karena suatu kesulitan; maka menjamak dua sholat itu boleh karena adanya makna tadi”. (“Al Furu’”/Ibnu Muflih/3/hal. 29).

Al ‘Allamah Ibnu Baththal Al Isybiliy رحمه الله berkata: “Maka di dalam hadits tadi ada fikih: bolehnya menjamak dua sholat di kampung sendiri sekalipun tidak ada hujan. Hal itu telah diperbolehkan oleh sekelompok ulama apabila ada udzur yang menyusahkan dan menyulitkan dirinya, berdasarkan atsar yang diriwayatkan oleh Habib Bin Abi Tsabit: Ibnu Sirin berkata: ‘Tidaklah mengapa menjamak di antar dua sholat di kampung sendiri jika ada hajat atau sesuatu; selama dia tidak menjadikan jamak tadi sebagai kebiasaan dirinya’. Dan hal itu diperbolehkan oleh Rabi’ah Bin Abi Abdirrahman. Asyhab berkata dalam kitab “Al Majmu’ah”: ‘Tidaklah mengapa menjamak di antara dua sholat di kampung sendiri tanpa adanya hujan ataupun sakit, sekalipun sholat di awal waktu itu lebih utama’.”. (“Syarh Ibni Baththal”/8/hal. 334).

**Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata:** “Menjamak dua sholat karena suatu udzur itu boleh menurut mayoritas ulama, sebagaimana Nabi ﷺ menjamak sholat zhuhur dan asar di Arafah, dan menjamak sholat maghrib dan isya di Muzdalifah. Dan jamak di dua tempat tadi adalah pasti berdasarkan sunnah yang mutawatir dan kesepakatan para ulama.

Demikian pula telah pasti di dalam kitab “Shahih” dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau sering menjamak di dalam safar jika bersungguh-sungguh di dalam perjalanan, dan bahwasanya beliau mengerjakan sholat di Madinah delapan rekaat menjamak zhuhur dan asar, dan tujuh rekaat menjamak sholat maghrib dan isya, beliau dengan itu ingin untuk tidak menyusahkan umat beliau, berdasarkan firman Allah ta’ala:

﴿وما جعل عليكم في الدين من حرج﴾ [ الحج : 78 ].

“Dan Allah tidak menjadikan di dalam agama ini kesulitan terhadap kalian”.

Maka dari itu madzhab Al Imam Ahmad dan ulama yang lainnya seperti sekelompok pengikut Malik dan lainnya adalah: boleh menjamak dua sholat jika mengalami kesulitan untuk memisahkan kedua sholat tadi”.
(Selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/21/hal. 432-433).

Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbaliy رحمه الله berkata: “Dan Ahmad telah menetapkan tentang bolehnya menjamak dua sholat karena suatu kesibukan”. (“Fathul Bari”/Ibnu Rajab/4/hal. 43).

Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata tentang hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما: “Dan ini dibawa kepada pemahaman bahwasanya beliau ﷺ menjamak sholat zhuhur dan asar, juga maghrib dan isya di Madinah karena suatu sebab yang menuntut dihilangkannya kesulitan dan kesukaran dari para Sahabat pada hari itu, boleh jadi karena sakit yang tengah merata, atau jalanan yang menggelincirkan, ataupun karena udzur-udzur yang mengakibatkan kesulitan terhadap para Sahabat pada hari itu”. (“Majmu’ Fatawa Ibni Baz”/12/hal. 304-305).

Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata juga:** “Di dalam hadits ini Ibnu Abbas رضي الله عنهما tidak menyebutkan bahwasanya amalan tadi diulang-ulang oleh Nabi ﷺ, bahkan zhahirnya adalah amalan itu beliau lakukan satu kali saja”. (“Majmu’ Fatawa Ibni Baz”/12/hal. 305).

Al Imam Al Albaniy رحمه الله berkata: “Yang nampak bagiku dari penjamakan sholat yang ada pada hadits Ibnu Abbas dengan ‘illah (alasan) menghilangkan kesulitan umat adalah: bahwasanya penjamakan sholat tadi hanyalah diperbolehkan ketika memang ada kesulitan. Jika tidak demikian maka tidak boleh. Dan hal itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu dan situasi yang mereka alami. Dan boleh jadi para Salaf yang membolehkan amalan tadi secara mutlak telah mengisyaratkan apa yang aku sebutkan tadi ketika mereka mensyaratkan bahwasanya amalan tadi tidak menjadi kebiasaan seperti yang diperbuat oleh Syi’ah. Dan aku tidak mampu menggambarkan hal itu (bermudah-mudah menjamak sholat –pen) terjadi pada orang yang bersemangat menunaikan sholat-sholat di waktu-waktunya yang lima dan di masjid-masjid bersama jama’ah. Allah سبحانه وتعالى Maha Tahu”. (“Silsilatul Ahaditsish Shahihah”/9/hal. 120).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: “Makna ‘Untuk tidak mempersulit umat beliau’ adalah: tidak menjatuhkan umat beliau ke dalam kesulitan. Maka hal ini menunjukkan bahwasanya jika seseorang mendapati kesulitan untuk menyendirikan setiap sholat pada waktunya; maka dia boleh untuk menjamak, namun jika tidak tidak mengalami kesulitan maka dia tidak boleh menjamaknya, karena Allah berfirman:

