Faidah kelima (dari syariat Hajr /Boikot)
Faidah kelima (dari syariat Hajr /Boikot): ini adalah faidah yang kembali kepada si pemboikot yang mengetahui syubuhat (kerancuan- kerancuan) si penyeleweng tadi, yaitu: agar dirinya tidak tertulari oleh syubuhat tadi yang akan menyebabkan rusaknya agamanya setelah sebelumnya dia itu adalah orang shalih.
Untuk pemesanan klik gambar |
Dan atsar-atsar tentang itu telah dikenal.
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Para ulama telah bersepakat bahwasanya seorang Muslim tidak boleh memboikot saudaranya lebih dari tiga hari, kecuali jika pembicaraan dan perhubungan dengannya itu dikhawatirkan akan merusak agamanya atau menyebabkan bahaya terhadap dirinya dari sisi agamanya atau dunianya. Maka telah diperbolehkan baginya untuk menjauhinya. Terkadang pemboikotan yang bagus itu lebih baik daripada percampuran yang mengganggu.” (“At Tamhid”/6/hal. 127).
Dari Asma bin Kharijah رحمه الله yang bercerita: Ada dua orang dari kalangan ahli ahwa yang masuk menemui Muhammad bin Sirin seraya berkata: "Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan hadits padamu?" beliau mejawab: "Tidak boleh." Lalu keduanya berkata: "Maka kami akan membacakan padamu satu ayat dari Kitabullah عز وجل". Maka beliau menjawab: "Tidak boleh. Kalian yang pergi dari sisiku, atau aku yang akan pergi." (Diriwayatkan Al Ajurriy رحمه الله dalam "Asy Syari’ah" no. (113)/ cet. Darul Kitabil ‘Arabiy dan dishahihkan Syaikhuna Abu Amr Al Hajuriy حفظه الله).
Dari Mufadhdhal bin Muhalhil رحمه الله yang berkata: "Andaikata pelaku kebid’ahan jika engkau duduk di sisinya, dia menyampaikan kebid ‘ahannya, pastilah engkau akan menghindar darinya dan lari darinya. Akan tetapi dia akan menyampaikan hadits-hadits sunnah di permulaan majelisnya, lalu memasukkan kepadamu kebid’ahannya. Maka boleh jadi kebid’ahan itu akan bercokol di hatimu. Maka bilakah kebid’ahan itu akan keluar dari hatimu ?" ("Al Ibanatul Kubra"/karya Al Imam Ibnu Baththah رحمه الله/no. (399)/cet. Al Faruqul Haditsiyyah/sanad hasan).
Imam Al Barbahariy رحمه الله berkata: “Permisalan ahli bid’ah itu seperti kalajengking, mereka memendam kepalanya dalam tanah sambil mengeluarkan ekornya. Jika sudah memungkinkan, maka mereka akan menyengat. Demikian pula ahlul bida’, mereka bersembunyi di antara manusia. Jika sudah memungkinkan, maka mereka akan melancarkan apa yang mereka inginkan.” (“Thabaqatul Hanabilah”/ 2/hal. 44/biografi Al Imam Hasan bin Ali Al Barbahariy/Darul Ma’rifah).
Dari Imran bin Hushain رضي الله عنهما yang berkata: Rasulullah صلى الله وعليه وسلم bersabda:
«مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ، فَوَاللهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِيْهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتْبَعُهُ مِمَّا يَبْعَثُ بِهِ مِنَ الشُّبُهَاتِ أَوْ لِمَا يَبْعَثُ بِهِ مِنَ الشُّبُهَاتِ».
“Barangsiapa mendengar datangnya dajjal maka hendaknya dia menjauh darinya. Karena demi Allah, sesungguhnya ada orang yang mendatangi dajjal dalam keadaan dia mengira dirinya itu mukmin, lalu dia mengikuti dajjal itu dikarenakan syubhat-syubhat yang dibangkitkan oleh dajjal.” (HR. Al Imam Ahmad (19875) dan Abu Dawud (4311) dan dishahihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shahihul Musnad” (1019)).
Setelah menyebutkan hadits ini Al Imam Ibnu Baththah رحمه الله berkata: “Ini adalah sabda Rasul ﷺ dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan. Maka demi Allah wahai kaum Muslimin, jangan sampai baik sangka salah seorang dari kalian terhadap dirinya sendiri dan terhadap keshahihan madzhabnya yang diketahuinya membawa dirinya untuk melakukan taruhan dengan agamanya, dengan duduk-duduk dengan para pengekor hawa nafsu, lalu berkata: “Aku akan masuk kepadanya untuk melakukan diskusi dengannya, atau akan kukeluarkan darinya madzhabnya.” Karena sesungguhnya ahli hawa itu lebih besar fitnahnya daripada dajjal. Ucapan mereka lebih lengket daripada kurap, dan lebih membakar hati daripada gejolak api. Sungguh aku telah melihat sekelompok orang yang dulunya melaknati ahli hawa, mencaci mereka. Lalu mereka duduk-duduk dengan mereka untuk mengingkari mereka dan membantah mereka.
Terus-menerus berlangsung ramah-tamah di antara mereka, makar tersembunyi, dan halusnya kekufuran tersamarkan hingga akhirnya orang-orang tadi masuk ke madzhab ahli hawa tadi.” (“Al Ibanatul Kubra”/di bawah no. 480).
Dan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan رضي الله عنهما yang berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوْا فِي دِيْنِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً -يَعْنِي الْأَهْوَاءَ-، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ اْلجَمَاعَةُ. وَأَنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمٌ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلَبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مِفْصَلٌ إِلَّا دَخَلَهُ».
“Sesungguhnya Ahlul Kitabain –Taurat dan Injil- telah tercerai-berai dalam agama mereka menjadi tujuh puluh dua agama. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga agama –yaitu hawa nafsu-. Semuanya di dalam Neraka kecuali satu, yaitu Al Jama’ah. Dan bahwasanya akan keluarlah di dalam umatku kaum-kaum yang dijalari oleh hawa-hawa nafsu tadi, sebagaimana penyakit anjing gila menjalari korbannya. Tidaklah tersisa darinya satu uratpun dan satu persendianpun kecuali dia akan memasukinya.” (HR. Ahmad ((16937)/Ar Risalah/sanadnya hasan).
Al Allamah Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Dan penjelasan tentang hal itu adalah: bahwasanya penyakit rabies (anjing gila –pen) memiliki keserupaan dengan penyakit menular, karena asal rabies adalah berlaku pada anjing, kemudian jika anjing tadi menggigit seseorang jadilah dia itu semisal dengannya, dan biasanya dia tidak mampu untuk memisahkan diri darinya kecuali dengan kematian. Maka demikian pula seorang ahli bid’ah jika dirinya mendatangkan pemikirannya dan kerumitannya kepada orang lain; sedikit sekali orang yang selamat dari bahayanya. Bahkan boleh jadi dia akan terjerumus bersamanya ke dalam madzhabnya dan menjadi termasuk dari pengikutnya, dan boleh jadi pula akan menetap di dalam jantungnya keraguan, yang mana dia berhasrat untuk melepaskan diri darinya namun tidak mampu.
Itu berbeda dengan maksiat-maksiat yang lainnya, karena sesungguhnya biasanya pelakunya tidak membahayakan pemikiran orang lain, dan tidak menjerumuskannya ke dalamnya, kecuali setelah persahabatan yang panjang, keakraban dengannya dan terbiasa menghadiri maksiatnya.
(Bersambung In syaa Allah)
Dan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan رضي الله عنهما yang berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوْا فِي دِيْنِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً -يَعْنِي الْأَهْوَاءَ-، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ اْلجَمَاعَةُ. وَأَنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمٌ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلَبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مِفْصَلٌ إِلَّا دَخَلَهُ».
“Sesungguhnya Ahlul Kitabain –Taurat dan Injil- telah tercerai-berai dalam agama mereka menjadi tujuh puluh dua agama. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga agama –yaitu hawa nafsu-. Semuanya di dalam Neraka kecuali satu, yaitu Al Jama’ah. Dan bahwasanya akan keluarlah di dalam umatku kaum-kaum yang dijalari oleh hawa-hawa nafsu tadi, sebagaimana penyakit anjing gila menjalari korbannya. Tidaklah tersisa darinya satu uratpun dan satu persendianpun kecuali dia akan memasukinya.” (HR. Ahmad ((16937)/Ar Risalah/sanadnya hasan).
Al Allamah Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Dan penjelasan tentang hal itu adalah: bahwasanya penyakit rabies (anjing gila –pen) memiliki keserupaan dengan penyakit menular, karena asal rabies adalah berlaku pada anjing, kemudian jika anjing tadi menggigit seseorang jadilah dia itu semisal dengannya, dan biasanya dia tidak mampu untuk memisahkan diri darinya kecuali dengan kematian. Maka demikian pula seorang ahli bid’ah jika dirinya mendatangkan pemikirannya dan kerumitannya kepada orang lain; sedikit sekali orang yang selamat dari bahayanya. Bahkan boleh jadi dia akan terjerumus bersamanya ke dalam madzhabnya dan menjadi termasuk dari pengikutnya, dan boleh jadi pula akan menetap di dalam jantungnya keraguan, yang mana dia berhasrat untuk melepaskan diri darinya namun tidak mampu.
Itu berbeda dengan maksiat-maksiat yang lainnya, karena sesungguhnya biasanya pelakunya tidak membahayakan pemikiran orang lain, dan tidak menjerumuskannya ke dalamnya, kecuali setelah persahabatan yang panjang, keakraban dengannya dan terbiasa menghadiri maksiatnya.
(Bersambung In syaa Allah)
Dan telah datang di dalam atsar-atsar yang menunjukkan kepada makna ini, karena sesungguhnya para Salafush Shalih melarang untuk duduk-duduk dengan para mubtadi’ah dan berbicara dengan mereka, dan melarang untuk berbicara dengan orang yang berbicara dengan mubtadi’ah, dan para Salaf bersikap sangat keras terhadap yang demikian tadi.”
(Selesai dari “Al I’tisham”/hal. 490).
Dan dengan penjelasan yang bersifat Salafiy ini menjadi jelaslah akan pendeknya pandangan orang yang membatasi hikmah pemboikotan terhadap mubtadi’ah itu hanya bagaikan obat kepada orang sakit, kemudian jika obat itu tidak manjur maka obatnya wajib dirubah, sehingga tidak boleh si mubtadi’ tadi diboikot.
Apakah mereka tidak melihat bahwasanya orang yang terkena penyakit menular itu tidak boleh didekati oleh orang-orang yang sehat, sama saja obat karantina tadi manjur ataukah tidak bagi si sakit?!
Dari Abu Hurairah رضي الله yang memberikan hadits bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا عَدْوَى». وقال: «لَا يُوْرَدُ اْلمُمْرِضُ عَلَى اْلمُصِحَّ».
"Tiada penularan dengan sendirinya". Dan bersabda: "Tidak boleh yang sakit didatangkan kepada yang sehat." (HR. Al Bukhariy (5771) dan Muslim (2221)).
Syaikhul Islam رحمه الله ditanya tentang orang yang sedang terkena bencana (sakit) tinggal di suatu rumah di antara kaum yang sehat, maka sebagian dari mereka berkata: "Tidak memungkinkan bagi kami berdampingan denganmu, dan tidak selayaknya engkau berdampingan dengan orang sehat." Maka apakah boleh dia dikeluarkan?
Maka beliau menjawab: "Iya, mereka boleh melarangnya untuk tinggal di antara orang-orang sehat, karena Nabi ﷺ bersabda:
«لَا يُوْرَدُ اْلمُمْرِضُ عَلَى اْلمُصِحَّ».
"Tidak boleh yang sakit didatangkan kepada yang sehat."
Maka beliau melarang pemilik onta-onta yang sakit untuk mendatangkannya kepada pemilik onta-onta yang sehat, bersamaan dengan sabda beliau:
«لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ».
"Tiada penularan dengan sendirinya, tidak boleh ada ramalan nasib sial."
Demikian pula diriwayatkan bahwasanya beliau ketika orang yang terkena penyakit lepra tiba untuk membai'at beliau, beliau mengirimkan utusan kepadanya dengan bai'at, dan tidak mengidzinkannya masuk ke Madinah."
(Selesai dari "Majmu'ul Fatawa"/24/hal. 284-285).
Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Pasal tentang jalan Nabi ﷺ untuk menjaga diri dari penyakit-penyakit yang menular secara tabiat, dan dalam bimbingan beliau kepada orang-orang sehat untuk menjauhi orang-orang sakit menular. Telah tetap dalam "Shahih Muslim" dari hadits Jabir bin Abdillah bahwasanya dulu di antara delegasi Tsaqif ada seseorang yang terkena sakit lepra, maka Nabi ﷺ mengirimkan utusan padanya untuk menyampaikan sabdanya: "Kembalilah, kami telah membai'at engkau." ("Zadul Ma'ad"/4/hal. Dan dari Ummu Salamah ﷺ yang berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي مُخَنَّثٌ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا عَبْدَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ فَتَحَ اللهُ عَلَيْكُمْ الطَّائِفَ غَدًا؟ فَعَلَيْكَ بِابْنَةِ غَيْلَانَ، فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ. وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ ».
"Nabi ﷺ masuk menemuiku dan di sisiku ada seorang banci (bencong, pondan –pen). Lalu aku mendengar si banci itu berkata pada Abdullah bin Abi Umayyah (saudara Ummu Salamah): "Wahai Abdullah, bagaimana pendapatmu jika Allah membukakan kota Thaif untuk kalian besok? Engkau harus mengambil Bintu Ghailan, karena anak perempuan itu menghadap dengan empat sisi dan membelakangi dengan delapan sisi (menggambarkan kecantikan badannya)." Dan Nabi ﷺ bersabda: "Jangan sekali-kali si banci ini masuk menemui kalian (wahai para wanita)." (HR. Al Bukhariy (4324) dan Muslim (2180)).
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: "Dan di dalam hadits-hadits ini ada dalil tentang disyariatkannya mengeluarkan setiap orang yang bisa menimbulkan gangguan pada manusia dari tempatnya sampai dia rujuk dari perbuatan itu atau bertobat." ("Fathul Bari"/10/hal. 334).
(Selesai dari “Al I’tisham”/hal. 490).
Dan dengan penjelasan yang bersifat Salafiy ini menjadi jelaslah akan pendeknya pandangan orang yang membatasi hikmah pemboikotan terhadap mubtadi’ah itu hanya bagaikan obat kepada orang sakit, kemudian jika obat itu tidak manjur maka obatnya wajib dirubah, sehingga tidak boleh si mubtadi’ tadi diboikot.
Apakah mereka tidak melihat bahwasanya orang yang terkena penyakit menular itu tidak boleh didekati oleh orang-orang yang sehat, sama saja obat karantina tadi manjur ataukah tidak bagi si sakit?!
Dari Abu Hurairah رضي الله yang memberikan hadits bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا عَدْوَى». وقال: «لَا يُوْرَدُ اْلمُمْرِضُ عَلَى اْلمُصِحَّ».
"Tiada penularan dengan sendirinya". Dan bersabda: "Tidak boleh yang sakit didatangkan kepada yang sehat." (HR. Al Bukhariy (5771) dan Muslim (2221)).
Syaikhul Islam رحمه الله ditanya tentang orang yang sedang terkena bencana (sakit) tinggal di suatu rumah di antara kaum yang sehat, maka sebagian dari mereka berkata: "Tidak memungkinkan bagi kami berdampingan denganmu, dan tidak selayaknya engkau berdampingan dengan orang sehat." Maka apakah boleh dia dikeluarkan?
Maka beliau menjawab: "Iya, mereka boleh melarangnya untuk tinggal di antara orang-orang sehat, karena Nabi ﷺ bersabda:
«لَا يُوْرَدُ اْلمُمْرِضُ عَلَى اْلمُصِحَّ».
"Tidak boleh yang sakit didatangkan kepada yang sehat."
Maka beliau melarang pemilik onta-onta yang sakit untuk mendatangkannya kepada pemilik onta-onta yang sehat, bersamaan dengan sabda beliau:
«لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ».
"Tiada penularan dengan sendirinya, tidak boleh ada ramalan nasib sial."
Demikian pula diriwayatkan bahwasanya beliau ketika orang yang terkena penyakit lepra tiba untuk membai'at beliau, beliau mengirimkan utusan kepadanya dengan bai'at, dan tidak mengidzinkannya masuk ke Madinah."
(Selesai dari "Majmu'ul Fatawa"/24/hal. 284-285).
Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Pasal tentang jalan Nabi ﷺ untuk menjaga diri dari penyakit-penyakit yang menular secara tabiat, dan dalam bimbingan beliau kepada orang-orang sehat untuk menjauhi orang-orang sakit menular. Telah tetap dalam "Shahih Muslim" dari hadits Jabir bin Abdillah bahwasanya dulu di antara delegasi Tsaqif ada seseorang yang terkena sakit lepra, maka Nabi ﷺ mengirimkan utusan padanya untuk menyampaikan sabdanya: "Kembalilah, kami telah membai'at engkau." ("Zadul Ma'ad"/4/hal. Dan dari Ummu Salamah ﷺ yang berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي مُخَنَّثٌ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا عَبْدَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ فَتَحَ اللهُ عَلَيْكُمْ الطَّائِفَ غَدًا؟ فَعَلَيْكَ بِابْنَةِ غَيْلَانَ، فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ. وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ ».
"Nabi ﷺ masuk menemuiku dan di sisiku ada seorang banci (bencong, pondan –pen). Lalu aku mendengar si banci itu berkata pada Abdullah bin Abi Umayyah (saudara Ummu Salamah): "Wahai Abdullah, bagaimana pendapatmu jika Allah membukakan kota Thaif untuk kalian besok? Engkau harus mengambil Bintu Ghailan, karena anak perempuan itu menghadap dengan empat sisi dan membelakangi dengan delapan sisi (menggambarkan kecantikan badannya)." Dan Nabi ﷺ bersabda: "Jangan sekali-kali si banci ini masuk menemui kalian (wahai para wanita)." (HR. Al Bukhariy (4324) dan Muslim (2180)).
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: "Dan di dalam hadits-hadits ini ada dalil tentang disyariatkannya mengeluarkan setiap orang yang bisa menimbulkan gangguan pada manusia dari tempatnya sampai dia rujuk dari perbuatan itu atau bertobat." ("Fathul Bari"/10/hal. 334).
Kemudian sesungguhnya jika ada salah satu dari anggota badan itu sakit, dan obat-obatan tidak lagi manjur; dokter yang pakar tidak akan mengatakan: “Kita biarkan saja bagian ini bersama anggota badan yang lainnya”, kemudian penyakit tadi menjalari seluruh anggota badan satu persatu sampai binasalah jasad tadi. Bahkan dokter pakar yang berakal tatkala sudah berputus asa dari kesembuhan anggota badan tadi, dia akan berkata:
“Bagian tadi wajib untuk dipotong demi keselamatan bagian badan yang lainnya.”
Itu adalah perkara yang telah dikenal di dalam kedokteran, pertanian dan yang lainnya, di dalam urusan agama dan dunia.
Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Maka lihatlah orang yang memanami suatu kebun dari kebun-kebun yang ada, yang dia itu ahli bercocok tanam, menanami kebun, merawatnya dengan pengairan dan perbaikan, hingga pepohonannya itu berbuah, lalu petani ini memisahkan urat-uratnya, memotongi dahan-dahannya, karena dia tahu bahwasanya jika dibiarkan sesuai keadaannya itu maka buahnya tidak bagus. Dia memberinya makan (sistem menyambung atau menempel) dari pohon yang buahnya bagus, sampai jika pohon yang ini telah menempel dengan pohon yang itu, dan menyatu, serta memberikan buahnya, si petani mendatanginya dengan alat potongnya, dia memotongi dahan-dahannya yang lemah yang bisa menghilangkan kekuatan pohon itu, dan menimpakan padanya sakitnya dipotong dan sakitnya kena besi demi kemaslahatan dan kesempurnaan pohon itu, agar menjadi baiklah buahnya untuk dihadirkan kepada para raja.
Kemudian si petani tidak membiarkan pohon tadi mengikuti tabiatnya untuk makan dan minum sepanjang waktu, bahkan di suatu waktu dia membikinnya haus, dan di waktu yang lain dia memberinya minum, dan tidak membiarkan air senantiasa menggenanginya sekalipun yang demikian itu membikin daunnya lebih hijau dan lebih mempercepat tumbuhnya. Kemudian dia menuju ke pada hiasan tersebut yang dengannya pohon tadi berhias, yaitu dedaunannya, dia membuang banyak sekali dari hiasannya tadi karena hiasannya itu menghalangi kesempurnaan kematangan buah dan kesetimbangannya sebagaimana di pohon anggur dan semisalnya. Dia memotong bagian-bagiannya dengan besi dan membuang banyak hiasannya. Dan yang demikian itu adalah benar-benar kemaslahatan untuk pohon itu. Seandainya pohon itu punya indra pembeda dan alat pengetahuan seperti hewan, pastilah dia akan menduga bahwasanya perlakuan tadi merusak dirinya dan membahayakan dirinya, padahal itu benar-benar kemaslahatan untuk dirinya.
Demikian pula seorang bapak yang berbelas kasihan pada anaknya, yang tahu akan kemaslahatan anaknya, jika dia melihat kemaslahatannya itu ada pada pengeluaran darah yang rusak dari badannya, sang bapak akan melukai kulitnya dan memotong uratnya serta menimpakan padanya rasa yang sangat sakit. Dan jika dia melihat kesembuhan sang anak ada pada pemotongan salah satu anggota badannya, dia akan memisahkan anggota badan tersebut darinya. Yang demikian itu adalah kasih sayang untuknya dan belas kasihan untuknya. Dan jika dia melihat bahwasanya kemaslahatan anaknya itu ada pada penahanan pemberian, dia tidak memberi anaknya dan tidak memperluas pemberian untuknya karena dia mengetahui bahwasanya hal itu adalah sebab terbesar bagi kerusakannya dan kebinasaannya."
(Selesai penukilan dari "Al Fawaid"/hal. 92).
Demikian pula si mubtadi’, dia itu di dalam masyarakat Muslimin bagaikan satu jasad.
An Nu'man bin Basyir رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَثَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ اْلجَسَدِ: إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ اْلجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَاْلحُمَّى «.
“Permisalan kaum Mukminin dalam sikap saling cinta, saling mengasihi dan saling menolong di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota badan mengeluh sakit, seluruh jasadpun akan ikut tidak bisa tidur dan menjadi demam.” (HR. Al Bukhariy (6011) dan Muslim (2586)).
“Bagian tadi wajib untuk dipotong demi keselamatan bagian badan yang lainnya.”
Itu adalah perkara yang telah dikenal di dalam kedokteran, pertanian dan yang lainnya, di dalam urusan agama dan dunia.
Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Maka lihatlah orang yang memanami suatu kebun dari kebun-kebun yang ada, yang dia itu ahli bercocok tanam, menanami kebun, merawatnya dengan pengairan dan perbaikan, hingga pepohonannya itu berbuah, lalu petani ini memisahkan urat-uratnya, memotongi dahan-dahannya, karena dia tahu bahwasanya jika dibiarkan sesuai keadaannya itu maka buahnya tidak bagus. Dia memberinya makan (sistem menyambung atau menempel) dari pohon yang buahnya bagus, sampai jika pohon yang ini telah menempel dengan pohon yang itu, dan menyatu, serta memberikan buahnya, si petani mendatanginya dengan alat potongnya, dia memotongi dahan-dahannya yang lemah yang bisa menghilangkan kekuatan pohon itu, dan menimpakan padanya sakitnya dipotong dan sakitnya kena besi demi kemaslahatan dan kesempurnaan pohon itu, agar menjadi baiklah buahnya untuk dihadirkan kepada para raja.
Kemudian si petani tidak membiarkan pohon tadi mengikuti tabiatnya untuk makan dan minum sepanjang waktu, bahkan di suatu waktu dia membikinnya haus, dan di waktu yang lain dia memberinya minum, dan tidak membiarkan air senantiasa menggenanginya sekalipun yang demikian itu membikin daunnya lebih hijau dan lebih mempercepat tumbuhnya. Kemudian dia menuju ke pada hiasan tersebut yang dengannya pohon tadi berhias, yaitu dedaunannya, dia membuang banyak sekali dari hiasannya tadi karena hiasannya itu menghalangi kesempurnaan kematangan buah dan kesetimbangannya sebagaimana di pohon anggur dan semisalnya. Dia memotong bagian-bagiannya dengan besi dan membuang banyak hiasannya. Dan yang demikian itu adalah benar-benar kemaslahatan untuk pohon itu. Seandainya pohon itu punya indra pembeda dan alat pengetahuan seperti hewan, pastilah dia akan menduga bahwasanya perlakuan tadi merusak dirinya dan membahayakan dirinya, padahal itu benar-benar kemaslahatan untuk dirinya.
Demikian pula seorang bapak yang berbelas kasihan pada anaknya, yang tahu akan kemaslahatan anaknya, jika dia melihat kemaslahatannya itu ada pada pengeluaran darah yang rusak dari badannya, sang bapak akan melukai kulitnya dan memotong uratnya serta menimpakan padanya rasa yang sangat sakit. Dan jika dia melihat kesembuhan sang anak ada pada pemotongan salah satu anggota badannya, dia akan memisahkan anggota badan tersebut darinya. Yang demikian itu adalah kasih sayang untuknya dan belas kasihan untuknya. Dan jika dia melihat bahwasanya kemaslahatan anaknya itu ada pada penahanan pemberian, dia tidak memberi anaknya dan tidak memperluas pemberian untuknya karena dia mengetahui bahwasanya hal itu adalah sebab terbesar bagi kerusakannya dan kebinasaannya."
(Selesai penukilan dari "Al Fawaid"/hal. 92).
Demikian pula si mubtadi’, dia itu di dalam masyarakat Muslimin bagaikan satu jasad.
An Nu'man bin Basyir رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَثَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ اْلجَسَدِ: إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ اْلجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَاْلحُمَّى «.
“Permisalan kaum Mukminin dalam sikap saling cinta, saling mengasihi dan saling menolong di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota badan mengeluh sakit, seluruh jasadpun akan ikut tidak bisa tidur dan menjadi demam.” (HR. Al Bukhariy (6011) dan Muslim (2586)).
Tatkala anggota badan tadi mengalami penyakit dan mengeluh; seluruh anggota badan yang lain saling memanggil untuk melakukan perkara-perkara yang layak untuk mendatangkan pengobatannya dan kesembuhannya. Kemudian apabila penyakitnya sukar diobati dan tidak didapatkan obat untuknya, serta dikhawatirkan menjangkiti anggota badan yang lainnya, serta tidak didapatkan jalan selain memotongnya (karantina, pemutusan hubungan –pen), mestinya dia itu dipotong demi mengasihani kesehatan bagian badan yang lainnya.
Dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang berakal yang berkata: “Kita menyayangi bagian yang kasihan tadi, dan kita membiarkannya tetap bersama anggota-anggota badan yang sehat, sampai kita semua binasa.”
Maka keselamatan keumuman kaum Muslimin itu layak untuk didahulukan dan lebih utama untuk dipentingkan daripada keberadaan si mubtadi’, si penentang kebenaran yang bersikeras ada di atas kebatilan.
(Bersambung In syaa Allah)
----------------
(“Al Hajr Fisy Syari’atil Islamiyyah, Ahkamuhu Wa Manafi’uhul Jaliyyah” | Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy)
Kamis 26 Jumadil Akhir 1444 / 19-01-2023
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAdDailamiy