Header Ads

Amalan-amalan Yang Dianjurkan Pada Sepuluh Hari Dzul Hijjah

Amalan-amalan Yang Dianjurkan Pada Sepuluh Hari Dzul Hijjah



Pertama: Banyak mengingat dan menyebut nama Allah ta’ala

Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا الْعَمَلُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللِه مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ، فَأَكْثِرُوا فِيْهَا مِنَ التَّهْلِيْلِ، وَالتَّحْمِيْدِ»، يَعْنِي: أَيَّامَ الْعَشْرِ.

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, ataupun amalan di hari itu yang dicintai oleh Allah melebihi hari-hari ini. Maka perbanyaklah oleh kalian tahlil dan tahmid di hari-hari ini.” Yaitu:hari-hari yang sepuluh ini. (HR. Abd Bin Humaid dalam “Musnad” beliau (807), Abu Awanah dalam “Al Mustakhraj” (2428), Al Baihaqiy dalam “Syu’abul Iman” (3475), Ath Thahawiy dalam “Syarh Musykilil Atsar” (2502) dan Al Fakihiy (1639). Hadits ini shahih).

Di dalam hadits tadi ada penjelasan bahwasanya hari-hari tersebut adalah hari-hari yang sepuluh.

Dan di dalamnya ada penetapan bahwasanya hari-hari itu paling agung dan paling dicintai oleh Allah ta’ala.

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushannaf” (13919) dengan sanad yang shahih juga dengan lafazh:

«مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللِه فِيْهِنَّ الْعَمَلُ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيْهِنَّ التَّكْبِيْرَ وَالتَّهْلِيْلَ وَالتَّحْمِيْدَ».

“Tidak ada hari-hari yang mana amalan di hari-hari itu yang lebih dicintai oleh Allah melebihi hari-hari ini, hari-hari yang sepuluh. Maka perbanyaklah oleh kalian takbir, tahlil dan tahmid di hari-hari ini.”

Di dalam hadits tadi ada penetapan bahwasanya hari-hari tersebut adalah hari-hari yang sepuluh.

Dan di dalamnya ada penetapan bahwasanya hari-hari itu paling dicintai oleh Allah ta’ala.
Al Allamah Ahmad Bin Abi Bakr Al Bushiriy رحمه الله berkata tentang hadits tadi: “Diriwayatkan oleh Abu Bakr Bin Abi Syaibah, Abd Bin Humaid, Abu Ya’la, dan Al Baihaqiy dalam “Asy Syu’ab” dengan sanad yang shahih. Dan dia punya pendukung dari hadits Abdullah Bin Mas’ud diriwayatkan oleh Ath Thabraniy dengan sanad yang shahih.” (“Ithaful Khairatil Maharah Bi Zawaidil Masanidil ‘Asyarah”/3/hal. 48).

Adapun di dalam riwayat Al Imam Ahmad Bin Hanbal رحمه الله; hadits tadi beliau riwayatkan di dalam “Al Musnad” (5446) dengan berkata: haddatsana Affan: haddatsana Abu Awanah: haddatsana Yazid Bin Abi Ziyad: dari Mujahid: dari Ibnu Umar رضي الله عنهما yang berkata: dari Nabi ﷺ yang bersabda:

«مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ».

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, ataupun amalan di hari itu yang lebih dicintai oleh Allah melebihi hari-hari yang sepuluh ini. Maka perbanyaklah oleh kalian tahlil, takbir dan tahmid di hari-hari ini.”

Yazid Bin Abi Ziyad lemah.

Namun dia dikuatkan oleh Musa Bin Abi Aisyah sebagaimana dalam “Mustakhraj Abi Awanah” (2426).

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata tentang sepuluh hari tersebut: “Dan dia itu adalah hari-hari sepuluh yang mana Allah bersumpah dengan itu di dalam kitab-Nya dengan firman-Nya:

﴿وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ﴾ [الفجر: 1-2].

“Dan waktu fajar, dan (demi) malam-malam yang sepuluh.”

Maka dari itu disunnahkan untuk memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid di dalamnya sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

«فَأَكْثِرُوا فِيْهِنَّ مِنَ التَّكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ وَالتَّحْمِيْدِ».

“Maka perbanyaklah oleh kalian takbir, tahlil dan tahmid di hari-hari ini.”
(Selesai dari “Zadul Ma’ad”/1/hal. 54).

Beliau رحمه الله juga berkata: “Dan yang paling utama di hari-hari yang sepuluh pada bulan Dzul Hijah adalah: memperbanyak beribadah, terutama takbir, tahlil dan tahmid, maka amalan tadi lebih utama daripada jihad yang bukan fardhu ‘ain.” (“Madarijus Salikin”/1/hal. 89).

Al Imam Ibnu Rajab رحمه الله berkata: “Adapun firman Allah ta’ala:

﴿عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنعام﴾ [ الحج:28] .

“(Menyebut nama Allah) karena hewan ternak yang Allah rezekikan kepada mereka.”
Maka boleh jadi dikatakan: sesungguhnya penyebutan nama Allah itu adalah terhadap sembelihan-sembelihan yang dihasilkan pada hari Nahr, dan itu adalah waktu penyembelihan yang paling utama, dan hari itu adalah akhir dari sepuluh hari (pertama Dzul Hijjah).

Dan boleh jadi dikatakan: sesungguhnya penyebutan nama Allah itu terhadap hewan ternak yang Kami rezekikan, bukan penyebutan nama-Nya terhadap sembelihan-sembelihan, bahkan yang dimaksudkan adalah: penyebutan nama Allah di sepanjang sepuluh hari tadi seluruhnya; sebagai bentuk syukur pada nikmat rezeki Dia kepada kita, yang berupa hewan ternak, karena sungguh Allah ta’ala memiliki nikmat-nikmat yang banyak terhadap kita, secara duniawi dan secara keagamaan.

Dan Allah telah membilang-bilang sebagian nikmat keduniaan di dalam surat An Nahl. Dan sepuluh hari Dzul Hijjah terkhususkan dengan dipikulnya beban-beban berat orang yang haji, disampaikannya mereka hingga berhasil menunaikan hajat-hajat manasik mereka, pengambilan manfaat dengan mengendarai hewan-hewan tadi, kucuran susunya, keturunannya, bulu-bulunya dan rambut-rambutnya.

Adapun nikmat keagamaan maka dia itu banyak sekali, seperti: diwajibkannya hadyu, pemberian alamatnya, dan penuntunannya. Dan biasanya hal itu berlangsung pada hari-hari yang sepuluh, atau sebagiannya. Juga penyembelihannya di akhir-akhir hari yang sepuluh, pendekatan diri kepada Allah dengan penyembelihan tadi, memakan sebagian dari dagingnya, dan memberikan makanan pada orang miskin yang merasa cukup dengan karunia Allah, dan orang miskin yang meminta-minta.

Maka dari itu disyariatkan menyebut-nyebut nama Allah di hari-hari yang sepuluh tadi sebagai bentuk syukur atas nikmat-nikmat tadi semuanya, sebagaimana Allah terang-terangan menyebutkan itu di dalam firman-Nya ta’ala:

﴿كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا الله عَلَى مَا هَدَاكُمْ﴾ [الحج: 37].

“Demikianlah Allah tundukkan ternak-ternak tadi untuk kalian agar kalian menyebutkan kebesaran Allah atas hidayah yang Dia berikan pada kalian.”

Sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertakbir ketika puasa Ramadhan telah ditunaikan, dan bilangan telah disempurnakan; sebagai bentuk syukur atas hidayah yang Dia berikan pada kita, berupa puasa dan shalat yang menuntut datangnya ampunan terhadap dosa-dosa yang terdahulu.

“Adapun hari-hari yang terhitung”, maka jumhur ulama berpendapat bahwasanya dia itu adalah hari-hari Tasyriq. Yang demikian itu diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya.”
(Selesai dari “Fathul Bariy”/Ibnu Rajab/7/hal. 50-51).

Al Imam Ibnul Mulaqqin Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Adapun keluarnya Ibnu Umar dan Abu Hurairah ke pasar dan takbirnya orang-orang dengan takbir beliau berdua; maka sekelompok ulama juga berpendapat seperti itu.” (“At Taudhih Li Syarhil Jami’ish Shahih”/8/hal. 114).

Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata: “Kami ingin menerangkan bahwasanya pada asalnya takbir di malam Raya, dan sebelum shalat Raya di hari Fithri dari Ramadhan, di sepuluh hari dari Dzul Hijjah, pada hari-hari Tasyriq; bahwasanya memang disyariatkan pada waktu-waktu yang agung ini, di dalam ada keutamaan yang banyak.” (“Majmu’ Fatawa Wal Maqalat Ibni Baz”/13/hal. 8).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: “Amalan apakah yang disyariatkan pada hari-hari yang sepuluh di Dzul Hijjah? Maka hendaknya kita menampilkan amalan apakah yang disyariatkan pada hari-hari yang sepuluh di Dzul Hijjah. Kita katakan: disyariatkan di masa-masa itu dzikir pada Allah, berdasarkan Allah ta’ala berfirman:

﴿وَيَذْكُرُوا اسْمَ الله فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ﴾ [الحج:28].

“Dan mereka menyebut-sebut nama Allah pada hari-hari yang telah diketahui karena hewan ternak yang Allah rezekikan kepada mereka.”

Dan hari-hari yang diketahui adalah sepuluh hari dari Dzul Hijjah. Maka hendaknya dia di hari-hari itu memperbanyak dzkir, di antaranya adalah: takbir, tahlil dan tahmid, engkau berkata:

(الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر الله أكبر، ولله الحمد).

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada sesembahan yang benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan hanya milik Allah sajalah segala pujian.”

Perbanyak ini, engkau mengucapkannya di masjid-masjid secara keras, di pasar-pasar dan di rumah-rumah. Dan boleh jadi dzikirmu di rumah-rumah tadi menjadi pengaman untuk rumahmu dari jin dan setan-setan, karena Allah menyifati para setan dan jin itu sebagai “Khannas”, bersembunyi ketika nama Allah disebut, dan mereka menyamarkan diri dan menjauh.

(الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر الله أكبر، ولله الحمد).

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada sesembahan yang benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan hanya milik Allah sajalah segala pujian.”

Engkau menyebutkan itu di setiap waktu, karena Nabi  selalu menyebut nama Allah di seluruh waktu beliau.”
(Selesai dari Al Liqausy Syahriy”/1/hal. 272).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله juga mengatakan: “Takbir pada sepuluh hari Dzul Hijjah itu tidaklah terikat pada seusai shalat-shalat, demikian pula pada malam Raya Idul Fithri, tidak terikat pada usainya shalat-shalat. Maka jika mereka mengikatnya pada usainya shalat-shalat; itu perlu diperiksa lagi. Kemudian jika mereka menjadikannya secara berjama’ah (bagaikan koor, paduan suara –pen); itu perlu diperiksa lagi, karena hal itu menyelisihi kebiasaan para Salaf. Dan jika mereka membacanya di menara-menara; itu juga perlu diperiksa lagi. Maka ketiga perkara tadi perlu diperiksa lagi. Dan yang disyariatkan seusai shalat adalah: engkau mendatangkan dzikir-dzikir yang telah dikenal dan diketahui (sebagai dzikir usai shalat –pen). Kemudian jika engkau telah selesai dari itu; bertakbirlah.

Demikian pula yang disyariatkan adalah: bukannya semua orang bertakbir (bagaikan paduan suara –pen), namun masing-masing dari mereka bertakbir sendiri-sendiri. Itulah yang disyariatkan, sebagaimana dalah hadits Anas Bin Malik رضي الله عنه bahwasanya mereka pernah menyertai Nabi ﷺ, lalu ada yang bertahlil, dan ada pula yang bertakbir. Mereka tidak dalam satu keadaan.”
(“Majmu’u Fatawa Ibni Utsaimin”/16/hal. 160).

Kedua: Banyak membaca Al Qur’an

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله mengatakan: “Bersamaan dengan itu, maka hari-hari yang sepuluh dari Dzul Hijjah banyak dilalaikan oleh orang-orang; hari-hari tersebut berlalu dalam keadaan orang-orang tetap di atas adat mereka dan engkau tidak mendapati adanya tambahan pembacaan Al Qur’an ataupun ibadah-ibadah yang lain, bahkan takbir pun sebagian dari mereka bersikap pelit untuk mengucapkannya.” (“Asy Syarhul Mumti’”/6/hal. 154).

Padahal keutamaan membaca Al Qur’an dan merenungkannya itu banyak sekali:

Allah ta’ala berfirman:
﴿وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا﴾ [الأنعام/92].

“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan, diberkahi dan membenarkan kitab yang sebelumnya, dan agar engkau memberikan peringatan pada Ummul Quro (Mekkah) dan orang yang di sekitarnya.”

Allah سبحانه berfirman:
﴿وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾ [الأنعام/155]

“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan, diberkahi, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kalian dirahmati.”

Dan Allah جل ذكره berfirman:
﴿كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ﴾ [ص/29]

“Kitab yang Kami turunkan kepadamu, yang diberkahi, agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang punya mata hati menjadi sadar.”

Allah عز وجل berfirman:
﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ الله لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا﴾ [النساء/82].

“Maka apakah mereka tidak memikirkan Al Qur’an? Andaikata Al Qur’an itu datang dari sisi selain Allah, pastilah mereka akan mendapati di situ perselisihan yang banyak.”

Allah سبحانه berfirman:

﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا﴾ [محمد: 24] .

“Maka apakah mereka tidak memikirkan Al Qur’an ataukah di atas hati mereka ada gemboknya?” (QS. Muhammad: 24).

Dan di antara yang menunjukkan ketinggian derajat ahli Al Qur’an adalah: hadits dari ‘Amir bin Watsilah رضي الله عنه bahwasanya Nafi’ bin Abdil Harits berjumpa dengan Umar di ‘Usfan. Dan Umar mempekerjakannya sebagai wali Mekkah.

فَقَالَ: مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي؟ فَقَالَ: اِبْنُ أَبْزَى. قَالَ: وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى؟ قَالَ: مَوْلًى مِنْ مَوَالِيْنَا. قَالَ: فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى؟ قَالَ: إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللهِ -عز وجل-، وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ. قَالَ عُمَرُ: أَمَا إِنَّ نَبِيِّكُمْ ﷺ قَدْ قَالَ: «إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ».

Umar bertanya: “Siapakah yang engkau jadikan sebagai wali penduduk wadi itu (Makkah)?” dia menjawab: “Ibnu Abza.” Umar bertanya: “Siapakah Ibnu Abza?” dia menjawab: “Bekas hamba sahaya kami.” Umar bertanya: “Engkau menjadikan bekas hamba sahaya sebagai pemimpin mereka?” dia menjawab: “Sesungguhnya dia itu pembaca Kitabullah عز وجل dan alim dalam hukum warisan.” Umar berkata: “Ketahuilah sesungguhnya Nabi kalian ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan kitab ini beberapa kaum, dan merendahkan dengannya kaum yang lain.” (HR. Muslim (817)).

Dan dari Abdullah bin Amr رضي الله عنهما yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا».

“Dikatakan pada ahli Al Qur’an: bacalah dan naiklah, dan bacalah dengan tenang sebagaimana dulu engkau membaca dengan tenang di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu ada di akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Dawud (1461), At Tirmidziy (2914), dan dihasankan oleh Al Imam Al Albaniy رحمه الله sebagaimana dalam “Al Misykah” (2134/Maktabatul Islamiy) dan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shahihul Musnad” (792/Darul Atsar)).

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه yang berkata: -dalam hadits panjang, di antaranya-: Rasulullah ﷺ bersabda:

«وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللُه فِيْمَنْ عِنْدَهُ. وَمَنْ بَطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ».

“Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, rahmat meliputi mereka, dan para malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan makhluk yang di sisi-Nya. Dan barangsiapa amalannya lambat, nasabnya tak boleh mempercepatnya.” (HR. Muslim (2699)).

Dari Abu Musa Al Asy’ariy رضي الله عنه yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَثَلُ اْلمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَةِ: رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ اْلمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ: لَا رِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ. وَمَثَلُ اْلمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ: رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. وَمَثَلُ اْلمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ اْلحَنْظَلَةِ: لَيْسَ لَهاَ رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ».

“Permisalan mukmin yang membaca Al Qur’an itu seperti Utrujah (sejenis jeruk), aromanya harum, rasanya lezat. Permisalan mukmin yang tidak membaca Al Qur’an itu seperti kurma, tak punya aroma, tapi rasanya manis. Permisalan munafiq yang membaca Al Qur’an itu seperti Raihanah (sejenis bunga pengharum), aromanya harum, tapi rasanya pahit. Permisalan munafik yang tidak membaca Al Qur’an itu seperti Hanzhalah (buah dari sejenis tanaman yang menjalar, bentuknya mirip semangka tapi pahit -pen), tak punya bau, dan rasanya pahit.” (HR. Al Bukhariy (5427) dan Muslim (797)).

Dan Nabi ﷺ mendorong untuk mencontoh Nabiyyullah Dawud عليه السلام tentang banyaknya bacaan qur’an beliau, yaitu Zabur.

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه , dari Nabi ﷺ yang bersabda:

«خُفِّفَ عَلَى دَاوُدَ -عليه السلام- الْقُرْآنُ، فَكَانَ يَأْمُرُ بِدَوَابِّهِ فَتُسْرَجُ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَبْلَ أَنْ تُسْرَجَ دَوَابُّهُ، وَلَا يَأْكُلُ إِلَّا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ».

“Diringankan kepada Dawud عليه السلام Al Qur’an (Qur’an beliau, yaitu: Zabur), beliau itu biasa memerintahkan agar tunggangannya diberi pelana, lalu beliau membaca Al Qur’an sebelum pelana itu dipasang ke tunggangannya. Dan beliau tidak makan kecuali dari hasil kerja tangan beliau.” (HR. Al bukhariy (3417)).
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
(“Ightinamul Furshati Min ‘Asyri Dzil Hijjah”, | Judul Terjemahan: “10 Hari di awal  Dzulhijjah Bernilai Tinggi Dalam Ibadah ” | Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Indonesiy)

Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAdDailamiy
Diberdayakan oleh Blogger.