﴿إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابًا موقوتًا﴾ [النساء: 103]،

“Sesungguhnya sholat itu telah ditentukan kepada kaum Mukminin waktu-waktunya”.

Dan Nabi عليه الصلاة والسلام telah menerangkan waktu-waktu sholat. Jika demikian kita kembali kepada pendapat ketiga yang bersifat pertengahan, yaitu: bahwasanya menjamak itu boleh jika memang di situ adalah kesulitan dan kesukaran”.
(Selesai dari “Fathu Dzil Jalali Wal Ikram”/Al Utsaimin/2/hal. 310).

Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله berkata: “Maka yang terkuat adalah: bahwasanya Nabi صلى الله عليه وعلى آله وسلم mengerjakan amalan tadi secara sangat jarang. Dan berdasarkan itu maka tidak mengapa untuk dikerjakan dengan sangat jarang, bukan seperti perbuatan para pemakan Qat (sejenis ganja –pen). Dan sangat layak bagi para tawanan Qat yang menyia-nyiakan sholat-sholat yang mana kebanyakan dari mereka dikhawatirkan akan terkena firman Allah ta’ala:

﴿فخلف من بعدهم خلْف أضاعوا الصّلاة واتّبعوا الشّهوات فسوف يلْقون غيًّا﴾.

“Lalu datanglah sepeninggal mereka generasi yang menyia-nyiakan sholat dan mengikuti syahwat-syahwat, maka mereka akan menjumpai kesesatan (atau siksaan yang sangat keras)”.
Dan firman Allah ta’ala:

﴿فويل للمصلّين الّذين هم عن صلاتهم ساهون﴾.

“Maka kecelakaan akan menimpa orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lupa dari sholat mereka”.

Layaklah bagi mereka untuk mengambil faidah dari ucapan para ulama Yaman (yang sangat keras berfatwa dalam masalah ini –pen), dan mengerjakan setiap sholat pada waktunya”.
(Selesai dari “Majmu’atur Rasailil Ilmiyyah”/Maktabah Muqbil Al Wadi’iy/8/hal. 53).

Fadhilatu Syaikhina Muhammad Bin Ali Bin Adam Al Itsyubiy حفظه الله berkata: “Kesimpulannya adalah: bahwasanya pendapat yang terkuat di dalam masalah ini adalah pendapat ulama yang menyatakan tentang bolehnya menjamak sholat secara hakiki di kampung sendiri secara kadang-kadang saja; apabila hal itu diperlukan, demi menolak kesulitan, berdasarkan penjelasan yang telah kami sebutkan terdahulu”. (“Dzakhiratul ‘Uqba Fi Syarhil Mujtaba”/7/hal. 477).

Fadhilatu Syaikhina Muhammad Bin Ali Bin Hizam Al Fadhliy حفظه الله setelah menyebutkan pendapat yang membolehkan itu tanpa menjadikannya sebagai kebiasaan; beliau berkata: “Dan itulah yang benar, dan itu adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh kami Muqbil Al Wadi’iy رحمه الله“. (“Fathul ‘Allam Syarh Bulughil Maram”/2/hal. 109).

Berikut ini adalah dua contoh udzur yang menyebabkan bolehnya menjamak sholat di kampung sendiri (mukim):

Pasal Dua: Menjamak sholat karena adanya hujan

Diambil faidah dari hadits tadi: bolehnya menjamak dua sholat-dua sholat (zhuhur dengan asar, dan juga maghrib dengan isya) dengan sebab turunnya hujan. Kenapa demikian?

Karena: Rasulullah ﷺ pernah menjamak antara sholat zhuhur dan asar, dan antara sholat maghrib dan isya di Madinah (yaitu: bukan safar, sebagaimana terang-terangan disebutkan dalam sebagian riwayat Muslim), bukan karena takut dan juga bukan karena hujan. Yaitu: beliau pernah menjamak sholat tanpa adanya udzur-udzur yang terkenal.
Berarti: menjamak sholat dengan sebab ada udzur; itu lebih layak lagi untuk diperbolehkan. Di antara udzur adalah: turunnya hujan yang membasahi pakaian. Dan inilah pemahaman Sahabat dan para Salaf setelah mereka.

Dari Dawud Bin Qais yang berkata:
سمعت رجاء بن حيوة يسأل نافعا: أكان ابن عمر يجمع مع الناس بين الصلاتين إذا جمعوا في الليلة المطيرة؟ قال: نعم.

Aku mendengar Raja Bin Haiwah bertanya kepada Nafi’: “Apakah dulu Ibnu Umar menjamak bersama orang-orang di antara dua sholat apabila mereka menjamak di malam yang terguyur air hujan?” Beliau menjawab: “Iya”. (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (4439)/ sanadnya shahih).

Dan dari Hisyam Bin Urwah yang bercerita:
أن أباه عروة، وسعيد بن المسيب، وأبا بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام بن المغيرة المخزومي : كانوا يجمعون بين المغرب والعشاء في الليلة المطيرة إذا جمعوا بين الصلاتين ولا ينكرون ذلك.

“Bahwasanya ayahnya, Urwah, dan Sa’id Ibnul Musayyab, serta Abu Bakr Bin Abdirrahman Ibnil Harits Bin Hisyam Ibnil Mughirah Al Makhzumiy; mereka dulu sering menjamak di antara maghrib dan isya di malam yang diguyur hujan jika mereka memang ingin menjamak di antara dua sholat, dan mereka tidak mengingkari amalan tadi”. (Diriwayatkan oleh Al Baihaqiy dalam “Al Kubra” (5346) dengan sanad yang shahih).

Al Imam Ibnu Abdil Barr Al Malikiy رحمه الله berkata: “Dan diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar, Aban Bin Utsman, Urwah Ibnuz Zubair, Abu Salamah Bin Abdirrahman, Sa’id Ibnul Musayyab, Abu Bakr Bin Abdirrahman, Al Qasim Bin Muhammad, dan Umar Bin Abdil Aziz; bahwasanya mereka sering menjamak di antara dua sholat di malam yang diguyur hujan. Dan kami telah menyebutkan sanad-sanad dari mereka tentang itu di dalam kitab “At Tamhid”. Dan itu adalah perkara yang terkenal di Madinah dan diamalkan di sana. Dan itu adalah pendapat Ahmad dan Ishaq”. (“Al Istidzkar”/2/hal. 211).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله setelah menyebutkan beberapa atsar, beliau berkata: “Maka atsar-atsar ini menunjukkan bahwasanya menjamak sholat dikarenakan hujan itu termasuk ajaran yang telah lama diamalkan di Madinah pada zaman para Sahabat dan Tabi’in, disertai dengan bahwasanya tidak dinukilkan dari satu orang Sahabatpun dan satu Tabi’in ada yang mengingkari hal itu. Maka dengan itu diketahuilah bahwasanya telah dinukilkan di kalangan mereka secara mutawatir tentang bolehnya hal itu”. (“Majmu’ul Fatawa”/24/ hal. 83).

Al Imam Al Albaniy رحمه الله setelah menyebutkan atsar Ibnu Umar dan Atsar Hisyam Bin Urwah, beliau berkata: “Sanadnya keduanya shahih. Dan yang demikian itu menunjukkan bahwasanya menjamak sholat karena hujan itu memang sudah dikenal di kalangan mereka (Sahabat dan Tabi’in), berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang terdahulu: “Bukan karena takut ataupun hujan”, karena ucapan tadi memberikan pengetahuan bahwasanya menjamak sholat disebabkan turunnya hujan itu memang telah dikenal pada masa Nabi ﷺ , karena jika tidak demikian niscaya tidak ada di situ faidah dari ditiadakannya “Hujan” yang bagaikan menjadi sebab diperbolehkannya menjamak sholat, maka renungkanlah hal itu”. (“Irwaul Ghalil”/3/hal. 40).

Dan tiada keraguan bahwasanya yang dimaksudkan dengan hujan yang membolehkan dijamaknya dua sholat tadi adalah hujan yang menyebabkan basahnya pakaian.

*"Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله** dalam membahas udzur hujan tadi, beliau berkata: “Jika ditanyakan: apakah kriteria basah tadi? Jawabnya adalah: yaitu kebasahan yang jika pakaian (yang terkena hujan) tadi diperas maka meneteslah air darinya”. (“Asy Syarhul Mumti’”/34/hal. 52).

Pasal Tiga: menjamak dua sholat karena sedang sakit

Demikian pula sakit yang menyulitkan penderitanya adalah udzur, maka menjamak dua sholat dengan sebab itu adalah boleh menurut pendapat yang terkuat.

Al Imam Al Bukhariy berkata di dalam “Shahih” beliau: “Bab Waktu Maghrib. Dan Atha berkata: orang yang sakit boleh untuk menjamak antara maghrib dan isya”. (Sebelum masuk ke nomor (559)).

Al Imam Ibnu Abdil Barr Al Malikiy رحمه الله berkata: “Malik berkata: “Jika si sakit khawatir akalnya akan dikalahkan oleh sakitnya, dia boleh menjamak antara sholat zhuhur dengan asar ketika sudah masuk waktu zawal, dan antara sholat maghrib dan isya ketika matahari terbenam’. Malik juga berkata: ‘Adapun jika jamak itu lebih ringan baginya dikarenakan kerasnya sakitnya (secara umum), atau kerasnya sakit perutnya, dan dia tidak khawatir akal hilang akal, maka hendaknya dia menjamak di antara dua sholat di waktu tengah hari dan di waktu hilangnya syafaq’. Malik juga berkata: ‘Orang yang sakit itu lebih berhak menjamak daripada seorang musafir dan yang lainnya; karena kerasnya sakit yang dia alami’. Malik juga berkata: ‘Dan jika si sakit menjamak di antara dua sholat dalam keadaan dia tidak terpaksa; dia harus mengulang sholat yang telah tiba waktunya, tapi jika waktunya telah habis maka dia tidak punya kewajiban apa-apa’.

Al Laits berkata: ‘Orang yang sakit (secara umum) dan orang yang sakit perut itu boleh menjamak sholat’.

Abu Hanifah berkata: ‘Orang yang sakit itu boleh menjamak di antara ua sholat seperti menjamaknya seorang musafir’.
(Selesai penukilan dari “Al Istidzkar”/2/hal. 213).

Al ‘Allamah Ibnu Baththal رحمه الله berkata: “Ahmad Bin Hanbal ditanya tentang hadits tadi, maka beliau menjawab: ‘Bukankah Ibnu Abbas telah berkata: ‘Nabi melakukan itu agar tidak menyusahkan umat beliau’? Dan hadits tadi adalah keringanan untuk orang yang sakit agar menjamak di antara dua sholat’”. (“Syarh Ibni Baththal ‘Ala Shahihil Bukhariy”/8/hal. 334).

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata dalam menguatkan bolehnya orang yang sakit itu menjamak sholat: “... dan dikarenakan kesulitan yang ada pada situasi sakit itu lebih besar daripada kesulitan pada situasi hujan”. (“Syarh Shahih Muslim”/An Nawawiy/5/hal. 2180219).

Al Imam Ibnul ‘Aththar Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Dan termasuk dalam makna ini –yaitu: makna hadits Ibnu Abbas-; kesulitan yang ada pada situasi sakit adalah lebih besar daripada kesulitan yang ada pada situasi hujan”. (“Al ‘Uddah Fi Syarhil ‘Umdah”/Ibnul ‘Aththar/2/hal. 664).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Dan yang benar adalah: bahwasanya menjamak itu tidak hanya khusus bagi safar yang panjang, bahkan sholat itu boleh dijamak karena hujan, boleh juga dijamak karena sakit, sebagaimana sunnah telah datang tentang masalah itu di dalam jamak bagi wanita mustahadhah, karena Nabi ﷺ memerintahkannya menjamak sholatnya, di dalam dua hadits”. (“Majmu’ul Fatawa”/24/hal. 26).

Al Hafizh Ibnu Abdil Hadiy Al Hanbaliy رحمه الله berkata:* “Boleh menjamak sholat karena sakit”. (“Tanqihut Tahqiq Fi Ahaditsit Ta’liq”/Ibnu Abdil Hadiy/2/hal. 44).

*Al Imam Muhammad As Safariniy Al Hanbaliy رحمه الله berkata: “Boleh si sakit menjamak sholat menurut pendapat yang paling benar karena kesulitan yang dialaminya, sesuai dengan pendapat Malik. Dan Al Imam Ahmad berdalil bahwasanya sakit itu lebih menyusahkan daripada safar. sebagian ulama mensyaratkan: (sakit yang dibolehkan menjamak sholat tadi adalah) apabila boleh bagi si sakit tadi untuk tidak berdiri (di dalam sholatnya)”. (“Kasyful Litsam Syarhu ‘Umdatil Ahkam”/As Safariniy/3/hal. 121).

Ini adalah jawaban secara singkat.

Untuk udzur-udzur yang lain yang terpandang di dalam syariat, maka hukumnya masuk ke dalam pembahasan pasal yang pertama.

والله تعالى أعلم بالصواب.
والحمد لله رب العالمين.

Malaysia, 14 Dzul Qa’dah 1440 H
Ditulis oleh Al Faqir Ilallah ta’ala:
Abu Fairuz Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
وفقه الله تعالى وغفر له
Diberdayakan oleh Blogger.