Header Ads

TIDAK BOLEH BERDAKWAH DENGAN MEMAKAI MUSIK

TIDAK BOLEH BERDAKWAH DENGAN MEMAKAI MUSIK

Untuk pemesanan klik gambar


Kita telah mengetahui bahwasanya berdakwah dengan cara memakai alat-alat musik itu tidak dikenal di zaman Nabi ﷺ dan tidak pula pada zaman Salafush Shalih, padahal mereka adalah orang yang paling bersemangat pada kebajikan. Seandainya hal itu adalah baik atau punya kemaslahatan yang lebih besar, niscaya Allah ta’ala sudah mensyari’atkannya, sementara Allah Yang Maha Suci berfirman:

﴿وما كان ربك نسياً﴾ ]مريم: 64[.

“Dan Rabbmu itu tidaklah lupa”.

Dan agama Islam itu dibangun di atas pencapaian kemaslahatan dan penolakan bahaya dan kerugian. Maka seluruh perkara yang diperlukan oleh kaum Muslimin di dalam agama mereka itu telah ditunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan seluruh perkara yang membahayakan dan merugikan mereka juga telah diperingatkan terhadap mereka.

Dan dari Abdullah bin Amr ibnil ‘Ash رضي الله عنهما, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي ِإَّلا كَانَ حَقاًّ عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ».

“Sesungguhnya tidak ada Nabi yang diutus sebelumku kecuali dia itu wajib untuk menunjukkan pada umatnya kebaikan yang dia ketahui untuk mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang dia ketahui untuk mereka.” (HR. Muslim (1844)).

Al Imam Abu Syamah Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Dan Rasulullah telah menyampaikan risalah dengan jelas, dan beliau tidak meninggalkan satu jalanpun yang menyampaikan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali beliau telah menjelaskannya kepada umat ini.” -Lalu beliau menyebutkan hadits di atas-. “Dan telah diketahui bahwasanya Nabi kita ﷺ adalah Nabi yang paling utama dan beliau adalah penutup seluruh Nabi dan paling sempurna penyampaiannya dan nasihatnya.” (“Al Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits”/hal. 108).

Dan Nabi ﷺ itu sangat menyayangi dan berbelas kasihan pada kaum Mukminin. Allah ta'ala berfirman:

﴿لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾ [التوبة: 128].

"Sungguh telah datang seorang Rasul dari diri kalian sendiri, terasa berat baginya perkara yang menyusahkan kalian, dia sangat bersemangat akan tercurahnya kebaikan pada kalian, dan penuh belas kasihan pada kaum mukminin."

Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Firman-Nya: "terasa berat baginya perkara yang menyusahkan kalian" yaitu: terasa berat baginya sesuatu yang menyusahkan dan menyulitkan umatnya." (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 241).
'Anat adalah: masuknya kesulitan, dan bertemunya dengan kesukaran, sebagaimana dalam "Lisanul 'Arab". Al Imam Ath Thabariy رحمه الله berkata: "Yaitu: masuknya kesulitan, perkara yang dibenci, dan gangguan kepada mereka." ("Jami'ul Bayan"/14/hal. 584).

Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Firman-Nya: "dia sangat bersemangat akan tercurahnya kebaikan pada kalian" yaitu: sangat menginginkan hidayah untuk kalian dan sampainya manfaat duniawi dan ukhrawi kepada kalian." (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 241).

Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: "penuh belas kasihan pada kaum mukminin" rauf adalah: yang amat sangat penyayang." ("Al Jami'"/8/hal. 302).

Al 'Allamah Ibnu Baththal رحمه الله berkata: "Beliau ﷺ tidak mencaci seorangpun dan tidak menyakitinya sebagai kezhaliman padanya, akan tetapi beliau hanyalah melakukan itu berdasarkan perkara yang wajib dari syariat beliau. Beliau sering tidak membalas untuk diri beliau sendiri, karena beliau memang diciptakan berwatak memaafkan dan berakhlaq mulia. Semoga shalawat Allah tercurah untuk beliau." ("Syarh Shahihil Bukhariy"/Ibnu Baththal/5/hal. 175).

Demikianlah sifat para Nabi عليهم السلام : bahwasanya mereka itu penyayang pada manusia. Maka termasuk dari rahmat mereka adalah: mereka itu menunjukkan pada umat mereka kebaikan yang mereka ketahui untuk mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang mereka ketahui untuk mereka.
Dan termasuk yang menunjukkan agungnya rahmat Rasulullah ﷺ kepada umat beliau adalah: Hadits Abdullah bin Amr رضي الله عنهما yang berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَلَا قَوْلَ اللهِ -عز و جل- فِي إِبْرَاهِيْمَ: ﴿رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي﴾ [إبراهيم /36 ] الآية، وَقَالَ عِيْسَى -عليه السلام-: ﴿إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَ إِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ﴾ [المائدة /118 ] فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: «اللَّهُمَّ أُمَّتِي أُمَّتِي» وَبَكَى. فَقَالَ الله -عز و جل-: يَا جِبْرِيْلُ اِذْهَبْ إِلَى مُحمدٍ -وَرَبُّكَ أَعْلَمُ- فَسَلْهُ مَا يُبْكِيْكَ؟ فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ -عليه الصلاة والسلام- فَسَأَلَهُ فَأَخْبَرَهُ رسولُ اللهِ ﷺ بِمَا قَالَ -وَهُوَ أَعْلَمُ- فَقَالَ اللهُ: يَا جِبْرِيْلُ اِذْهَبْ إِلَى مُحمدٍ فَقُلْ: إِنَّا سَنُرْضِيْكَ فِي أُمَّتِكَ وَلَا نَسُوْءُكَ. (أخرجه مسلم (202)).

"Bahwasanya Nabi ﷺ pernah membaca firman Allah عز وجل yang menukil ucapan Ibrahim: "Wahai Rabbku, sesungguhnya patung-patung itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia. Maka barangsiapa mengikuti maka sesungguhnya dia itu adalah termasuk dariku." Sampai akhir ayat, dan ucapan Isa عليه السلام : "Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah para hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Penuh Hikmah." Maka Nabi mengangkat kedua tangannya dan berkata: "Ya Allah, ummatku, ummatku." Dan beliau menangis. Maka Allah عز وجل berfirman: "Wahai Jibril, pergilah ke Muhammad –dan Rabbmu lebih tahu- lalu tanyailah dia: "Apa yang membuatmu menangis?"." Maka Jibril عليه الصلاة والسلام mendatanginya lalu menanyainya. Maka Rasulullah ﷺ mengabarinya tentang apa yang diucapkannya –dan Allah lebih tahu-. Maka Allah berfirman: "Wahai Jibril, pergilah ke Muhammad dan katakan padanya: "Sungguh Kami akan membuatmu ridho tentang umatmu, dan Kami tidak akan menyusahkanmu."." (HR. Muslim (202)).

Maka jika kita telah mengetahui sempurnanya belas kasihan Nabi ﷺ pada umat beliau, dan beliau tidak mensyari’atkan berdakwah dengan alat musik.
Bahkan beliau memerintahkan untuk kita mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang terbimbing, dan memerintahkan kita untuk memegangnya dengan sedemikian eratnya, dan beliau memperingatkan kita dari perkara-perkara yang baru, dan beliau menyebutkan bahwasanya perkara yang baru dalam agama ini adalah perkara yang paling buruk, tahulah kita bahwasanya berdakwah dengan cara bernyanyi atau bermain musik itu adalah bid’ah dan termasuk dalam perkara yang paling buruk, sehingga tidak boleh dilakukan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله ditanya tentang salah seorang masyayikh yang mempergunakan genderang dan nyanyian untuk membuat para pelaku maksiat bertobat.

Maka beliau رحمه الله menjawab dengan beberapa jawaban, sampai pada ucapan beliau: “... dan begitu pula yang diriwayatkan oleh orang-orang tentang amalan-amalan yang mendekatkan diri mereka pada Allah, namun amalan itu tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pastilah bahayanya itu lebih besar daripada manfaatnya, karena jika tidak demikian; andaikata manfaatnya itu lebih besar dan lebih dominan daripada bahaya; tidak mungkin Si Pembawa syariat menyia-nyiakannya, karena beliau ﷺ adalah sosok yang Hakim (meletakkan segala tepat pada tempatnya, tidak akan menyia-nyiakan kemaslahatan agama, dan tidak akan meluputkan kaum Muslimin dari amalan yang akan mendekatkan mereka kepada Rabb alam semesta.
Jika hal ini telah jelas; maka kita katakan pada si penanya: sesungguhnya syaikh yang disebutkan tadi bermaksud untuk mentobatkan orang-orang yang berkumpul-kumpul tadi dari dosa-dosa besar. Lalu dia tidak mampu melakukan itu kecuali dengan melakukan perkara-perkara bid’ah yang disebutkan tadi. Hal itu menunjukkan bahwasanya syaikh tadi bodoh terhadap jalan-jalan yang disyariatkan yang mana dengan itulah para pendurhaka bertobat. Atau syaikh tadi adalah lemah dari menjalankan metode syariat, karena Rasul ﷺ dan para Sahabat serta para Tabi’in dulu mendakwahi orang-orang yang lebih buruk daripada orang-orang tadi, dari kalangan pelaku kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan; dengan metode-metode yang disyariatkan yang  mana dengan itu Allah mencukupi mereka, tidak memerlukan metode-metode kebid’ahan.

Maka tidak boleh dikatakan: “Bahwasanya tidak ada di dalam metode-metode yang disyariatkan yang mana Allah mengutus Nabi-Nya untuk membawanya itu yang dengan itu para pelaku maksiat menjadi bertobat”, karena telah diketahui secara sangat pasti dan dengn penukilan yang mutawatir bahwasanya sudah banyak sekali dari para pelaku kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, yang tak terhitung jumlah mereka kecuali oleh Allah ta’ala; yang bertobat dengan melalui metode-metode yang disyariatkan, yang mana tidak ada di dalam metode-metode tadi perkumpulan bid’ah. Bahkan para As Sabiqunal Awwalun (yang terdahulu dan pertama masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik, dan mereka itu adalah para wali Allah yang terbaik dan bertakwa dari umat ini; mereka bertobat kepada Allah ta’ala dengan melalui metode-metode yang disyariatkan, bukan dengan cara-cara bid’ah tadi.
Kota-kota dan desa-desa kaum Muslimin yang dulu dan yang sekarang itu penuh dengan orang-orang yang bertobat dan bertakwa kepada Allah, serta mengerjakan apa yang Allah cintai dan Allah ridhai, dengan melalui carca-cara yang disyariatkan, bukan dengan cara-cara bid’ah tadi.

Maka tidak mungkin dikatakan: “Sesungguhnya para pendurhaka itu tidak mungkin bertobat kecuali dengan cara-cara bid’ah ini”, tapi harus diucapkan: Sesungguhnya di kalangan masyayikh tadi ada orang yang jahil terhadap metode-metode yang disyariatkan, tidak mampu mengerjakannya, dia tidak punya ilmu tentang Al Qur’an dan As Sunnah yang dengan itu dia mengajak bicara umat manusia dan memperdengarkannya kepada mereka, yang mana dengan itulah Allah memberi mereka taufik untuk bertobat, lalu syaikh tadi berpaling dari cara-cara yang disyariatkan tadi berpindah kepada metode-metode bid’ah.
Boleh jadi karena disertai maksud yang baik, jika dia punya agama yang kuat. Dan boleh jadi tujuannya adalah untuk menjadi pemimpin bagi mereka, dan mengambil harta mereka secara batil, sebagaimana dalam firman Allah ta’ala:

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ الله وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ الله فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ﴾ [التوبة: 34] .
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka kabarilah mereka dengan siksaan yang pedih”.

Maka tidaklah seseorang itu berpaling dari cara-cara yang disyariatkan menuju kepada cara-cara bid’ah kecuali karena kejahilannya, atau kelemahannya atau hasrat yang rusak”.
(Selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/11/hal. 624-625).

-------------

(“DAKWAH JANGAN MEMAKAI MUSIK IKUTILAH GENERASI TERBAIK” | Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy حفظه الله )

Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy
Diberdayakan oleh Blogger.