Header Ads

Amalan-amalan Yang Dianjurkan Pada Sepuluh Hari Dzul Hijjah

Amalan-amalan Yang Dianjurkan Pada Sepuluh Hari Dzul Hijjah


Hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:

عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: «مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلُ مِنْهَا فِي هَذِهِ». قَالُوا: وَلَا اْلجِهَادُ؟ قَالَ: «وَلَا ْالجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ». (أخرجه البخاري (969)).

Dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau bersabda: “Tidak ada amalan pada hari-hari, yang lebih utama daripada amalan pada hari-hari ini.” Mereka bertanya: “Walaupun berupa jihad?” Beliau menjawab: “Walaupun berupa jihad. Kecuali seseorang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, kemudian dia tidak kembali membawa apapun.” (HR. Al Bukhariy (969)).

Itu menunjukkan keumuman amal shalih.

Makanya hadits tadi diriwayatkan oleh Al Imam At Tirmidziy dalam “As Sunan” (757) dalam bab: amalan di sepuluh hari.
Dan hadits tadi diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam “Ash Shahih” (324) dalam bab: dalil ketaatan-ketaatan dan pahalanya.
Dan hadits tadi juga diriwayatkan oleh Al Imam Abu Awanah dalam “Al Mustakhraj” (2423) dalam bab: penjelasan anjuran untuk beramal di sepuluh hari Dzul Hijjah.

Dan hadits tadi juga diriwayatkan oleh Al Imam Al Baihaqiy dalam “Al Kubra” (8175) dalam bab: amal shalih di sepuluh hari dari Dzul Hijjah.

Dan hadits tadi juga disebutkan oleh Al Allamah AI Bushiriy dalam “Ithaful Khairatil Maharah Bi Zawaidil Masanidil ‘Asyarah” (2464) dalam bab: amal shalih dan keutamaannya di sepuluh hari Dzul Hijjah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Dan mengisi seluruh masa dalam sepuluh hari Dzul Hijjah dengan peribadatan siang dan malam itu lebih utama daripada jihad yang tidak sampai kehilangan jiwa dan harta.” (“Al Ikhtiyaratul Fiqhiyyah”/Hal. 426).

Dan saking tingginya amalan-amalan di hari-hari tersebut, sampai-sampai tidak ada yang mampu menandinginya kecuali jihad yang total dengan jiwa dan harta dan tidak kembali membawa apapun.

Maka bagaimana jika hari-hari itu diisi dengan jihad syar’iy yang total tadi beserta dzikir pada Allah ta’ala? Tidak diragukan bahwasanya kedudukannya itu tidak terkira tingginya.

Al Imam Ibnul Mulaqqin Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Dan makna “Mempertaruhkan dirinya” adalah: melawan musuh dengan jiwanya, senjatanya dan kedermawanannya, maka dia selamat dari pembunuhan ataukah tidak selamat dari itu. Maka inilah pertaruhan. Dan amalan ini (jihad total tadi –pen) lebih utama di hari-hari ini dan di hari-hari yang lain daripada amalan yang lain, bersamaan dengan bahwasanya amalan ini (jihad total tadi –pen) tidaklah menghalangi pelakunya dari mendatangkan takbir dan mengeraskan takbir. Sabda Nabi: “Lalu dia tidak kembali membawa sesuatu apapun”, ada kemungkinan: dia mampu pulang tapi tidak membawa harta. Dan ada kemungkinan: dia tidak pulang dan hartanya juga tidak kembali, maka Allah memberinya mati syahid. Dan Allah telah menjanjikan syahadah itu dengan Surga.” (“At Taudhih Li Syarhil Jami’ish Shahih”/8/hal. 113-114).

Al Kauraniy Al Hanafiy رحمه الله berkata: Yaitu: (tidak pulang membawa sesuatu apapun) berupa jiwa dan harta,  karena ucapan tadi (بشيءٍ) adalah nakirah dalam alur peniadaan setelah menyebutkan sesuatu. Maka barangsiapa berpendapat selain salah satu dari dua kemungkinan ini: “Dia tidak pulang dan hartanya juga tidak kembali, atau dia mampu pulang tapi tidak membawa harta”, maka orang tadi menyimpang dari makna yang benar.” (“Al Kautsarul Jariy Ila Riyadhi Ahaditsil Bukhariy”/Al Kauraniy/3/hal. 81).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: Yaitu: senjatanya dan kendaraannya, lalu dia terbunuh, dan senjatanya dan kendaraannya dirampas, musuh mengambilnya. Maka orang ini kehilangan jiwa dan hartanya di jalan Allah. Maka dia adalah mujahid yang paling utama. Maka yang ini lebih utama daripada amal shalih di sepuluh hari itu. Dan jika amalan (jihad total) yang ini terjadi pada hari-hari yang sepuluh itu, keutamaannya pun dilipatgandakan.” (“Syarh Riyadhish Shalihin”/5/hal. 304).

Fadhilatusy Syaikh Al Allamah Shalih Al Fauzan حفظه الله berkata: “Sepuluh hari yang diberkahi ini memiliki nilai yang agung. Maka seharusnya seorang Muslim menyambutnya dengan kegembiraan, keceriaan, dan kebahagiaan dengan kedatangannya, serta memanfaatkannya dengan perkara yang disyariatkan di dalamnya, sehingga menjadi amalan dia di sisi Allah سبحانه وتعالى , dan dia mendapatinya pada Hari ketika menghadap Allah سبحانه وتعالى”. (Khutbah “Fadhlul ‘Asyr Min Dzil Hijjah”).

Dan sebagai bentuk perincian, berikut ini ada contoh-contoh amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut:
-------------------


Pertama: Banyak mengingat dan menyebut nama Allah ta’ala

Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا الْعَمَلُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللِه مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ، فَأَكْثِرُوا فِيْهَا مِنَ التَّهْلِيْلِ، وَالتَّحْمِيْدِ»، يَعْنِي: أَيَّامَ الْعَشْرِ.

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, ataupun amalan di hari itu yang dicintai oleh Allah melebihi hari-hari ini. Maka perbanyaklah oleh kalian tahlil dan tahmid di hari-hari ini.” Yaitu:hari-hari yang sepuluh ini. (HR. Abd Bin Humaid dalam “Musnad” beliau (807), Abu Awanah dalam “Al Mustakhraj” (2428), Al Baihaqiy dalam “Syu’abul Iman” (3475), Ath Thahawiy dalam “Syarh Musykilil Atsar” (2502) dan Al Fakihiy (1639). Hadits ini shahih).

Di dalam hadits tadi ada penjelasan bahwasanya hari-hari tersebut adalah hari-hari yang sepuluh.

Dan di dalamnya ada penetapan bahwasanya hari-hari itu paling agung dan paling dicintai oleh Allah ta’ala.

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushannaf” (13919) dengan sanad yang shahih juga dengan lafazh:

«مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللِه فِيْهِنَّ الْعَمَلُ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيْهِنَّ التَّكْبِيْرَ وَالتَّهْلِيْلَ وَالتَّحْمِيْدَ».

“Tidak ada hari-hari yang mana amalan di hari-hari itu yang lebih dicintai oleh Allah melebihi hari-hari ini, hari-hari yang sepuluh. Maka perbanyaklah oleh kalian takbir, tahlil dan tahmid di hari-hari ini.”

Di dalam hadits tadi ada penetapan bahwasanya hari-hari tersebut adalah hari-hari yang sepuluh.

Dan di dalamnya ada penetapan bahwasanya hari-hari itu paling dicintai oleh Allah ta’ala.
Al Allamah Ahmad Bin Abi Bakr Al Bushiriy رحمه الله berkata tentang hadits tadi: “Diriwayatkan oleh Abu Bakr Bin Abi Syaibah, Abd Bin Humaid, Abu Ya’la, dan Al Baihaqiy dalam “Asy Syu’ab” dengan sanad yang shahih. Dan dia punya pendukung dari hadits Abdullah Bin Mas’ud diriwayatkan oleh Ath Thabraniy dengan sanad yang shahih.” (“Ithaful Khairatil Maharah Bi Zawaidil Masanidil ‘Asyarah”/3/hal. 48).

Adapun di dalam riwayat Al Imam Ahmad Bin Hanbal رحمه الله; hadits tadi beliau riwayatkan di dalam “Al Musnad” (5446) dengan berkata: haddatsana Affan: haddatsana Abu Awanah: haddatsana Yazid Bin Abi Ziyad: dari Mujahid: dari Ibnu Umar رضي الله عنهما yang berkata: dari Nabi ﷺ yang bersabda:

«مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ».

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, ataupun amalan di hari itu yang lebih dicintai oleh Allah melebihi hari-hari yang sepuluh ini. Maka perbanyaklah oleh kalian tahlil, takbir dan tahmid di hari-hari ini.”

Yazid Bin Abi Ziyad lemah.

Namun dia dikuatkan oleh Musa Bin Abi Aisyah sebagaimana dalam “Mustakhraj Abi Awanah” (2426).

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata tentang sepuluh hari tersebut: “Dan dia itu adalah hari-hari sepuluh yang mana Allah bersumpah dengan itu di dalam kitab-Nya dengan firman-Nya:

﴿وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ﴾ [الفجر: 1-2].

“Dan waktu fajar, dan (demi) malam-malam yang sepuluh.”

Maka dari itu disunnahkan untuk memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid di dalamnya sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

«فَأَكْثِرُوا فِيْهِنَّ مِنَ التَّكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ وَالتَّحْمِيْدِ».

“Maka perbanyaklah oleh kalian takbir, tahlil dan tahmid di hari-hari ini.”
(Selesai dari “Zadul Ma’ad”/1/hal. 54).

Beliau رحمه الله juga berkata: “Dan yang paling utama di hari-hari yang sepuluh pada bulan Dzul Hijah adalah: memperbanyak beribadah, terutama takbir, tahlil dan tahmid, maka amalan tadi lebih utama daripada jihad yang bukan fardhu ‘ain.” (“Madarijus Salikin”/1/hal. 89).

Al Imam Ibnu Rajab رحمه الله berkata: “Adapun firman Allah ta’ala:

﴿عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنعام﴾ [ الحج:28] .

“(Menyebut nama Allah) karena hewan ternak yang Allah rezekikan kepada mereka.”

Maka boleh jadi dikatakan: sesungguhnya penyebutan nama Allah itu adalah terhadap sembelihan-sembelihan yang dihasilkan pada hari Nahr, dan itu adalah waktu penyembelihan yang paling utama, dan hari itu adalah akhir dari sepuluh hari (pertama Dzul Hijjah).

Dan boleh jadi dikatakan: sesungguhnya penyebutan nama Allah itu terhadap hewan ternak yang Kami rezekikan, bukan penyebutan nama-Nya terhadap sembelihan-sembelihan, bahkan yang dimaksudkan adalah: penyebutan nama Allah di sepanjang sepuluh hari tadi seluruhnya; sebagai bentuk syukur pada nikmat rezeki Dia kepada kita, yang berupa hewan ternak, karena sungguh Allah ta’ala memiliki nikmat-nikmat yang banyak terhadap kita, secara duniawi dan secara keagamaan.

Dan Allah telah membilang-bilang sebagian nikmat keduniaan di dalam surat An Nahl. Dan sepuluh hari Dzul Hijjah terkhususkan dengan dipikulnya beban-beban berat orang yang haji, disampaikannya mereka hingga berhasil menunaikan hajat-hajat manasik mereka, pengambilan manfaat dengan mengendarai hewan-hewan tadi, kucuran susunya, keturunannya, bulu-bulunya dan rambut-rambutnya.

Adapun nikmat keagamaan maka dia itu banyak sekali, seperti: diwajibkannya hadyu, pemberian alamatnya, dan penuntunannya. Dan biasanya hal itu berlangsung pada hari-hari yang sepuluh, atau sebagiannya. Juga penyembelihannya di akhir-akhir hari yang sepuluh, pendekatan diri kepada Allah dengan penyembelihan tadi, memakan sebagian dari dagingnya, dan memberikan makanan pada orang miskin yang merasa cukup dengan karunia Allah, dan orang miskin yang meminta-minta.

Maka dari itu disyariatkan menyebut-nyebut nama Allah di hari-hari yang sepuluh tadi sebagai bentuk syukur atas nikmat-nikmat tadi semuanya, sebagaimana Allah terang-terangan menyebutkan itu di dalam firman-Nya ta’ala:

﴿كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا الله عَلَى مَا هَدَاكُمْ﴾ [الحج: 37].

“Demikianlah Allah tundukkan ternak-ternak tadi untuk kalian agar kalian menyebutkan kebesaran Allah atas hidayah yang Dia berikan pada kalian.”

Sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertakbir ketika puasa Ramadhan telah ditunaikan, dan bilangan telah disempurnakan; sebagai bentuk syukur atas hidayah yang Dia berikan pada kita, berupa puasa dan shalat yang menuntut datangnya ampunan terhadap dosa-dosa yang terdahulu.

“Adapun hari-hari yang terhitung”, maka jumhur ulama berpendapat bahwasanya dia itu adalah hari-hari Tasyriq. Yang demikian itu diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya.”
(Selesai dari “Fathul Bariy”/Ibnu Rajab/7/hal. 50-51).

Al Imam Ibnul Mulaqqin Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Adapun keluarnya Ibnu Umar dan Abu Hurairah ke pasar dan takbirnya orang-orang dengan takbir beliau berdua; maka sekelompok ulama juga berpendapat seperti itu.” (“At Taudhih Li Syarhil Jami’ish Shahih”/8/hal. 114).

Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata: “Kami ingin menerangkan bahwasanya pada asalnya takbir di malam Raya, dan sebelum shalat Raya di hari Fithri dari Ramadhan, di sepuluh hari dari Dzul Hijjah, pada hari-hari Tasyriq; bahwasanya memang disyariatkan pada waktu-waktu yang agung ini, di dalam ada keutamaan yang banyak.” (“Majmu’ Fatawa Wal Maqalat Ibni Baz”/13/hal. 8).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: “Amalan apakah yang disyariatkan pada hari-hari yang sepuluh di Dzul Hijjah? Maka hendaknya kita menampilkan amalan apakah yang disyariatkan pada hari-hari yang sepuluh di Dzul Hijjah. Kita katakan: disyariatkan di masa-masa itu dzikir pada Allah, berdasarkan Allah ta’ala berfirman:

﴿وَيَذْكُرُوا اسْمَ الله فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ﴾ [الحج:28].

“Dan mereka menyebut-sebut nama Allah pada hari-hari yang telah diketahui karena hewan ternak yang Allah rezekikan kepada mereka.”

Dan hari-hari yang diketahui adalah sepuluh hari dari Dzul Hijjah. Maka hendaknya dia di hari-hari itu memperbanyak dzkir, di antaranya adalah: takbir, tahlil dan tahmid, engkau berkata:

(الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر الله أكبر، ولله الحمد).

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada sesembahan yang benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan hanya milik Allah sajalah segala pujian.”

Perbanyak ini, engkau mengucapkannya di masjid-masjid secara keras, di pasar-pasar dan di rumah-rumah. Dan boleh jadi dzikirmu di rumah-rumah tadi menjadi pengaman untuk rumahmu dari jin dan setan-setan, karena Allah menyifati para setan dan jin itu sebagai “Khannas”, bersembunyi ketika nama Allah disebut, dan mereka menyamarkan diri dan menjauh.

(الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر الله أكبر، ولله الحمد).

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada sesembahan yang benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan hanya milik Allah sajalah segala pujian.”

Engkau menyebutkan itu di setiap waktu, karena Nabi  selalu menyebut nama Allah di seluruh waktu beliau.”
(Selesai dari Al Liqausy Syahriy”/1/hal. 272).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله juga mengatakan: “Takbir pada sepuluh hari Dzul Hijjah itu tidaklah terikat pada seusai shalat-shalat, demikian pula pada malam Raya Idul Fithri, tidak terikat pada usainya shalat-shalat. Maka jika mereka mengikatnya pada usainya shalat-shalat; itu perlu diperiksa lagi. Kemudian jika mereka menjadikannya secara berjama’ah (bagaikan koor, paduan suara –pen); itu perlu diperiksa lagi, karena hal itu menyelisihi kebiasaan para Salaf. Dan jika mereka membacanya di menara-menara; itu juga perlu diperiksa lagi. Maka ketiga perkara tadi perlu diperiksa lagi. Dan yang disyariatkan seusai shalat adalah: engkau mendatangkan dzikir-dzikir yang telah dikenal dan diketahui (sebagai dzikir usai shalat –pen). Kemudian jika engkau telah selesai dari itu; bertakbirlah.

Demikian pula yang disyariatkan adalah: bukannya semua orang bertakbir (bagaikan paduan suara –pen), namun masing-masing dari mereka bertakbir sendiri-sendiri. Itulah yang disyariatkan, sebagaimana dalah hadits Anas Bin Malik رضي الله عنه bahwasanya mereka pernah menyertai Nabi ﷺ, lalu ada yang bertahlil, dan ada pula yang bertakbir. Mereka tidak dalam satu keadaan.”
(“Majmu’u Fatawa Ibni Utsaimin”/16/hal. 160).
-------------------


Kedua: Banyak membaca Al Qur’an

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله mengatakan: “Bersamaan dengan itu, maka hari-hari yang sepuluh dari Dzul Hijjah banyak dilalaikan oleh orang-orang; hari-hari tersebut berlalu dalam keadaan orang-orang tetap di atas adat mereka dan engkau tidak mendapati adanya tambahan pembacaan Al Qur’an ataupun ibadah-ibadah yang lain, bahkan takbir pun sebagian dari mereka bersikap pelit untuk mengucapkannya.” (“Asy Syarhul Mumti’”/6/hal. 154).

Padahal keutamaan membaca Al Qur’an dan merenungkannya itu banyak sekali:

Allah ta’ala berfirman:

﴿وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا﴾ [الأنعام/92].

“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan, diberkahi dan membenarkan kitab yang sebelumnya, dan agar engkau memberikan peringatan pada Ummul Quro (Mekkah) dan orang yang di sekitarnya.”

Allah سبحانه berfirman:

﴿وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾ [الأنعام/155]

“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan, diberkahi, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kalian dirahmati.”

Dan Allah جل ذكره berfirman:

﴿كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ﴾ [ص/29]

“Kitab yang Kami turunkan kepadamu, yang diberkahi, agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang punya mata hati menjadi sadar.”

Allah عز وجل berfirman:

﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ الله لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا﴾ [النساء/82].

“Maka apakah mereka tidak memikirkan Al Qur’an? Andaikata Al Qur’an itu datang dari sisi selain Allah, pastilah mereka akan mendapati di situ perselisihan yang banyak.”

Allah سبحانه berfirman:

﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا﴾ [محمد: 24] .

“Maka apakah mereka tidak memikirkan Al Qur’an ataukah di atas hati mereka ada gemboknya?” (QS. Muhammad: 24).

Dan di antara yang menunjukkan ketinggian derajat ahli Al Qur’an adalah: hadits dari ‘Amir bin Watsilah رضي الله عنه bahwasanya Nafi’ bin Abdil Harits berjumpa dengan Umar di ‘Usfan. Dan Umar mempekerjakannya sebagai wali Mekkah.

فَقَالَ: مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي؟ فَقَالَ: اِبْنُ أَبْزَى. قَالَ: وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى؟ قَالَ: مَوْلًى مِنْ مَوَالِيْنَا. قَالَ: فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى؟ قَالَ: إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللهِ -عز وجل-، وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ. قَالَ عُمَرُ: أَمَا إِنَّ نَبِيِّكُمْ ﷺ قَدْ قَالَ: «إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ».

Umar bertanya: “Siapakah yang engkau jadikan sebagai wali penduduk wadi itu (Makkah)?” dia menjawab: “Ibnu Abza.” Umar bertanya: “Siapakah Ibnu Abza?” dia menjawab: “Bekas hamba sahaya kami.” Umar bertanya: “Engkau menjadikan bekas hamba sahaya sebagai pemimpin mereka?” dia menjawab: “Sesungguhnya dia itu pembaca Kitabullah عز وجل dan alim dalam hukum warisan.” Umar berkata: “Ketahuilah sesungguhnya Nabi kalian ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan kitab ini beberapa kaum, dan merendahkan dengannya kaum yang lain.” (HR. Muslim (817)).

Dan dari Abdullah bin Amr رضي الله عنهما yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا».

“Dikatakan pada ahli Al Qur’an: bacalah dan naiklah, dan bacalah dengan tenang sebagaimana dulu engkau membaca dengan tenang di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu ada di akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Dawud (1461), At Tirmidziy (2914), dan dihasankan oleh Al Imam Al Albaniy رحمه الله sebagaimana dalam “Al Misykah” (2134/Maktabatul Islamiy) dan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shahihul Musnad” (792/Darul Atsar)).

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه yang berkata: -dalam hadits panjang, di antaranya-:

Rasulullah ﷺ bersabda:

«وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُ ْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللُه فِيْمَنْ عِنْدَهُ. وَمَنْ بَطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ».

“Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, rahmat meliputi mereka, dan para malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan makhluk yang di sisi-Nya. Dan barangsiapa amalannya lambat, nasabnya tak boleh mempercepatnya.” (HR. Muslim (2699)).

Dari Abu Musa Al Asy’ariy رضي الله عنه yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَثَلُ اْلمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَةِ: رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ اْلمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ: لَا رِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ. وَمَثَلُ اْلمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ: رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. وَمَثَلُ اْلمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ اْلحَنْظَلَةِ: لَيْسَ لَهاَ رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ».

“Permisalan mukmin yang membaca Al Qur’an itu seperti Utrujah (sejenis jeruk), aromanya harum, rasanya lezat. Permisalan mukmin yang tidak membaca Al Qur’an itu seperti kurma, tak punya aroma, tapi rasanya manis. Permisalan munafiq yang membaca Al Qur’an itu seperti Raihanah (sejenis bunga pengharum), aromanya harum, tapi rasanya pahit. Permisalan munafik yang tidak membaca Al Qur’an itu seperti Hanzhalah (buah dari sejenis tanaman yang menjalar, bentuknya mirip semangka tapi pahit -pen), tak punya bau, dan rasanya pahit.” (HR. Al Bukhariy (5427) dan Muslim (797)).

Dan Nabi ﷺ mendorong untuk mencontoh Nabiyyullah Dawud عليه السلام tentang banyaknya bacaan qur’an beliau, yaitu Zabur.

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه , dari Nabi ﷺ yang bersabda:

«خُفِّفَ عَلَى دَاوُدَ -عليه السلام- الْقُرْآنُ، فَكَانَ يَأْمُرُ بِدَوَابِّهِ فَتُسْرَجُ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَبْلَ أَنْ تُسْرَجَ دَوَابُّهُ، وَلَا يَأْكُلُ إِلَّا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ».

“Diringankan kepada Dawud عليه السلام Al Qur’an (Qur’an beliau, yaitu: Zabur), beliau itu biasa memerintahkan agar tunggangannya diberi pelana, lalu beliau membaca Al Qur’an sebelum pelana itu dipasang ke tunggangannya. Dan beliau tidak makan kecuali dari hasil kerja tangan beliau.” (HR. Al bukhariy (3417)).
-------------------


Ketiga: Banyak berdoa

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan: “Dulu Nabi ﷺ memperbanyak doa di dalam sepuluh hari Dzul Hijjah, dan memerintahkan untuk memperbanyak tahlil, takbir dan tahmid.” (“Zadul Ma’ad”/2/hal. 360).

Dan doa itu memiliki keutamaan yang agung, banyak dan telah dikenal.

Di antaranya adalah firman Allah ta’ala:

﴿وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ﴾ [البقرة: 186].

“Dan jika para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku itu dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika dia berdoa pada-Ku. Maka hendaknya mereka memenuhi seruan-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapatkan bimbingan”.

Maka barangsiapa berdoa pada Allah dalam keadaan dia yakin akan dikabulkan, maka sungguh Allah ta’ala akan memenuhi permohonannya. Allah ta’ala berfirman:

﴿وَآَتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ الله لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ﴾ [إبراهيم/34].

“Dan Allah memberikan pada kalian dari setiap apa yang kalian minta, dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tak boleh menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (QS. Ibrahim 34).

Dan dari Ubadah Ibnush Shamit رضي الله عنه yang berkata:

أَنَّ رسولَ اللهِ ﷺ قَالَ: «مَا عَلَى الْأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللهَ بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللهُ إِيَّاهَا، أَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ». فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ: «اللهُ أَكْثَرُ».

bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada satu Muslimpun di atas bumi yang berdoa pada Allah dengan suatu doa kecuali Allah akan memberinya apa yang dia minta, atau memalingkan darinya keburukan yang semisal itu, selama dia tidak berdoa dengan suatu dosa atau untuk memutuskan kekerabatan”. Maka satu orang dari kaum itu berkata: “Jika demikian, kita perbanyak doa”. Beliau menjawab: “Allah lebih banyak pengabulan-Nya”. (HR. At Tirmidziy (3573), Ath Thahawiy dalam “Musykilul Atsar” (736), Ath Thabraniy dalam “Al Ausath” (147), dan Abu Nu’aim Al Ashbahaniy dalam “Hilyatul Auliya” (5/hal. 137) dengan sanad yang jayyid).

Dan dari Abu Sa’id Al Khudriy رضي الله عنه yang berkata:

عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيْعَةِ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَّدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا». قال: إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ: «اللهُ أَكْثَرُ».

Dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Tidak ada satu Muslimpun yang berdoa yang tidak mengandung suatu dosa atau pemutusan kekerabatan kecuali Allah akan memberinya salah satu dari yang tiga: boleh jadi Allah menyegerakan untuknya apa yang dia minta, dan boleh jadi Allah menyimpan untuknya di Akhirat, dan boleh jadi Allah memalingkan darinya keburukan yang semisal itu”. Maka seorang Sahabat berkata: “Jika demikian, kita perbanyak doa”. Beliau menjawab: “Allah lebih banyak pengabulan-Nya”. (HR. Ahmad (11149), Ibnu Abi Syaibah (29170), Al Bukhariy dalam “Al Adabul Mufrad” (710), dan Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliya” (6/hal. 311) dengan sanad yang shahih).

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Maka barangsiapa diberi ilham untuk berdoa maka sungguh telah diinginkan untuknya pengabulan doa, karena sesungguhnya Allah subhanah berfirman:

﴿اُدْعُوْنِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ﴾ [غافر/60].

“Berdoalah kalian pada-Ku, Aku akan mengabulkannya untuk kalian.”

Dan Allah ta’ala berfirman:

﴿وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَأِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ﴾ [البقرة/186].

“Dan jika para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku itu dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika dia berdoa pada-Ku.”
Dan seterusnya.
(“Ad Da Wad Dawa”/hal. 24/cet. Dar Ibnil Jauziy).

Beliau رحمه الله juga berkata: “Dan Allah سبحانه telah menjadikan untuk setiap perkara yang dicari itu kunci untuk membukanya. Maka Dia menjadikan kunci shalat adalah bersuci, sebagaimana sabda beliau: “Kunci shalat adalah kesucian”. Dan kunci haji adalah ihram, kunci kebajikan adalah kejujuran, kunci Jannah adalah tauhid, kunci ilmu adalah bagusnya soal dan bagusnya perhatian, kunci pertolongan adalah kesabaran, kunci tambahan nikmat adalah syukur, kunci kewalian adalah rasa cinta dan dzikir, kunci keberuntungan adalah taqwa, kunci taufiq adalah roghbah (minat dan harapan) dan rohbah (rasa takut), kunci terkabulnya permohonan adalah doa, kunci  adalah harapan di akhirat adalah zuhud terhadap dunia, kunci keimanan adalah memikirkan apa yang Allah menyeru para hamba untuk memikirkannya, kunci masuk kepada Allah adalah islamnya hati, keselamatan hati untuk Allah, dan keikhlasan untuk Allah adalah rasa cinta, kebencian, perbuatan, meninggalkan perbuatan. Dan kunci kehidupan hati adalah memikirkan Al Qur’an dan merunduk di akhir malam serta meninggalkan dosa. Kunci dihasilkannya rahmat adalah berbuat baik dalam ibadah pada Sang Pencipta dan berupaya untuk memberikan manfaat para para hamba-Nya. Kunci rizqi adalah usaha yang disertai dengan istighfar dan taqwa. Kunci kemuliaan adalah taat pada Allah dan Rasul-Nya. Kunci persiapan untuk akhirat adalah pembatasan angan-angan. Kunci setiap kebaikan adalah adanya minat dan harapan pada Allah dan negeri Akhirat. Kunci segala kejelekan adalah rasa cinta pada dunia dan panjangnya angan-angan. Dan ini adalah pintu yang agung, termasuk pintu-pintu ilmu yang paling bermanfaat, yaitu: mengetahui kunci-kunci kebaikan dan kejelekan. Tidak ada yang diberi taufiq untuk mengetahuinya dan memperhatikannya kecuali orang yang bagiannya dan taufiqnya itu besar, …dst.” (“Hadil Arwah”/hal. 86/cet. Maktabah ‘Ibadirrahman).

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله juga berkata: “Dan doa itu termasuk obat yang paling bermanfaat. Dan dia adalah musuh bagi malapetaka, dia menolaknya, mengobatinya dan menghalangi turunnya bencana tadi, menghilangkannya atau meringankannya jika telah turun. Dan dia adalah senjata orang Mukmin.” (“Al Jawabul Kafiy”/hal. 4).
-------------------

Keempat: Memperbanyak shalat untuk Allah ta’ala

Shalat merupakan sebab keberuntungan yang hakiki.

ta’ala berfirman:

﴿قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ –إى قوله:- وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ﴾ [المؤمنون/1-9].
“Sungguh telah beruntung orang-orang mukmin yang orang-orang yang khusyu’ di dalam shalat mereka –sampai pada firman:- dan orang-orang yang menjaga shalat mereka.”

Allah سبحانه berfirman:

﴿قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى * وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى﴾ [الأعلى/14، 15].

“Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri, dan mengingat nama Rabbnya lalu melaksanakan shalat.”

Ibnul Atsir رحمه الله berkata: “Falah adalah: keberuntungan, keselamatan, dan kekekalan dalam kenikmatan dan kebaikan.” (“Lisanul Arab”/hal. 547).

Dari Abu Umamah رضي الله عنه yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«اِعْلَمْ أَنَّكَ لَنْ تَسْجُدَ للهِ سَجْدَةً إِلَّا رَفَعَ اللهُ لَكَ بِهَا دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيْئَةً».

“Ketahuilah, sesungguhnya engkau tidaklah dirimu bersujud untuk Allah satu kali, kecuali Allah akan mengangkat untukmu dengannya satu derajat, dan menghapuskan darimu dengannya satu kesalahan.” (HR. Ahmad (22141) dan dishahihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shahihul Musnad” (488)).

Dari Mi’dan bin Abi Thalhah Al Ya’muriy yang berkata: “Aku berjumpa dengan Tsauban pembantu Rasulullah ﷺ, maka kukatakan padanya: kabarilah saya dengan suatu amalan yang jika saya mengamalkannya, Allah akan memasukkan saya dengannya Jannah. Atau berkata: dengan amalan yang paling disukai oleh Allah. Maka beliau diam. Lalu saya tanya lagi, ternyata beliau diam. Lalu saya bertanya pada kali yang ketiga, maka beliau berkata: Aku bertanya tentang itu pada Rasulullah ﷺ maka beliau menjawab:

«عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ للهِ، فَإِنَّكَ لَا تَسْجُدُ للهِ سَجْدَةً إِلَّا رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيْئَةً».

“Engkau harus memperbanyak sujud untuk Allah, karena sungguh tidaklah engkau bersujud satu kali untuk Allah, kecuali Allah akan mengangkat untukmu dengannya satu derajat, dan menghapuskan darimu dengannya satu kesalahan”.
Mi’dan berkata: kemudian aku berjumpa dengan Abud Darda رضي الله عنه lalu kutanya beliau, maka beliau menjawabku seperti apa yang diucapkan Tsauban padaku.” (HR. Muslim (488)).

Ini adalah keutamaan yang dijanjikan untuk ahli shalat dan sujud yang disyariatkan.

Dan shalat juga sebab keselamatan ketika ada pemeriksaan amalan, dengan seidzin Allah ta’ala.

Dari salah seorang Shahabat Nabi ﷺ yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ صَلَاتُهُ، فَإِنْ كَانَ أَتَمَّهَا كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَتَمَّهاَ قَالَ اللهُ عز وجل: اُنْظُرُوا هَلْ تَجِدُوْنَ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَتُكَمِّلُوْا بِهَا فَرِيْضَتَهُ. ثُمَّ الزَّكَاةُ كَذَلِكَ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى حَسَبِ ذَلِكَ».

“Yang pertama kali diperiksa dari amalan seorang hamba adalah shalatnya. Jika dia menyempurnakannya dicatatlah untuknya sebagai shalat yang sempurna. Jika dia tidak menyempurnakan shalatnya, Allah عز وجل berfirman: Perhatikanlah, apakah kalian mendapati hamba-Ku ini punya shalat-shalat sunnah sehingga kalian bisa menyempurnakan shalat wajibnya tadi dengannya. Kemudian zakat juga seperti itu, kemudian seluruh amalan diperiksa sesuai dengan itu.” (HR. Al Imam Ahmad (16665) dan dishahihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Al Jami’ush Shahih Mimma Laisa Fish Shahihain” no. (1261)).

Keutamaan shalat itu banyak dan terkenal.
-------------------

Kelima: Memerintahkan yang baik, dan melarang dari yang mungkar

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله mengatakan: “Kita memperbanyak amal shalih di hari-hari yang sepuluh dari Dzul Hijjah. Dan amal shalih itu beraneka ragam: membaca Al Qur’an, berdzikir, bertasbih, bertahmid, bertakbir, memerintahkan kebaikan, melarang dari kemungkaran, melakukan shalat, bersedekah, berbakti pada kedua orang tua, mempererat kekerabatan. Dan amal-amal shalih itu tidak terhitung.” (“Al Liqausy Syahriy/1/hal. 271).

Dan keutamaan amar ma’ruf dan nahi mungkar itu banyak, di antaranya adalah: firman Allah ta'ala :

﴿كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَر﴾ [آل عمران: 110].

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar"

Juga firman Allah subhanah:

﴿وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾،

"Dan hendaknya ada sekelompok umat dari kalian yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imron: 105).
Dan yang lainnya.

Dalil-dalil ini bersifat umum, mencakup laki-laki dan perempuan. Dan yang lebih jelas dari itu adalah firman Allah ta'ala :

﴿وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ الله وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ الله إِنَّ الله عَزِيزٌ حَكِيمٌ﴾ [التوبة: 71].

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Dan termasuk dalil dari sunnah adalah keumuman hadits Abi Sa'id Al Khudriy رضي الله عنه bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

« مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ ».

"Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia merobahnya dengan tangannya, maka jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, maka jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman."  (HR. Muslim (49)).

Juga dari Abu Sa’id رضي الله عنه: bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

«لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ فِي حَقٍّ إِذَا رَآهُ، أَوْ شَهِدَهُ، أَوْ سَمِعَهُ».

"Sungguh janganlah sampai kewibawaan manusia itu menghalangi kalian untuk mengucapkan yang benar jika melihatnya atau menyaksikannya atau mendengarnya." (HR. Ahmad (11793) dengan sanad shahih. Dan dishahihkan Al Imam Al Albaniy رحمه الله di "Ash Shahihah" di bawah no. (168). Dan asal hadits dishahihkan Al Imam Al Wadi'iy dalam "Ash Shahihul Musnad" no. (414)).

Al Imam Al Wadi'y رحمه الله berkata:  "Karena termasuk dari bagian Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, dan bagian dari dakwah ke jalan Allah, dan bahkan termasuk jihad fi sabilillah adalah menjelaskan 'Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah, pembelaan untuknya, dan menyingkap kebatilan ahlul bida', ahlul ilhad dan peringatan dari mereka, sebagaimana Allah 'Azza Wajalla berfirman:

﴿بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ ﴾ [الأنبياء: 18].

"Bahkan Kami akan melemparkan al haq terhadap kebatilan sehingga dia menyirnakan kebatilan tadi, maka tiba-tiba kebatilan tadipun lenyap." (QS Al Anbiya 18)

Maka semoga Allah membalas Ahlussunnah dengan pahala yang terbaik, karena mereka sejak zaman lampau maju menentang ahlil bida' sampai-sampai sebagian dari mereka lebih mengutamakan bantahan terhadap ahlul bida' di atas jihad fi sabilillah."
(Selesai dari "Rudud Ahlil 'Ilmi"/Al Wadi’iy/hal. 5-6/cet. Darul Atsar).
-------------------


Keenam: Memperbanyak bersedekah

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله mengatakan: “Maka bulan Ramadhan itu termasuk waktu yang mana sangat ditekankan untuk bersedekah. Dalilnya adalah bahwasanya Nabi ﷺ adalah:

أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ.

“Orang yang paling dermawan, dan beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadhan.

Dan itu menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ bertambah infaq beliau di bulan tadi. Namun yang terkuat adalah: bahwasanya berinfaq di sepuluh hari pertama dari Dzul Hijjah itu lebih utama, berdasarkan Nabi ﷺ yang bersabda:

«مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ»، قَالُوا: وَلَا اْلجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: «وَلَا اْلجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ وَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ».

“Tidak ada hari-hari yang mana amalan di hari itu yang lebih dicintai oleh Allah melebihi hari-hari yang sepuluh ini.” Mereka bertanya: “Walaupun berupa jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab: “Walaupun berupa jihad di jalan Allah. Kecuali seseorang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, kemudian dia tidak kembali membawa apapun.”

Dan itu bersifat umum.”
(Selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”/6/hal. 97).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله juga berkata: “Dan sedekah-sedekah itu tidak punya waktu tertentu, bahkan dia itu berlaku di waktu manapun. Sebagian orang menginfakkan harta di bulan Ramadhan, dan di sepuluh hari Dzul Hijjah. Maka barangsiapa menginfakkan di masa itu; maka dia akan mendapatkan pahala yang besar, karena kebaikan-kebaikan itu dilipatgandakan di masa dan tempat yang utama.” (“Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibni Utsaimin”/20/hal. 45).
-------------------


Ketujuh: Berpuasa

Telah kita lewati bahwasanya dalil-dalil yang berbicara tentang keutamaan puasa di hari yang sepuluh ini lemah atau bahkan sekali dan palsu. Namun cukuplah bagi kita bahwasanya puasa itu termasuk amal shalih, sebagaimana dalam hadits Abu Umamah رضي الله عنه bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

«عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ...» الحديث.

“Engkau haruslah berpuasa, karena sesungguhnya tiada yang semisal dengannya,…” (HR. Ahmad (22141) dan dishahihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shahihul Musnad” (488)).

Dan dalam Dari Abu Hurairah رضي الله عنه yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«قَالَ اللهُ -عزّ وجّل-: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، هُوَ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَّمدٍ بِيَدِهِ، لَخَلْفَةُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ ...» الحديث

“Allah عز وجل berfirman: “Seluruh amalan Bani Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena sesungguhnya dia itu adalah untuk-Ku, dan Aku akan membalas dengannya.” Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, benar-benar bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma misik…” hingga akhir hadits. (HR. Al Bukhariy (1904) dan Muslim (1151)).

Maka berpuasa itu sangat dianjurkan di hari-hari ini, kecuali tentu saja di hari yang kesepuluh.

Hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud رحمه الله dalam “Sunan” beliau (2438) dalam bab: Puasa di hari-hari yang sepuluh.

Diriwayatkan juga oleh Al Imam Ibnu Majah رحمه الله dalam “Sunan” beliau (1727) dalam bab: Puasa di hari-hari yang sepuluh.

Diriwayatkan juga oleh Al Imam Al Baihaqiy رحمه الله dalam “Syu’abul Iman” beliau (3473) dengan judul: Puasa di bulan-bulan suci.

Jika dipertanyakan: kenapa Nabi ﷺ tidak menjalankan puasa tersebut? Dan dalilnya adalah hadits Aisyah رضي الله عنها yang berkata:

مَا رَأَيْتُ رسولَ اللهِ ﷺ صَائِماً فِي الْعَشْرِ قَطُّ. (أخرجه مسلم (1176)).

“Belum pernah saya melihat Rasulullah ﷺ berpuasa di sepuluh hari ini (Dzul Hijjah) sama sekali.” (HR. Muslim (1176)).

Al Imam Ath Thahawiy رحمه الله berkata: “Maka bagaimana jadinya amalan di hari-hari ini dengan keutamaan yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ di dalamnya, kemudian beliau tertinggal dari berpuasa di hari-hari itu padahal puasa itu termasuk amalan yang paling utama? Maka jawaban kami untuk pertanyaan tadi dengan taufik Allah عز وجل adalah: bahwasanya boleh jadi beliau ﷺ tidak berpuasa di hari-hari itu sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah رضي الله عنها karena jika beliau berpuasa beliau akan melemah dari beramal di masa itu yang lebih agung kedudukannya daripada puasa, berupa shalat, dzikir pada Allah عز وجل dan membaca Al Qur’an, sebagaimana telah diriwayatkan dari Abdullah Bin Mas’ud رضي الله عنه tentang masalah itu bahwasanya amalan untuk diri beliau sendiri; sebagaimana yang dikabarkan kepada kami oleh Ibrahim Bin Marzuq yang berkata: Rauh Bin Ubadah dan Wahb Bin Jarir menyampaikan hadits kepada kami: Syu’bah menyampaikan hadits kepada kami: dari Abu Ishaq: dari Abdurrahman Bin Yazid: bahwasanya Abdullah hampir-hampir tidak berpuasa (yang mustahab –pen), dan jika beliau berpuasa, beliau berpuasa tiga hari di setiap bulannya. Dan beliau berkata:

(إِنِّي إِذَا صُمْتُ ضَعُفْتُ عَنِ الصَّلَاةِ، وَالصَّلَاةُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الصَّوْمِ).

“Saya jika berpuasa, saya menjadi lemah untuk mengerjakan shalat, padahal shalat itu lebih saya sukai daripada berpuasa.”

Maka jadilah apa yang disebutkan oleh Aisyah رضي الله عنها dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau meninggalkan puasa pada hari-hari itu karena beliau bersibuk-sibuk di hari-hari itu dengan amalan yang lebih utama daripada puasa, sekalipun puasa di hari-hari itu memiliki keutamaan seperti yang disebutkan di dalam atsar-atsar yang telah kami sebutkan tentang itu. Dan yang demikian itu bukanlah menjadi penghalang bagi seseorang untuk condong kepada puasa di hari-hari itu, terutama orang yang mampu untuk menggabungkan antara puasa dan amalan-amalan yang lainnya yang dengan itu orang lain mendekatkan diri kepada Allah عز وجل. Dan hanya kepada Allah sajalah kita memohon taufik.”
(Selesai dari “Musykil Atsar”/Ath Thahawiy/6/hal. 472-473).

Al Allamah Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Perkataan Aisyah رضي الله عنها: “Belum pernah saya melihat Rasulullah ﷺ berpuasa di sepuluh hari ini sama sekali.” Yaitu: sepuluh hari dari Dzul Hijjah. Dan tidaklah dipahami dari itu bahwasanya berpuasa di hari-hari itu adalah makruh, bahkan amal-amal shalih di hari-hari itu lebih utama daripada amal-amal shalih di masa yang lain, dengan dalil yang diriwayatkan oleh At Tirmidziy dari dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:

عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللِه مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ»، قَالُوا : يا رسولَ الله، ولا الجهادُ في سبيل الله؟ قال: «ولا الجهادُ في سبيل اللهِ ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ».

Dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau bersabda: “Tidak ada hari-hari yang mana amal shalih di hari itu lebih dicintai oleh Allah daripada amalan pada hari-hari yang sepuluh ini.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, walaupun berupa jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab: “Walaupun berupa jihad di jalan Allah. Kecuali seseorang yang keluar membawa jiwa dan hartanya, kemudian dia tidak kembali membawa apapun dari itu.”
Dan At Tirmidziy berkata: “Dan ini adalah hadits yang hasan dan shahih.”

Dan hanyalah Nabi ﷺ meninggalkan puasa di hari-hari itu karena –wallahu a’lam- sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah رضي الله عنها tentang shalat dhuha:

(أَنَّهُ ﷺ كَانَ يَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ).

“Bahwasanya Rasulullah ﷺ meninggalkan amalan dalam keadaan amalan tadi beliau menyukai untuk mengamalkannya karena beliau khawatir amalan itu dikerjakan oleh orang-orang, lalu diwajibkan kepada mereka.”

Ada kemungkinan bahwasanya Nabi ﷺ tidaklah bertepatan dengan sepuluh hari tadi dalam keadaan kosong dari faktor penghalang yang menghalangi beliau dari berpuasa di masa itu, wallahu ta’ala a’lam.
(Selesai dari “Al Mufhim”/10/hal. 27).

Adapun penamaan puasa di hari-hari itu sebagai puasa di hari-hari yang sepuluh adalah sekedar penggenapan saja, karena pada kenyataannya: puasa yang diidzinkan hanyalah sampai tanggal 9 Dzul Hijjah saja, sedangkan tanggal 10 adalah Idul Adha, maka orang dilarang untuk berpuasa di hari itu.

Al Imam An Nawawiy رحمه الله: “Dan yang dimaksudkan dengan sepuluh hari di sini adalah hari-hari yang sembilan sejak tanggal satu dari Dzul Hijjah. Mereka mengatakan: “Dan istilah tadi termasuk yang perlu ditakwil, maka puasa di sembilan hari itu tidaklah dimakruhkan, bahkan dia itu mustahab dan sangat disukai, terutama pada tanggal kesembilan dari hari-hari itu, yaitu: hari Arafah. Dan telah berlalu hadits-hadits tentang keutamaannya. Dan telah pasti di dalam “Shahihul Bukhariy” bahwasanya:

رسولُ الله ﷺ قال: «مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَفْضَلُ مِنْهُ فِي هَذِهِ، يَعْنِي: الْعَشْرَ الْأَوَائِلِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ».

Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada hari-hari yang mana amal shalih di hari itu lebih dicintai oleh Allah daripada amalan pada hari-hari yang sepuluh ini. Yaitu: Sepuluh pertama dari Dzul Hijjah.”

Maka ucapan Aisyah: “Tidak berpuasa di hari-hari yang sepuluh” itu perlu ditakwilkan: bahwasanya Nabi tidak berpuasa di masa itu karena terhalang oleh sakit, atau safar, atau yang lainnya, atau Aisyah tidak melihat beliau berpuasa di hari-hari itu, dan tidaklah yang demikian itu mengharuskan bahwasanya beliau tidak berpuasa di hari itu pada kenyataannya.”
(Selesai dari “Syarhun Nawawiy ‘Ala Shahih Muslim”/8/hal. 71-72).

Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Dan itu menjadi dalil tentang keutamaan berpuasa pada sepuluh hari dari Dzul Hijjah, karena puasa tadi masuk ke dalam amalan.

Namun hal itu menjadi rumit karena diharamkannya puasa di Hari Raya. Hanya saja dijawab: hal itu (puasa sepuluh hari –pen) dibawa kepada globalitas saja (seakan-akan sepuluh, namun pada kenyataannya hanya sembilan hari –pen).

Dan puasa ini tidak dibantah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya dari Aisyah رضي الله عنها yang berkata:

ما رأيت رسول الله ﷺ صائماً في العشر قط. (أخرجه مسلم (1176)).

“Belum pernah saya melihat Rasulullah ﷺ berpuasa di sepuluh hari ini (Dzul Hijjah) sama sekali.”

Karena ada kemungkinan hal itu terjadi karena beliau meninggalkan amalan tadi padahal beliau suka untuk mengamalkannya; karena beliau khawatir puasa tadi akan diwajibkan terhadap umat beliau sebagaimana yang diriwayatkan dalam “Shahihain” dari hadits Aisyah juga.”
(“Fathul Bariy”/2/hal. 460).

Jika demikian, apakah puasa selama sembilan hari tadi disukai? Tentu saja.

Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata tentang tidak dikerjakannya puasa di sepanjang sepuluh hari tadi oleh Nabi ﷺ: “Akan tetapi tidak berpuasanya beliau ﷺ di sepanjang sepuluh hari tadi tidaklah menunjukkan tidak lebih utamanya berpuasa di masa itu, karena Nabi ﷺ terkadang terhalang oleh perkara-perkara yang menyibukkan beliau dari puasa.

Keutamaan beramal shalih di hari-hari yang sepuluh telah ditunjukkan oleh hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang diriwayakan dalam “Shahihul Bukhariy”. Sedangkan puasa itu termasuk dari amal shalih. Maka menjadi jelaslah dari yang demikian itu tentang disukainya berpuasa di sepanjang hari-hari itu, berdasarkan hadits Ibnu Abbas tadi, dan hadits yang semakna dengannya.”
(“Majmu’ Fatawa Ibni Baz”/21/hal. 415).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata:
“Sesungguhnya hadits tadi adalah pengabaran Aisyah رضي الله عنها tentang apa yag dia ketahui, sementara itu sabda Rasul ﷺ harus lebih diutamakan daripada perkara yang tidak diketahui oleh si rawi.
 
Al Imam Ahmad رحمه الله telah merajihkan bahwasanya Nabi ﷺ dulu juga mengerjakan puasa di hari-hari yang sepuluh itu. Jika hadits tadi memang pasti, maka tidak ada kerumitan. Namun jika hadits tadi tidak pasti, maka tetap saja puasa di hari-hari itu masuk ke dalam keumuman amal shalih yang mana Rasulullah ﷺ bersabda tentangnya:

«مَا مِنْ أيامٍ العملُ الصالحُ فيهنَّ أحبُّ إلى اللهِ مِن هذهِ العشرِ».

“Tidak ada hari-hari yang mana amal shalih di hari itu lebih dicintai oleh Allah daripada amalan pada hari-hari yang sepuluh ini.”
Dan puasa itu termasuk ke dalam amal shalih.”
(“Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibnu Utsaimin”/20/hal. 25).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله juga berkata: “Maka amal shalih di hari-hari sepuluh Dzul Hijjah, dan termasuk di dalamnya adalah: puasa, lebih Allah sukai daripada amal shalih di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan.” (“Asy Syarhul Mumti’”/6/hal. 154).

Fadhilatu Syaikhina Muhammad Al Amin Al Harariy رحمه الله berkata: “Dan itu menjadi dalil tentang keutamaan puasa di sepuluh hari Dzul Hijjah, karena puasa itu masuk ke dalam amalan, karena amalan itu mencakup: puasa, shalat, dzikir, sedekah dan yang lainnya. Hal itu menjadi rumit karena diharapkannya puasa di Hari Raya, maka dijawab bahwasanya istilah sepuluh hari tadi adalah sebagai globalitas saja, atau yang dimaksudkan adalah puasa di mayoritas dari sepuluh hari tadi.” (“Al Kaukabul Wahhaj Syarh Shahih Muslim Ibnil Hajjaj”/13/hal. 238).

Dan di antara sepuluh hari tadi ada: puasa Hari Arafah, yang mana keutamaannya adalah: menghapus dosa tahun sebelumnya dan tahun yang sesudahnya.

Dari Abu Qatadah رضي الله عنه yang berkata: Rasullullah ﷺ bersabda:

«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى الله أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى الله أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ ».

"Puasa hari Arafah itu aku berharap Allah menghapus dosa tahun sebelumnya dan tahun yang sesudahnya. Dan Puasa hari Asyura itu aku berharap Allah menghapus dosa tahun sebelumnya." (HR. Muslim (1162)).
-------------------

Kedelapan: Berumrah dan berhaji

Pada hari-hari tersebut, sangat ditekankan untuk mengadakan umrah dan berhaji. Dan pada tanggal sepuluh Dzul Hijjah ada hari penyembelihan, dan dia itu haji yang terbesar.

Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما yang berkata:

أَنَّ رَسُولَ الله ِﷺ وَقَفَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الْجَمَرَاتِ فِي الْحَجَّةِ الَّتِي حَجَّ، فَقَالَ: «أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟» قَالُوا: يَوْمُ النَّحْرِ. قَالَ: «هَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ».

bahwasanya Rasulullah ﷺ berdiri pada hari Nahr di antara jumrah-jumrah pada acara haji yang beliau kerjakan, lalu beliau bertanya: “Hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Hari Nahr.” Beliau bersabda: “Ini adalah hari haji yang terbesar.” (HR. Abu Dawud (1945), shahih sebagaimana di dalam “Ash Shahihul Musnad” (1/hal. 588)).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata:

“Dan termasuk yang disunnahkan pada hari-hari ini adalah berangkat ke Baitullah untuk menunaikan umrah dan haji, dan inilah yang paling utama untuk dikerjakan pada hari-hari secara khusus, dengan makna: amalan-amalan khusus di hari-hari ini yang paling utamanya adalah berjalan menuju Baitullah untuk menunaikan umrah dan haji, karena haji itu termasuk dari jihad di jalan Allah.

سَأَلَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ ﷺ: هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ ﷺ: «عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيْهِ: اْلحَجُّ وَالْعُمْرَةُ».

Aisyah رضي الله عنها bertanya kepada Nabi ﷺ: “Apakah para wanita wajib berjihad?” Beliau menjawab: “Iya, mereka (para wanita) punya kewajiban jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu: haji dan umrah”.
 
Dan itu diisyaratkan oleh firman Allah عز وجل :

﴿وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ الله وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ الله يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ * وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِله﴾ [البقرة:195-196].

“Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ´umrah karena Allah.”

Maka Allah menggandengkan penyempurnaan haji dan umrah kepada infak di jalan Allah, maka dia itu memberitahukan bahwasanya haji (dan umrah) itu salah satu jenis dari jihad di jalan Allah. Maka berdasarkan ini: layaklah bagi kita untuk berbicara tentang haji dan umrah walaupun secara singkat.”
(“Al Liqausy Syahriy”/1/hal. 273).

Keutamaan-keutamaan haji dan umrah itu banyak dan disebutkan di dalam dalil-dalil yang shahih dan hasan. Di antaranya adalah:

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَّدَتْهُ أُمُّهُ». (أخرجه البخاري (1819) ومسلم (1350) واللفظ له).

“Barangsiapa mendatangi Rumah ini (Ka’bah), lalu dia tidak melakukan kekejian, dan tidak pula mengerjakan kefasikan, dia akan kembali sebagaimana saat dilahirkan oleh ibunya (tanpa punya dosa –pen).” (HR. Al Bukhariy (1819) dan Muslim (1350), dan ini lafazh Muslim).

Dan dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه pula yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«تَابِعُوْا بَيْنَ اْلحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ اْلحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ. وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ اْلمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلَّا فِي اْلجَنَّةِ». (أخرجه الإمام أحمد (3669) والترمذي (810) وابن ماجه (2887) والنسائي (2629) وغيرهم/ صحيح لغيره).

“Jadikanlah haji dan umrah susul-menyusul, karena kedua amalan ini akan menghilangkan kemiskinan dan menggugurkan dosa-dosa sebagaimana perapian itu menghilangkan kotoran dari besi, emas dan perak. Dan Haji yang Mabrur (bagus dan diterima) itu tidak punya pahala kecuali di Jannah (Syurga).” (HR. Al Imam Ahmad (3669), At Tirmidziy (810), Ibnu Majah (2887), An Nasaiy (2629) dan dan yang lainnya. Shahih dengan pendukungnya).

Dari Aisyah Ummul Mukminin رضي الله عنها yang berkata:

يَا رسولَ اللهِ، نَرَى اْلجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ. أَفَلَا نُجَاهِدُ؟ قَالَ: «لَا لَكُنّ أَفْضَلُ اْلجِهَادِ: حَج مَبْرُوْرٌ». (أخرجه البخاري (1520)).

“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwasanya jihad adalah amalan yang paling utama. Maka apakah tidak sebaiknya kami berjihad?” Maka beliau bersabda: “Tidak. Akan tetapi kalian (para wanita) punya jihad yang paling utama, yaitu: haji yang mabrur” (). (HR. Al Bukhariy (1520)).

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه pula yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«جِهَادُ الْكَبِيْرِ وَالصَّغِيْرِ وَالضَّعِيْفِ وَاْلمَرْأَةِ: اْلحَجُّ وَالْعُمْرَةُ». (أخرجه النسائي في سننه (2625) والطبراني في "الأوسط" (8751) والبيهقي في "السنن الكبر" (18270)/صحيح).

“Jihad orang tua, anak-anak, orang yang lemah dan wanita adalah: haji dan umrah”. (HR. An Nasaiy (2625), Ath Thabraniy dalam “Al Ausath” (8751) dan Al Baihaqiy dalam “As Sunanul Kubra” (18270), dan ini hadits yang shahih).
-------------------


Kesembilan: Menyembelih hewan qurban

Penyembelihan hewan Qurban itu dikhususkan pada hari raya Idul Adha, kemudian pada hari-hari Tasyriq.
Dan Idul Adha adalah Hari Raya terbesar bagi umat Islam, dan dia adalah hari penyembelihan. Di dalamnya Allah ta’ala mensyariatkan umat ini untuk melakukan penyembelihan sebagai bentuk pendekatan diri kepada-Nya di hari itu dan di hari-hari Tasyriq.

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: “Dan termasuk yang diamalkan pada hari-hari yang sepuluh ini, di hari yang terakhir dari rangkaian hari-hari itu, adalah: pendekatan diri kepada Allah dengan mengadakan penyembelihan hewan Qurban. Dan ini dilakukan oleh orang orang yang tidak berhaji dari kalangan Muslimin di berbagai negeri. Adapun orang-orang yang berhaji, maka yang disyariatkan untuk mereka adalah: Hadyu, karena Rasulullah ﷺ membuat hadyu (menghadiahkan hewan untuk disembelih di Baitullah –pen) dan tidak melakukan udhiyah (penyembelihan qurban –pen). Dan beliau melakukan udhiyah di Madinah di luar tahun hajinya beliau.” (“Al Liqausy Syahriy”/1/hal. 273).

Penyembelihan itu termasuk dari ibadah-ibadah khusus yang menunjukkan kepada ketundukan hamba kepada Rabbnya عز وجل, maka tidak boleh diberikan kepada selain Allah ta’ala. Allah ta'ala berfirman:

﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ﴾ [الكوثر:2].

"Maka shalatlah untuk Rabbmu, dan sembelihlah untuk Rabbmu."

Ini menuntut bahwasanya shalat itu hanya untuk Allah, penyembelihan hanya untuk Allah semata, berbeda dengan perbuatan kaum musyrikin.

Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: "Allah ta'ala memerintahkan beliau untuk mengabari kaum musyrikin yang menyembah selain Allah itu dan menyembelih untuk selain nama-Nya, bahwasanya beliau menyelisihi mereka dalam masalah ini, dan bahwasanya shalat beliau adalah untuk Allah, penyembelihan yang beliau lakukan adalah dengan nama Allah semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dan ini adalah seperti firman Allah ta'ala:

﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ﴾ [الكوثر:2].

"Maka shalatlah untuk Rabbmu, dan sembelihlah untuk Rabbmu."

Yaitu: ikhlaskanlah untuk-Nya shalatmu dan sembelihanmu, karena sesungguhnya kaum musyrikin itu menyembah patung-patung, dan menyembelih untuk patung itu. Maka Allah ta'ala memerintahkan beliau untuk menyelisihi mereka dan menyimpang dari ajaran agama mereka, serta menghadapkan diri pada Allah dengan tujuan, niat dan tekad agar ikhlas untuk Allah ta'ala."
(Selesai dari "Tafsirul Qur'anil 'Azhim"/3/hal. 381).

Maka dari penjelasan ini kita mengetahui bahwasanya penyembelihan itu tidak boleh kecuali diserahkan kepada Allah saja. Barangsiapa menyembelih untuk selain Allah maka dia itu telah terjatuh ke dalam syirik besar, menyerupai agama kaum musyrikin.

Syaikhul Islam رحمه الله berkata: "Dulu para penyembah setan dan patung itu menyembelih binatang sembelihan untuknya juga. Maka penyembelihan untuk dzat yang diibadahi itu merupakan puncak kehinaan dan ketundukan untuk dzat tersebut. Maka dari itu sembelihan itu tidak boleh untuk selain Allah, dan tidak boleh pula nama selain Allah disebut pada sembelihan. Dan Allah Yang Mahasuci mengharamkan binatang yang disembelih untuk berhala, dan itu adalam sesuatu yang disembelih untuk selain Allah, dan sesuatu yang disebutkan untuknya nama selain Allah, sekalipun orang tadi hanyalah memaksudkan untuk mendapatkan daging saja, bukan untuk korban.

Dan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, beliau juga melarang sembelihan untuk jin. Orang-orang dulunya menyembelih untuk jin. Bahkan Allah mengharamkan apa yang tidak disebutkan nama Allah padanya secara mutlak, sebagaimana Al Qur'an dan As Sunnah menyebutkan yang demikian itu di beberapa tempat." ("Majmu'ul Fatawa"/17/hal. 484-485).

Dalil yang menunjukkan bahwasanya penyembelihan merupakan bagian dari ibadah adalah firman Allah ta'ala:

﴿قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ دِيناً قِيَماً مِّلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ * قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَاي َ وَمَمَاتِي الله رَبِّ الْعَالَمِينَ * لاَ شَرِيكَ لَه وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ﴾

"Katakanlah: sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb (Tuhan)ku kepada jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, yaitu agama Ibrahim yang hanif, dan bukanlah Ibrahim itu termasuk dari orang-orang yang musyrik. Katakanlah: sesungguhnya shalatku, nusukku (penyembelihan yang aku lakukan), kehidupanku dan kematianku adalah milik Rabbul alamin, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah Aku diperintahkan, dan aku adalah orang pertama dari muslimin (dari umat ini)." (QS. Al An'am: 161-163).

Al Khathib Ahmad Bin Muhammad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Tidaklah halal hewan yang disembelih oleh seorang Muslim ataupun orang yang lainnya untuk selain Allah, karena hewan tadi termasuk sesuatu yang disembelih untuk selain Allah. Bahkan jika si Muslim menyembelih hewan tadi untuk objek tadi sebagai pengagungan dan ibadah, maka itu adalah kekufuran, sebagaimana jika dia bersujud untuknya sebagai bentuk pengagungan dan peribadatan.” (“Mughniyl Muhtaj”/10/hal. 265).
-------------------

Kesepuluh: Orang yang ingin menyembelih hewan qurban, dia disyariatkan untuk tidak mencukur rambut sendiri ataupun memotong kuku sendiri sampai selesainya penyembelihan

Dari Ummu Salamah رضي الله عنها : dari Nabi ﷺ yang bersabda:

«إِذَا دَخَلَ عَلَى أَحَدِكُمُ الْعَشْرُ -وفي رواية: إِذَا أَهَلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ».

“Jika salah seorang dari kalian memasuki sepuluh hari” –dalam satu riwayat: “Jika hilal Dzul Hijjah telah nampak”- “Dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih, maka hendaknya dia menahan diri dari (yaitu: tidak memotong) rambut dan kukunya” (HR. Muslim (1977)).

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang memasuki sepuluh hari dari Dzul Hijjah dan dia ingin melakukan penyembelihan Qurban. Sa’id Ibnul Musayyab, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq dan Dawud serta sebagian pengikut Asy Syafi’iy berpendapat: “Hram baginya untuk mengambil sedikitpun dari rambutnya dan kukunya sampai dia menyembelih di waktu penyembelihan.”

Asy Syafi’iy dan para pengikutnya berkata: “Itu adalah makruh tanzih dan tidak haram.”

Abu Hanifah berkata: “Tidak dimakruhkan.”
Malik dalam satu riwayat berkata: “Tidak dimakruhkan.” Dan dalam riwayat yang lain: “Dimakruhkan.” Dan dalan satu riwayat: “Diharamkan dalam penyembelihan yang mustahab dan tidak wajib.”
Dan ulama yang mengharamkan itu berdalilkan dengan hadits-hadits ini.
Asy Syafi’iy dan yang lainnya berdalilkan dengan hadits Aisyah رضي الله عنها yang berkata:

(كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رسولِ اللهِ ﷺ، ثُمَّ يُقَلِّدُهُ، وَيَبْعَثُ بِهِ، وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللهُ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ). رواه البخارى ومسلم.

“Dulu saya sering memintal tali-tali penuntun untuk hewan hadyu Rasulullah ﷺ, kemudian beliau mengalungkan tali itu ke leher hewan tadi, dan beliau mengirimkannya (bersama orang yang ke Baitullah –pen). Dan tidaklah haram bagi beliau apapun yang Allah halalkan sehingga hadyu beliau disembelih.” Diriwayatkan oleh Al Bukhariy dan Muslim.

Asy Syafi’iy berkata: “Pengiriman hadyu itu lebih banyak (lebih banyak nilai manasiknya –pen) daripada keinginan untuk melakukan udhiyah, maka hal itu menunjukkan bahwasanya tidaklah seseorang itu tidak menjadi berihram dengan sebab melakukan udhiyah.” Dan Beliau membawa hadits dalam bab ini kepada makruh tanzih.

Para sahabat kami berkata: “Dan yang dimaksudkan dengan larangan dari memotong kuku dan rambut adalah: larangan dari menghilangkan kuku dengan alat pemotongnya, atau dengan mematahkan kuku, atau dengan yang lainnya. Dan larangan menghilangkan rambut adalah dengan pencukuran atau pemendekan atau pencabutan atau pembakaran atau pengambilannya dengan kapur, atau dengan cara lain. Sama saja: rambut ketiak, kumis, kemaluan, kepala dan rambut yang lainnya di badan.”

Ibrahim Al Marwaziy dan yang lainnya dari para sahabat kami berkata: “Hukum anggota-anggota badan semuanya adalah sama dengan hukum rambut dan kuku.” Dan dalilnya adalah riwayat yang terdahulu:

«فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئاً».

“Maka janganlah dia menyentuh (menghilangkan dan semacamnya –pen) rambutnya dan kulitnya sedikitpun.”

Para sahabat kami berkata: “Dan hikmah dari larangan tadi adalah: agar orang tadi tetap lengkaplah anggota-anggota badannya sampai dibebaskan dari Neraka.”
Ada yang mengatakan: “Untuk menyerupakan diri dengan orang yang berihram.” Para sahabat kami berkata: “Itu keliru, karena dia tidak disuruh menjauhi para istrinya dan tidak disuruh meninggalkan wewangian dan pakaian serta yang lainnya yang ditinggalkan oleh orang yang berihram.”
(Selesai dari “Syarun Nawawiy ‘Ala Shahih Muslim”/13/hal. 138-139).

Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata: “Orang berihram dan orang yang akan menyembelih Qurban jangan mengambil dari kulitnya sedikitpun, demikian juga rambutnya. Orang yang ihram dan orang yang ingin menyembelih Qurban tidak boleh mengambil dari kulitnya ataupun rambutnya sedikitpun, baik yang di wajahnya ataupun di kakinya, ataupun di tangannya ataupun yang lainnya sehingga orang yang berihram melakukan tahallul awal, dan sehingga orang yang ingin berqurban menyembelih Qurbannya. Hanyalah yang demikian itu haram bagi orang yang hendak berqurban setelah memasuki sepuluh hari Dzul Hijjah sampai dia menyembelih Qurban.

Jika dia menyembelih atas nama dirinya atau atas nama diri dan keluarganya, tidaklah keluarganya diharamkan dari menghilangkan rambut atau kulit mereka sedikitpun di dalam pendapat yang paling shahih dari pada ulama. Hanyalah yang itu diharamkan bagi orang yang hendak berqurban itu sendiri setelah memasuki bulan tadi sampai dia menyembelih Qurban.

Adapun orang yang mewakili orang lain; maka tidaklah haram baginya dari yang demikian tadi sedikitpun, seperti orang yang mendapatkan wasiat, pengawas wakaf, dan yang seperti mereka berdua, karena masing-masing dari mereka bukanlah penyembelih itu sendiri, hanya saja dia adalah wakil. Dan Allah sajalah Yang memberikan taufik.”
(Selesai “Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibni Baz”/15/hal. 65).
-------------------

Kesebelas: Jihad syar’iy

Nabi Muhammad ﷺ di dalam hadits bab ini telah mengakui bahwasanya jihad itu termasuk amalan yang paling utama. Telah banyak dalil-dalil Al Qur’an yang menunjukkan kepada agungnya kedudukan jihad di jalan Allah. Dan hadits-hadits telah mutawatir tentang tingginya derajat jihad.
Allah ta'ala berfirman:

﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ الله أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ﴾ [آل عمران : 169].

"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezki."

Dari Masruq رحمه الله yang berkata:

سَأَلْنَا عَبْدَ اللهِ –يعني: اِبْنَ مَسْعُوْدٍ- عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: ﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ الله أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ﴾ قَالَ: أَمَا إِنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: «أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لِهاَ قَنَادِيْلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنَ اْلجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِيْ إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيْلِ فَاطْلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ اِطْلَاعَةً فَقَالَ: هَلْ تَشْتَهُوْنَ شَيْئاً؟ قَالُوْا: أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ اْلجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا. فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَلَماَّ رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوْا مِنْ أَنْ يَسْأَلُوْا قَالُوا: يَا رَبُّ، نُرِيْدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيْلِكَ مَرَّةً أُخْرَى. فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهمْ حَاجَةٌ تُرِكُوْا».

"Kami bertanya kepada Abdullah –yakni: Ibnu Mas'ud- tentang ayat ini: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezki." Maka beliau menjawab: "Sesungguhnya kami telah menanyakan tentang itu maka beliau –Nabi ﷺ -menjawab: "Ruh-ruh mereka ada di perut burung-burung hijau yang memiliki sarang yang tergantung di bawah 'Arsy, makan dari makanan Jannah sekehendaknya, kemudian dia hinggap di sarang-sarang tadi. Lalu Rabb mereka melihat kepada mereka seraya berfirman: "Apakah kalian menginginkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Apa lagi yang kami inginkan sementara kami makan dari makanan Jannah sekehendak kami?" Rabb mereka melakukan itu terhadap mereka sebanyak tiga kali. Manakala mereka berpandangan bahwasanya mereka tak akan ditinggalkan untuk meminta, merekapun berkata: "Wahai Rabb kami, kami ingin Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami hingga kami berperang lagi di jalan-Mu." Manakala Allah melihat bahwasanya mereka tak punya keperluan, merekapun ditinggalkan." (HR. Muslim/no. 1887/cet. Darul Kitabil Arabiy).
Allah ta’ala juga berfirman:

﴿انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ [التوبة: 41].

“Berangkatlah kalian baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kalian dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.”

Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Bahkan Allah ta’ala berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُواْ فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إلى الأَرْضِ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ قَلِيلٌ إِلاَّ تَنفِرُواْ يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أليمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلاَ تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللهُ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾ [ التوبة : 38 39 ].

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepada kalian: "Berangkatlah kalian (untuk berperang) pada jalan Allah" kalian merasa berat dan ingin tetap di tempat tinggal kalian? Apakah kalian puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di Akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di Akhirat hanyalah sedikit.”

Dan ini adalah ucapan yang ditujukan kepada setiap generasi. Allah telah mengabarkan di dalamnya bahwasanya orang tidak mau turut berjihad yang memang diperinntahkan, Allah akan menyiksanya dan menggantinya dengan orang yang akan menegakkan jihad. Dan ini sesuai dengan kenyataan.

Demikian pula firman Allah di dalam ayat yang lain:

﴿هَاأَنتُمْ هَؤُلَاء تُدْعَوْنَ لِتُنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَمِنكُم مَّن يَبْخَلُ وَمَن يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَن نَّفْسِهِ وَاللهُ الْغَنِيُّ وَأَنتُمُ الْفُقَرَاء وَإِن تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ﴾ [ محمد : 38 ] .

“Ingatlah, kalian ini adalah orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (harta) di jalan Allah. Maka di antara kalian ada yang kikir, dan barangsiapa kikir maka sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kalianlah orang-orang yang fakir (memerlukan Allah); dan jika kalian berpaling niscaya Dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kalian ini.”

Dan Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya barangsiapa berpaling dari jihad dengan jiwanya atau dari infak di jalan Allah; Allah akan mengganti dirinya. Maka itu adalah keadaan para pengecut yang pelit; Allah akan menggantinya dengan orang yang mau menolong Islam dan berinfak di jalan-Nya.
Maka bagaimanakah dengan keadaan dasar Islam dari orang yang murtad dari Islam? Allah akan mendatangkan orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, mereka rendah hati kepada orang-orang yang beriman, mereka bersikap keras kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan tidak takut celaan orang yang mencela.

Dan itu ada pada para ulama, para ahli ibadah, para prajurit perang, dan kalangan orang-orang kaya; keempat kelompok manusia tadi ada orang-orang yang beriman dan berjihad serta memperoleh kemenangan sampai Hari Kiamat, sebagaimana di antara mereka ada pula orang yang murtad atau tidak mau berjihad ataupun berinfak.”
(Selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/18/hal. 301-302).

Dari Ubaiyy bin Ka’b رضي الله عنه dari Nabi ﷺ yang bersabda:

«بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِيْنِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيْبٌ».

“Berikanlah kabar gembira pada umat ini dengan cahaya, pertolongan, dan kekokohan. Maka barangsiapa beramal dari mereka dengan amalan akhirat tapi untuk mendapatkan dunia, dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.” (HR. Ahmad (21261)/shahih).
Allah ta’ala berfirman:

﴿وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا * دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴾ [النساء/95، 96]

“Dan Allah lebih mengutamakan para mujahidin di atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang agung, (yaitu) derajat-derajat di sisi-Nya, ampunan-Nya dan rahmat-Nya. Dan Allah itu senantiasa Ghafur (Maha Pengampun) lagi Rahim (Maha Penyayang).”

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه yang berkata:

قَالَ رسولُ اللهِ ﷺ : «مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ، وَأَقَامَ الصَّلَاةَ، وَصَامَ رَمَضَانَ، كَانَ حَقًّا عَلَى اللِه أَنْ يُدْخِلَهُ اْلجَنَّةَ جَاهَدَ فِي سَبِيْلِ اللهِ، أَوْ جَلَسَ فِى أَرْضِهِ الَّتِي وُلِدَ فِيْهَا». فَقَالُوا: يَا رسولَ اللهِ، أَفَلَا نُبَشِّرُ النَّاسَ؟ قَالَ: «إِنَّ فِى اْلجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ اْلجَنَّةِ وَأَعْلَى اْلجَنَّةِ، -أُرَاهُ:- فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ، وَمِنْهُ تُفَجَّرُ أَنْهَارُ اْلجَنَّةِ».

Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa beriman pada Allah dan Rasul-Nya, menegakkan shalat dan berpuasa Ramadhan, menjadi kewajiban atas Allah untuk memasukkannya ke dalam Jannah, baik dia itu berjihad di jalan Allah ataukah duduk di negrinya yang dia dilahirkan di situ.” Mereka berkata: Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kami mengabari manusia dengan berita gembira ini?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya di Jannah ada seratus derajat yang Allah sediakan untuk para mujahidin di jalan Allah, jarak antara dua derajat bagaikan antara langit dan bumi. Maka jika kalian minta pada Allah, mintalah pada-Nya
َ لَائِمٍ.

“Kami membai'at Rasulullah ﷺ untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami rajin dan malas, dalam keadaan kami merasa sulit dan mudah, dan dalam keadaan kami tertimpa kezhaliman, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Lalu beliau bersabda: "Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian punya bukti dari Allah tentangnya." Dan agar kami berbicara dengan benar di manapun kami berada tanpa merasa takut di jalan Allah cercaan orang yang mencerca.” (HR. Al Bukhariy (7200) dan Muslim (1709)).

Dan jihad Muslimin yang paling agung pada hari ini adalah jihad dengan lisan dan pena terhadap seluruh pelaku kebatilan, sesuai dengan sarana yang memungkinkan.
-------------------

Kedua Belas: Membantah ahli batil

Sungguh bantahan terhadap pengekor hawa nafsu dan kebid’ahan, serta memperingatkan umat dari mereka itu termasuk ibadah dan jihad yang terbesar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: "Dan seperti para pemimpin kebid'ahan dari kalangan pemilik ucapan-ucapan yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka, dan memperingatkan umat terhadap mereka adalah wajib, dengan kesepakatan muslimin. Sampai dikatakan pada imam Ahmad bin Hanbal: "Seseorang yang berpuasa, shalat dan i'tikaf lebih Anda sukai ataukah orang yang berbicara tentang ahlul bida'?" Maka beliau menjawab,"Jika dia berpuasa, shalat dan i'tikaf, maka hanyalah hal itu untuk dirinya sendiri. Tapi jika dia berbicara tentang ahlul bida' maka itu hanyalah untuk muslimin, dan itu lebih utama." Maka beliau menerangkan bahwasanya manfaat amalan yang ini mencakup seluruh muslimin di dalam agama mereka, dari jenis jihad fisabilillah."  ("Majmu'ul Fatawa" 28/hal. 231-232).

Beliau رحمه الله juga berkata : "Maka orang yang membantah ahlul bida' adalah mujahid. Sampai-sampai Yahya bin Yahya berkata,"Pembelaan terhadap sunnah itu lebih utama daripada jihad."" ("Majmu'ul Fatawa"/4/hal. 12).

Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli رحمه الله berkata: "Aku mendengar Yahya bin Ma'in berkata,"Pembelaan terhadap sunnah itu lebih utama daripada jihad fi sabilillah." Maka kukatakan pada Yahya,"Orang itu (mujahid) menginfaqkan hartanya, membuat letih dirinya, dan berjihad. lalu orang ini (yang membela sunnah) lebih utama daripada dia!?" Beliau menjawab,"Iya, lebih utama banyak sekali." ("Siyar A'lam"/10/hal. 518).

Catatan: Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله memasukkan atsar ini ke dalam biografi Yahya bin Yahya, wallahu a’lam.

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata tentang ahlul bid'ah: "Maka menyingkap kebatilan mereka dan menjelaskan pembongkaran aib-aib mereka serta kerusakan kaidah-kaidah mereka termasuk jihad fi sabilillah yang paling utama. Nabi ﷺ telah bersabda kepada Hassan bin Tsabit رضي الله عنه:

«إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ مَعَكَ مَا دُمْتَ تُنَافِحُ عَنْ رَسُوْلِهِ».

“Sesungguhnya Ruhul Quds bersamamu selama engkau membela Rasul-Nya.”
Juga bersabda:

«أَهْجِهِمْ أَوْ هَاجِهِمْ وَجِبْرِيْلُ مَعَكَ».

“Serang mereka dengan syair, atau balas serangan syair mereka, dan Jibril bersamamu.”

Juga bersabda:

«اللّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوْحِ الْقُدُسِ مَا دَامَ يُنَافِحُ عَنْ رسولِكَ».
“Ya Allah, dukunglah dia dengan Ruhul Quds selama dia membela Rasul-Mu.”

Beliau juga bersabda tentang serangan syair Hassan رضي الله عنه:

«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ فِيْهِمْ مِنَ النَّبْلِ».

“Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, benar-benar itu lebih keras bagi mereka daripada panah.”

Dan bagaimana penjelasan itu tadi tidak termasuk dari jihad fi sabilillah?”
(Selesai dari "Shawa'iqul Mursalah" /1/hal. 114/cet. Maktabatur Rusyd).

Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmiy رحمه الله berkata: “Dan Syaikhul Islam telah menukilkan ijma’ terhadap hal itu: bahwasanya orang yang membantah ahli bid’ah dengan maksud untuk membela agama, dan pembersihan agama dari apa yang bukan dari agama, bahwasanya yang demikian terhitung sebagai jihad fi sabillah dan penjagaan syariatnya, …dst.” (“Ar Raddul Muhabbir”/An Najmiy/hal. 138/cet. Darul Minhaj).
-------------------


Ketiga Belas: Menuntut ilmu syar’iy

Tidaklah Allah عز وجل ditauhidkan dengan kebodohan, dan tidak pula Rasul ﷺ diikuti dengan kebodohan. Demikian pula tiada seorangpun yang selamat dari kesyirikan dan kebid’ahan kecuali dengan ilmu. Maka kita harus memperkuat kaki kita dengan kekokohan ilmu.

Allah ta’ala berfirman:
﴿وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾ [التوبة/122].

“Dan tidak selayaknya kaum mukminin itu berangkat perang semuanya. Kenapa tidak berangkat sekelompok orang dari setiap golongan dari mereka untuk memahami agama, dan agar memberikan peringatan pada kaum mereka jika mereka telah kembali kepada mereka agar mereka berhati-hati?”

Allah ta’ala berfirman:
﴿وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾ [طه/114].

“Dan katakanlah: Wahai Robbku, tambahilah saya ilmu.”

Dalil-dalil tentang bab ini banyak dan telah dikenal, hanya sahaja saya ingin sedikit mengingatkan. Allah ta’ala berfirman:

﴿فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالله يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ﴾ [محمد/19].

“Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Allah, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Dan Allah itu mengetahui tempat berbolak-baliknya kalian dan tempat tinggal kalian.”

Al Imam Al Bukhariy رحمه الله berkata: Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

﴿فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الله﴾ [محمد/19].

“Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Allah”
Maka Allah memulai dengan ilmu. Dan bahwasanya para ulama itulah pewaris para Nabi –mewarisi ilmu- barangsiapa mengambilnya, mengambil bagian yang banyak. Dan barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan untuknya jalan ke Jannah. Dan Allah جل ذكره berfirman:

﴿إِنَّمَا يَخْشَى الله مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء﴾ [فاطر/28].

“Yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-Nya hanyalah para ulama.”

Dan berfirman:
﴿وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ﴾ [العنكبوت: 43].

“Dan tidaklah memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”

Dan berfirman:
﴿وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِير﴾ [الملك: 10].

“Dan mereka berkata: seandainya dulu kami mendengar atau memahami, niscaya kami tidak menjadi penghuni Neraka Sa’ir.”

Dan berfirman:
﴿قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُون﴾ [الزمر: 9].

“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Dan Nabi ﷺ bersabda:
«من يرد الله به خيرا يفقهه فى الدين».

“Dan barangsiapa Allah kehendaki dengannya kebaikan, Allah akan memahamkannya tentang agama ini.” [HR. Al Bukhariy (71) dan Muslim (1037) dari Mu’awiyah رضي الله عنه].

Dan bersabda:
«وإنما العلم بالتعلّم» اهـ.

“Hanyalah ilmu itu didapatkan dengan cara belajar.”
Selesai dari ucapan Al Imam Al Bukhariy dalam “Shahih” beliau (hal. 30/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Maka orang yang sempurna adalah orang yang menjadikan ilmu sebagai hakim terhadap keadaan, lalu dia bertindak dalam keadaannya itu dengan ilmunya, dan menjadikan ilmu pada posisi cahaya yang dengannya dia membedakan mana yang shahih dan mana yang rusak.” (“Badai’ul Fawaid”/2/hal. 192/cet. Darul Kutubil ‘Arabiy).

Dan termasuk dari pendekatan diri kepada Allah yang paling agung adalah: menuntut ilmu syar’iy.

Al Imam Sufyan Ats Tsauriy رحمه الله berkata: “Saya tidak mengetahui sesuatu yang lebih utama daripada menuntut ilmu, dengan ada niat (yang ikhlas –pen).” (Sebagaimana dalam “Siyar A’lamin Nubala”/Adz Dzahabiy/7/hal. 244).

Al Imam Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Menuntut ilmu itu lebih utama daripada shalat sunnah.” (“Adabusy Syafi’iy Wa Manaqibuh”/Ibnu Abi Hatim/hal. 72/ sanadnya shahih).

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Sisi ke seratus delapan: sesungguhnya kebanyakan para imam telah terang-terangan menyatakan bahwasanya amalan yang paling utama setelah perkara yang wajib-wajib adalah mencari ilmu. Asy Syafi’iy berkata: “Tiada sesuatu setelah kewajiban-kewajiban yang lebih utama daripada menuntut ilmu.” Dan inilah yang disebutkan oleh para pengikut beliau dari beliau bahwasanya itu adalah madzhabnya. Dan demikian juga perkataan Sufyan Ats Tsauriy, dan dihikayatkan oleh para hanafiyyah dari Abu Hanifah.

Adapun Al Imam Ahmad maka dihikayatkan dari beliau tiga riwayat: salah satunya: yang paling utama setelah kewajiban adalah mencari ilmu, karena ditanyakan pada beliau: apa yang lebih Anda sukai: “Saya duduk di malam hari menyalin (menulis kembali ilmu) ataukah saya shalat sunnah?” Beliau menjawab: “Penyalinan yang engkau lakukan yang dengannya engkau jadi tahu urusan agamamu, maka itu lebih aku sukai.” Dan Al Khallal menyebutkan dari beliau dalam “Kitabul Ilm” nash-nash yang banyak tentang pengutamaan ilmu. Dan termasuk dari ucapan beliau juga: “Manusia itu lebih perlu kepada ilmu daripada keperluan mereka pada makan dan minum.”…(dan seterusnya).” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 150/cet. Al Maktabatul ‘Ashriyyah).

Al Imam Ibnu Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Dan hanyalah menuntut ilmu itu dijadikan sebagai bagian dari jalan Allah karena dengan itulah tegaknya Islam, sebagaimana tegaknya Islam adalah dengan jihad. Maka tegaknya agama ini adalah dengan ilmu dan jihad. Maka dari itu jihad ada dua jenis: jihad dengan tangan dan tombak, dan yang bersekutu di dalamnya banyak orang.
Yang kedua adalah: jihad dengan hujjah dan keterangan. Dan itu adalah jihad orang yang khusus dari para pengikut Rasul. Dan itu adalah jihadnya para imam, dan itu adalah jihad yang paling utama karena keagungan manfaatnya, beratnya bebannya dan banyaknya musuh-musuhnya. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al Furqan ,dan dia adalah surat yang turun di Mekkah:

﴿فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا ﴾ [الفرقان: 52].

“Maka janganlah engkau menaati orang-orang kafir, dan perangilah mereka dengan peperangan yanng besar.”

Maka ini adalah peperangan terhadap mereka dengan menggunakan Al Qur’an. Dan itu adalah perang melawan para munafikin juga, karena para munafikin itu dulu tidak memerangi kaum Muslimin, bahkan mereka menyertai kaum Muslimin secara lahiriyah, dan terkadang mereka memerangi musuh Muslimin bersama Muslimin. Sekalipun demikian Allah ta’ala telah berfirman:

﴿يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ﴾ [التوبة: 73] و]التحريم: 9[.

“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafik, dan bersikap keraslah engkau kepada mereka.”

Dan telah diketahui bersama bahwasanya memerangi para munafik itu adalah dengan hujjah dan Al Qur’an.
Dan maksud saya adalah: bahwasanya jalan Allah adalah jihad dan menuntut ilmu, dan mengajak para makhluk kepada Allah.”
(Selesai dari “Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 70).

Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله berkata: “Ini adalah masalah yang diperselisihkan: apakah menuntut ilmu itu lebih utama, ataukah shalat sunnah, bacaan Al Qur’an dan dzikir? Adapun orang yang ikhlas karena Allah di dalam menuntut ilmu dan benaknya bagus; maka ilmu itu lebih utama. Akan tetapi hal itu harus disertai dengan shalat dan ibadah.

Namun jika engkau melihatnya bersemangat dalam menuntut ilmu tanpa mau melakukan pendekatan-pendekatan diri pada Allah; maka orang ini adalah pemalas yang hina, dan dia bukanlah orang yang jujur di dalam niatnya.
Adapun orang yang mencari hadits dan fiqih untuk suatu kesesatan dan cinta yang bersifat kejiwaan (bukan karena cinta pada Allah dan kebenaran –pen), maka ibadah itu lebih utama untuk dirinya. Bahkan tidaklah ada istilah “Lebih utama” di antara dua amalan tadi.
Dan ini tadi adalah pembagian secara umum, dan –demi Allah- jarang sekali engkau melihat seseorang itu ikhlas dalam menuntut ilmu.”
(Selesai dari “Siyar A’lamin Nubala”/7/hal. 167).

Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbaliy رحمه الله berkata: “Dan demikian pula mempelajari ilmu yang  bermanfaat dan mengajarkannya; hal itu lebih utama daripada berpuasa. Para imam yang empat telah menetapkan bahwasanya menuntut ilmu itu lebih utama daripada shalat sunnah, dan shalat itu lebih utama daripada puasa sunnah. Maka lebih-lebih lagi: jadilah ilmu itu lebih utama daripada puasa, karena ilmu itu adalah lentera yang dengan itu diperolehlah penerangan did alam gelapnya kebodohan dan hawa nafsu.  Maka barangsiapa berjalan di suatu rute tanpa lentera, tidaklah aman untuk dirinya terjatuh ke dalam sumur yang membinasakan sehingga diapun hancur.” (“Lathaiful Ma’arif”/hal. 138).

Al Imam Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy رحمه الله dalam tafsir firman Allah ta’ala:

﴿وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ الله لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ﴾.

"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhoan Kami, pastilah Kami akan memberi mereka petunjuk kepada jalan-jalan keridhoan Kami, dan sesungguhnya Allah itu benar-benar bersama dengan orang yang berbuat ihsan." (QS. Al 'Ankabut 67)

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhoan Kami” mereka itu adalah orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, melawan musuh-musuh mereka, mencurahkan kesungguhan mereka dalam mengikuti keridhoan-Nya “pastilah Kami akan memberi mereka petunjuk kepada jalan-jalan keridhoan Kami” yaitu: jalan-jalan yang menyampaikan kepada Kami. Dan yang demikian itu dikarenakan mereka itu adalah orang-orang yang berbuat ihsan. “Dan sesungguhnya Allah itu benar-benar bersama dengan orang yang berbuat ihsan” dengan pertolongan, kemenangan dan hidayah. Ini menunjukkan bahwasanya orang yang paling layak mencocoki kebenaran adalah ahli jihad.

Dan ini juga menunjukkan bahwasanya barangsiapa berbuat baik terhadap apa yang diperintahkan, Allah akan menolongnya dan memudahkan untuknya sebab-sebab hidayah. Dan ini juga menunjukkan bahwasanya barangsiapa bersungguh-sungguh dan bekerja keras dalam mencari ilmu syar’iy, maka sesungguhnya dia akan mendapatkan hidayah dan pertolongan untuk mendapatkan apa yang dicarinya, dengan perkara-perkara ilahiyyah yang di luar dari apa yang boleh dicapai oleh kerja kerasnya, dan mudahlah baginya urusan ilmu, karena sesungguhnya menuntut ilmu syar’iy merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Bahkan dia itu salah satu dari dua jenis jihad, yang tidak mampu ditegakkan kecuali oleh makhluk-makhluk yang khusus, yaitu jihad dengan ucapan dan lisan, terhadap orang-orang kafir dan munafiqin, dan jihad untuk mengajarkan urusan agama, dan untuk menolak penyelisihan orang-orang yang menyelisihi kebenaran, sekalipun mereka adalah dari kalangan muslimin.” (“Taisirul Karimir Rahman”/hal. 763/cet. Dar Ihyait Turatsil ‘Arabiy).

Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata: “Allah سبحانه وتعالى telah memuji ilmu dan ahli ilmu, dan mendorong para hamba-Nya untuk mencari ilmu dan menambah bekal darinya. Demikian pula sunnah yang suci. Maka ilmu adalah termasuk amal shalih yang paling utama, dan dia itu termasuk ibadah yang paling utama dan paling agung, ibadah tathawwu’, karena dia itu adalah satu jenis dari jihad fi sabilillah, karena sesungguhnya agama Allah عز وجل hanyalah tegak dengan dua perkara: yang pertama: ilmu dan burhan. Yang kedua: peperangan dan tombak. Kedua perkara ini harus ada. Dan tidak mungkin agama Allah tegak dan menang kecuali dengan keduanya secara bersamaan. Yang pertama lebih didahulukan daripada yang kedua. Oleh karena itulah dulu Nabi ﷺ tidak menyerang mendadak terhadap suatu kaum hingga dakwah ilallah عز وجل itu sampai pada mereka, sehingga jadilah ilmu itu mendahului peperangan.” (“Kitabul ‘Ilm”/pasal kedua/hal. 13/cet. Daruts Tsurayya).

Syaikh kami Al Muhaddits Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله berkata: “Tidak ada di sana jihad yang lebih bermanfaat daripada ilmu, pada zaman-zaman ini.” (faidah ini dicatat pada tanggal 23 Sya’ban 1430 H).
-------------------

(“Ightinamul Furshati Min ‘Asyri Dzil Hijjah”, | Judul Terjemahan: “10 Hari di awal  Dzulhijjah Bernilai Tinggi Dalam Ibadah ” | Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Indonesiy)
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy
Diberdayakan oleh Blogger.