HUKUM MEMOHON SYAFAAT KEPADA NABI ﷺ
HUKUM MEMOHON SYAFAAT KEPADA NABI ﷺ
بسم الله الرحمن الرحيم
Pertanyaan:
Apa hukum memohon syafaat kepada Nabi ﷺ karena sebagian ulama Syafi’iyyah seperti Al Imam An Nawawiy membolehkan hal itu. Padahal saya mendengar fatwa dari salah seorang ulama bahwasanya memohon syafaat kepada Nabi adalah syirik. Jika hal itu adalah syirik, maka bagaimana An Nawawiy dan yang semisal beliau sampai membolehkannya? Saya berharap kepada Allah kemudian kepada Anda untuk memperinci dan menerangkan masalah ini kepada saya. Dan sebagian dari mereka yang membolehkan itu berdalilkan dengan firman Allah ta’ala:
﴿ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا﴾ [النساء: 64].
“Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
جزاكم الله خيرا.
-----------------
Jawaban dengan memohon pertolongan kepada Allah:
Tidak boleh di dunia ini kita memohon syafaat kepada orang yang telah meninggal, karena hal itu masuk ke dalam amalan ahli jahiliyyah yang berdoa kepada selain Allah, dengan alasan memohon syafaat. Dan tidaklah kitab-kitab suci diturunkan dan para Nabi diutus kecuali untuk membantah kesyirikan tadi dan yang semacamnya.
Allah ta’ala berfirman:
﴿وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ الله مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ الله قُلْ أَتُنَبِّئُونَ الله بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ﴾ [يونس: 18].
“Dan mereka menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bahaya kepada mereka dan tidak (pula) mampu mendatangkan manfaat pada mereka, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa´at kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit ataupun di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)”.
Ayat ini menjadi dalil bahwasanya orang yang berdoa kepada yang lain agar pihak yang lain tadi memberikan syafaat untuknya di sisi Allah; berarti dia telah menyembah pihak yang lain tadi dan jadilah dia itu musyrik. Dan Allah mensucikan diri-Nya dari keyakinan tadi, sebagaimana di akhir ayat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Maka barangsiapa menjadikan Malaikat dan para Nabi sebagai perantara-perantara, dia berdoa kepada mereka, bersandar kepada mereka, dan memohon kepada mereka untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, seperti: memohon kepada mereka untuk mengampuni dosa-dosa, membimbing hati, menghilangkan kesulitan dan kesukaran, menopang hajat dan kemiskinan; maka orang tadi telah kafir, dengan kesepakatan kaum Muslimin”. (“Majmu’ul Fatawa”/1/hal. 124).
Dan Nabi Muhammad ﷺ sekalipun masih hidup di dalam kubur beliau; akan tetapi kehidupan di alam Barzakh bukanlah seperti kehidupan dunia.
Maka dari itu Nabi Muhammad ﷺ tidak memerintahkan para Shahabat beliau untuk mengerjakan sholat di hadapan kubur beliau untuk menjadi makmum bagi beliau seperti saat beliau masih hidup. Di tidak pula para Shahabat ketika mengalami kesulitan dan kerumitan; tidaklah mereka datang mengeluh ke kubur beliau dan bermusyawarah dengan beliau tentang kasus perang Jamal ataupun perang Shiffin dan bencana-bencana yang terjadi sepeninggal beliau.
Adapun ayat yang mereka sebutkan di dalam surat An Nisa tadi, itu hanyalah untuk di saat beliau masih hidup di alam dunia ini.
Silakan rujuk pembahasan tetang ayat tadi di dalam kitab “Ash Sharimul Munki” (hal. 498) karya Al Imam Ibnu Abdil Hadi رحمه الله.
Adapun sebagian ulama yang membolehkan hal itu maka mereka telah keliru di dalam pemahaman mereka, dan kita tidak boleh mengikuti kesalahan orang yang tidak ma’shum setelah jelasnya penyelisihan dia terhadap dalil-dalil yang jelas, sambil kita tetap menghormati mereka tadi.
