Header Ads

JAWABAN UNTUK USTADZ PENGKAFIR TAPI IDENTITAS MAJHUL

JAWABAN UNTUK USTADZ PENGKAFIR TAPI IDENTITAS MAJHUL







بسم الله الرحمن الرحيم.

Jawaban Untuk Ustadz Pengkafir Tapi Identitasnya Majhul

Sudah nampak qarinah dari data-data yang ada bahwasanya Jokowi tidak melakukan pemberian idzin tadi sebagai bentuk dia meyakini kehalalan khamr, tapi syubuhat yang ditiupkan oleh sebagian mubtadi’ah dari sisi kemaslahatan.

Dan syubuhat tadi walaupun salah dan batil, namun dia mendatangkan suatu penakwilan yang mana sebagiannya akan menjadi udzur yang menyelamatkan pelakunya dari kemurtadan.
Dan itu adalah perkara yang telah ma’ruf pembahasannya di kalangan ulama.

Al Imam Qawwamus Sunnah Abul Qasim Al Ashbahaniy رحمه الله berkata: “Pasal yang disebutkan oleh sebagian ulama. Beliau berkata:

Orang yang melakukan penakwilan, jika dia itu keliru, sementara dia itu termasuk dari orang yang telah masuk ke dalam ikatan keimanan; perlu dilihat takwilnya itu:
Jika dia telah bergantung kepada suatu perkara yang menyebabkan dirinya menyelisihi sebagian Kitabullah, atau (menyelisihi) Sunnah yang mana dengan sunnah tadi udzur telah terputus, atau (menyelisihi) suatu ijma’, maka sesungguhnya dia dikafirkan dan tidak diberi udzur, karena syubhat (kerancuan) yang dia jadikan sebagai tempat bergantung dari takwil tadi itu lemah, tidak kuat dengan suatu kekuatan yang dengan itu dia mendapatkan udzur, karena perkara yang disaksikan (didukung) oleh salah satu dari dasar-dasar tadi (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) itu cukup terang dan jelas. Tatkala orang yang mengucapkan perkataan tadi tidak kesulitan untuk mengetahui kebenaran, dan tidaklah tersamarkan baginya sebagian dari posisi hujjah, dia tidak diberi udzur ketika pergi meninggalkan kebenaran. Bahkan dia itu mengamalkan sesuatu yang menyelisihi kebenaran di dalam masalah tadi atas dasar penentangan dan pembangkangan.

Dan orang yang sengaja menyelisihi salah satu dari dasar-dasar tadi, dan dia itu jahil, tidak bermaksud menyelisihi karena menentang, maka dia itu tidak dikafirkan, karena dia tidak bermaksud memilih kekufuran, dan dia juga tidak meridhai itu. Dia telah mencapai puncak kerja kerasnya hanya saja dia tidak mendapatkan hasil selain yang tadi saja. Dan Allah سبحانه telah memberitahu bahwasanya Dia tidak menghukum kecuali setelah sampainya keterangan, dan dia tidak menyiksa kecuali setelah menyampaikan peringatan. Allah ta’ala berfirman:

وما كان الله ليضل قوما بعد إذ هداهم ]حتى يبين لهم ما يتقون[}.

“Dan tidaklah Allah menyesatkan suatu kaum setelah dia memberikan petunjuk kepada mereka [sehingga Dia menerangkan kepada mereka apa yang mereka takuti].”
   
Maka setiap orang yang Allah عز وجل beri petunjuk dan masuk ke dalam ikatan Islam, sungguh dia tidak boleh dikeluarkan menuju kepada kekufuran kecuali setelah diberi keterangan.”
(Selesai dari ‘Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah”/2/hal. 551-552).
   
Itu menunjukkan bahwasanya salah satu penghalang kekafiran adalah takwil. Dan takwil tadi terbagi menjadi dua:

Pertama: takwil yang bergantung pada syubhat yang lemah, maka takwil tadi tidak layak menjadi udzur yang menyelamatkan pelakunya dari kekafiran.

Kedua: takwil yang bergantung pada syubhat yang cukup kuat untuk menjadi udzur yang menyelamatkan dia dari kekafiran.

Takwil-takwil tadi adalah batil dan tertolak, namun ada yang tertolak dan sampai menjadikan pelakunya itu kafir, dan ada yang tertolak namun tetap mendapatkan udzur. Itu semua dilihat dari kuat atau lemahnya syubhat yang menjadi tempat bergantung si pelaku tadi.

Maka syubuhat adalah salah satu udzur untuk tidak dikafirkan, sebagaimana penjelasan sebagian ulama.

Namun tatkala kebanyakan ulama menjadikan takwil (yang mana dia adalah hasil dari syubuhat) itulah yang menjadi udzur, maka untuk selanjutnya saya menggunakan istilah ini saja: salah satu dari udzur adalah: adanya takwil.
Dan dia serta kejahilan itu bukan satu-satunya udzur. Masih banyak udzur-udzur yang lain, sebagaimana penjelasan para imam Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan sebagaimana pandangan para Khawarij yang buta.

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata:
“Dan Allah juga tidak menjadikan hukum-hukum sebagai akibat dari lafazh semata-mata dalam keadaan Dia tahu bahwa si pembicara tidak menginginkan makna dari ucapannya tadi, dan tidak tahu maknanya. Bahkan Allah memaafkan untuk umat ini perkara yang diucapkan oleh jiwanya, selama belum mengerjakannya atau mengucapkannya. Allah juga memaafkan sesuatu yang bersifat salah ucap, atau lupa, atau terpaksa, atau tidak tahu mengetahuinya, jika dirinya memang tidak menginginkan atau memaksudkan makna ucapannya tadi. Maka jika bertemu antara maksud dan penunjukan yang bersifat ucapan atau perbuatan, maka terjadilah hukum dari kaidah syari’ah ini. Dan ini termasuk tuntutan dari keadilan Allah, hikmah dan rohmat-Nya, karena sesungguhnya desiran hati dan keinginan jiwa itu tidak masuk di bawah kendali ikhtiyar (pilihan diri). Seandainya hukum-hukum itu berlangsung pada desiran hati itu tadi niscaya terjadi kesempitan dan kesulitan besar terhadap umat ini.

Rohmat dan hikmah Allah ta’ala menolak yang demikian itu. Demikian pula masalah kekeliruan, lupa, salah ucap terhadap perkara yang hamba itu tidak memaksudkannya dan bahkan ingin yang lain. Begitu pula berbicara dengan terpaksa, atau tidak tahu tuntutan dan ucapannya tadi, semua itu adalah perkara yang selalu mengiringi manusia, hampir-hampir manusia itu tak bisa lepas darinya. Seandainya Allah mengaitkan hukum berdasarkan perkara-perkara tadi pastilah umat akan mengalami kesempitan dan tertimpa puncak rasa capek dan kesulitan. Maka Allah menghilangkan dari umat ini hukuman yang berdasarkan itu tadi semua, sampai bahkan kekeliruan lafazh karena kegembiraan yang besar, kemarahan, dan mabuk, sebagaimana telah berlalu dalil-dalilnya.

Demikian pula kekeliruan, lupa, terpaksa, ketidaktahuan makna, salah ucap dengan perkataan yang tidak diinginkannya, berbicara dalam keadaan marah yang menutup akal, dan sumpah yang tidak dimaksudkan maknanya. Maka sepuluh perkara ini, Allah tidak menghukum hamba-Nya dengan itu manakala dirinya berkata dalam keadaan itu tadi, karena dirinya tidak memaksudkannya dan hatinya tidak meniatkan perkara yang dengannya dia bisa dihukum.”
(Bacalah secara lengkap “I’lamul Muwaqqi’in”/3/hal. 81-85/Darul Hadits).

Lalu:
   
Siapakah yang ahli dalam mengurusi penilaian: apakah si pelaku kekufuran itu melakukannya berdasarkan takwil yang pertama ataukah kedua, terpaksa ataukah tidak terpaksa, salah paham ataukah tidak salah paham? Dan sebagainya?

Para ulamalah yang berwenang melakukan itu, sebagaimana yang diwasiatkan oleh para ulama Salafiyyin.

Kami tidak mau menempuh jalan para Khawarij yang sejak generasi pertama memang selalu mendahului para ulama dalam memahami dan menerapkan dalil.

Adapun masalah pertanyaan ana: "Jika mengkafirkan Jokowi, maka Antum akan membai'at siapa..?"
Itu bukan sebagai syarat dari ana bahwasanya pengkafiran kepala negara itu boleh dilakukan jika ada kepala negara pengganti yang layak dibai'at,

Namun:
Itu sekedar rasa belas saya kepada kalian yang tergesa² mengkafirkan kepala negara tanpa bimbingan ulama, lalu memilih melaksanakan hadits Hudzaifah رضي الله عنه tanpa bimbingan ulama, hidup berpiknik tanpa ada bai'at di leher.

Jadi masalahnya bukan karena ana kurang piknik atau banyak piknik dsb wahai orang yang menjadi ustadz majhul.

Tapi masalah adalah :

Ana khawatir menjauhi bimbingan para ulama, lalu piknik ke aqidah kalian, kemudian ana terancam terkena sabda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tentang khawarij: "Mereka itu muda belia usianya, tolol akalnya, mengucapkan ucapan makhluk yang terbaik".

Selesailah jawaban yang singkat dan sederhana ini, dengan karunia dan taufik dari Allah ta’ala semata, di Changlun, Kedah, Malaysia, pada tanggal 17 Rajab 1442 H.
Abu Fairuz Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy Al Qudsiy

وفقه الله وغفر له

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك .
والحمـــــد لله رب الـعالـمين.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

(Ditulis Oleh : Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Indonesiy hafidzahullah)

Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy
Diberdayakan oleh Blogger.