**Al Imam Muhammad Bin Idris Asy Syafi’iy رحمه الله berkata:* “Semua yang aku ucapkan, sementara telah datang hadits shahih dari Nabi ﷺ yang menyelisihi ucapanku, maka hadits Nabi ﷺ lebih utama untuk diikuti, dan janganlah kalian mengekor kepadaku”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam “Adabusy Syafi’iy”/hal. 67/ sanadnya shahih. Dan dari jalur beliau Al Imam Al Baihaqiy meriwayatkannya dalam “Ma’rufatus Sunan Wal Atsar”/no. (859)).
(Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliya” (9/hal. 107) dan Ibnu Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” (51/386/ shahih lighairih)).
Al Imam Abu Syamah Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Bahkan wajib bagi pelajar untuk senantiasa selamanya berasaha mencari tambahan ilmu yang sebelumnya tidak dia ketahui dari siapapun dia (asalkan ahli ilmu Salafiy –pen), karena hikmah adalah mustika yang hilang dari seorang Mukmin, di masanapun dia mendapatkannya hendaknya dia mengambilnya. Dan dia wajib untuk berikap adil dan meninggalkan taqlid, selalu mengikuti dalil, karena setiap orang bisa salah dan bisa benar; kecuali orang yang dipersaksikan oleh syariat dengan ishmah (terjaga dari kesalahan –pen), yaitu; Nabi ﷺ“. (“Mukhtasharul Muammal Fir Raddi Ilal Amril Awwal”/Abu Syamah/hal. 34/cet. Al Maktabatul Ashriyyah).
Sekalipun demikian, kita tidak boleh mengkafirkan para ulama yang terkenal dengan kabaikan mereka tadi dikarenakan kesalahan mereka itu, tanpa kita mengikuti bimbingan para ulama yang lain.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Karena sesungguhnya membolehkan orang-orang bodoh untuk mengkafirkan para ulama Muslimin itu termasuk kemungkaran yang paling besar. Asal dari amalan tadi adalah dari para Khawarij dan Syi’ah Rafidhah yang mengkafirkan para pemimpin Muslimin manakala kelompok-kelompok tadi meyakini bahwasanya para imam tadi keliru di dalam agama.
Dan Ahlussunnah Wal Jama’ah telah bersepakat bahwasanya para ulama Muslimin itu tidak boleh dikafirkan dengan semata-mata kesalahan yang murni. Akan tetapi setiap orang bisa diambil dan bisa ditolak ucapannya; kecuali Rasulullah ﷺ. Dan tidaklah setiap orang yang sebagian ucapannya ditinggalkan karena punya kesalahan yang dia keliru di situ lantas dikafirkan ataupun difasikkan ataupun dihukumi telah berdosa, karena sesungguhnya Allah ta’ala telah menjawab doa kaum Mukminin:
﴿رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَ﴾ [البقرة: 286].
“Ya Rabb (Pencipta dan Penguasa) kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (tidak segaja berbuat salah)”.
Dan di dalam “Ash Shahih” dari Nabi: “Bahwasanya Allah ta’ala menjawab: “Aku telah melakukannya”.
(Selsesai dari “Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah”/35/hal. 100).
*Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله berkata:** “Andaikata setiap orang yang keliru di dalam ijtihadnya padahal keimanannya itu benar dan kesungguhannya dalam mengikuti kebenaran itu kita gugurkan kedudukannya, dan kitab bid’ahkan orangnya; pastilah sedikit sekali dari para imam yang selamat bersama kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kedermawanan-Nya”. (“Siyar A’lamin Nubala”/14/hal. 374-376).
والله تعالى أعلم بالصواب.
والحمد لله رب العالمين.
Malaysia, 12 Sya’ban 1440 H
------------------
Dijawab Oleh: Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy حفظه الله
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy