Header Ads

Yasin Bukan Termasuk Nama Sayyidil Mursalin

 بسم الله الرحمن الرحيم


Yasin Bukan Termasuk Nama Sayyidil Mursalin


الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما بعد:

Pertanyaan: Apakah “Yasin” itu termasuk dari nama Nabi Muhammad ﷺ? Karena Si Dai Abdush Shamad menyebutkan bahwasanya “Yasin” termasuk dari nama beliau, sebagaimana dalam selawat Badar: “Kepada Yasin Sang Kekasih Allah.

----------------

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta’ala semata:

Si Abdush Shamad ini sudah banyak menyebarkan kesesatan sebelum ini.
Seharusnya Abdul Shamad mengamalkan sebagaimana mestinya ilmu hadits yang telah dia pelajari. Siapakah yang membuat “Selawat Badar” itu? Apakah itu dari Al Qur’an? Ataukah itu shahih dari Nabi Muhammad ﷺ?
Nama-nama untuk Nabi kita Muhammad ﷺ itu tidak diketahui kecuali dengan berita dari Pencipta beliau dan Pengutus beliau, yaitu Allah ta’ala, atau dengan berita dari Nabi Muhammad ﷺ sendiri, atau dengan ijma’ ulama.

Dan seluruh nama Nabi kita Muhammad ﷺ itu punya makna-makna yang indah dan jelas.
Contohnya adalah: hadits Jubair bin Muth’im رضي الله عنه yang berkata:

قَالَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «لِي خَمْسَةُ أَسْمَاءٍ: أَنَا محمدٌ، وَأَحْمَدُ، وَأَنَا اْلمَاحِي الَّذِي يَمْحُو اللهُ بِيَ الْكُفْرَ، وَأَنَا اْلحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِي، وَأَنَا الْعَاقِبُ». (أخرجه البخاري (3532) ومسلم (2354)).

“Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku memiliki lima nama. Aku adalah Muhammad, Ahmad, dan aku adalah Al Mahi yang denganku Allah menghapus kekufuran. Dan aku adalah Al Hasyir yang mana orang-orang dikumpulkan di telapak kakiku. Dan aku adalah Al ‘Aqib (Nabi terakhir)”. (HR. Al Bukhariy (3532) dan Muslim (2354)).
Demikian pula dalil-dalil lain yang shahih.

Maka seluruh nama untuk Nabi kita Muhammad ﷺ itu indah, dan punya makna yang bagus. Dan makna-makna tadi diketahui dengan pecahan dari lafazhnya.

Adapun “Yasin” dan “Thaha” maka dia itu bukan isim musytaq (nama-nama yang punya pecahan sifat) yang mana dengan itu diketahui baik buruknya. Maka kedua-duanya bukan termasuk dari nama untuk Nabi kita Muhammad ﷺ .

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Pasal tentang nama-nama Nabi Muhammad ﷺ , dan semuanya adalah sifat-sifat, bukan semata-mata nama yang sekedar untuk tanda pengenal. Bahkan semuanya adalah nama-nama pecahan dari sifat-sifat yang tegak pada diri beliau yang mengharuskan adanya pujian dan kesempurnaan untuk beliau”. (“Zadul Ma’ad”/1/hal. 84).

Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Abdul Muhsin Al ‘Abbad حفظه الله berkata: “Sesungguhnya nama-nama telah pasti untuk Rasul itu semuanya adalah musytaqqah (pecahan dari sifat), menunjukkan pada makna-makna, dan bukan nama yang jamid (beku, bukan pecahan). Dan bukan termasuk dari nama beliau: “Thaha” dan “Yasin”. (Qathful Janal Dani Syarh Muqaddimati Risalah Al Qairawaniy”/hal. 76).

Adapun “Yasin”, apa maknanya yang telah jelas di dalam bahasa Arab? Dia itu bukan isim dan bukan pula fi’il.
Sebagian orang berkata: “Sesungguhnya “Yasin” itu artinya “Wahai Pria”. Ada yang bilang: “Sesungguhnya “Yasin” itu artinya “Wahai Manusia”. Ada yang bilang: “Sesungguhnya “Yasin” itu artinya “Wahai Tuan”. Dan perkataan yang lain.

Lalu dari manakah mereka menetapkan ini dan memastikan bahwasanya inilah makna yang Allah inginkan di awal surat Yasin itu? Seandainya memang demikian, tentulah Allah ta’ala telah menerangkannya, atau diterangkan oleh Rasulullah ﷺ , karena Allah ta’ala telah menjamin bahwasanya Al Qur’an adalah hidayah (petunjuk). Dan bukanlah karakter hidayah itu: teka-teki dan tebak-tebakan yang membingungkan.

Maka penetapan bahwasanya “Yasin” artinya demikian dan demikian itu memerlukan dalil.

Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata tentang masalah huruf-huruf yang terpisah di awal-awal beberapa surat di dalam Al Qur’an: “Adapun penunjukan satu huruf kepada suatu nama yang boleh jadi huruf tadi menunjukkan pada nama yang lain tanpa ada dalil yang menunjukkan bahwasanya nama yang ini lebih layak untuk ditetapkan menjadi makna bagi huruf itu daripada nama yang lain, dengan ketetapan awal dalam bahasa, atau dengan faktor yang lain, maka hal ini termasuk perkara yang tidak mungkin dipahami kecuali dengan dalil. Sementara masalah ini masih diperselisihkan, dan tidak ada ijma’ dalam masalah ini sehingga bisa dipakai sebagai landasan untuk menghukumi (yaitu: menghukumi bahwasanya inilah makna yang diinginkan dari huruf tadi -pen).” (“Tafsir Ibnu Katsir”/1/hal. 111/ cet. Darul Hadits).

Maka yang benar adalah: bahwasanya “Yasin” dan “Thaha” itu adalah huruf-huruf yang terpisah seperti yang lainnya” “Alif Lam Min”, “Alif Lam Ra”, “Shad”, “Qaf”, ataupun “Kaf Ha Ya ‘In Shad”.

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Demikian pula banyak penafsir yang mendatangkan keanehan-keanehan yang jiwa itu lari dari keanehan tadi dan sangat tidak disetujui oleh Al Qur’an, seperti sebagian mereka berkata bahwasanya “Thaha” adalah lafazh dari bahasa Nabthiyyah (orang-orang Nasrani Syam dan masyarakat Irak –pen) yang artinya adalah: “Wahai Pria”, “Wahai Manusia”. Sebagian dari mereka mengatakan bahwasanya itu bersama “Yasin” adalah termasuk dari nama Nabi. Mereka menilai bahwasanya termasuk dari nama Nabi Muhammad ﷺ adalah Thaha dan Yasin”. (“Ash Shawa’iqul Mursalah”/1/hal. 253).

Ibnul Qayyim رحمه الله juga berkata: “Dan yang benar adalah bahwasanya “Yasin” itu seperti “Ha Mim” dan “Alif Lam Mim”, bukan termasuk dari nama Nabi Muhammad ﷺ?”. (“At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an”/hal. 267).

Ibnul Qayyim رحمه الله juga berkata: “Adapun perkara yang disebutkan oleh orang-orang awam bahwasanya “Thaha” dan “Yasin” itu termasuk dari nama Nabi Muhammad ﷺ, maka hal itu tidaklah benar. Dan ucapan mereka itu tidak didukung oleh hadits shahih, ataupun hasan ataupun mursal ataupun atsar dari Shahabat. “Thaha” dan “Yasin” hanyalah huruf-huruf seperti “Alif Lam Mim”, “Ha Mim” dan, Alif Lam Ra” dan semacamnya. (“Tuhfatul Maudud”/hal. 127).
Adapun hadits yang dipakai bertopang oleh sebagian orang bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ telah menetapkan nama tadi, sebagaimana dalam hadits Abuth Thufail, maka hadits tadi adalah lemah, telah dihukumi lemah oleh Al Hafizh Al ‘Iraqiy رحمه الله dalam “Takhrij Ahaditsil Ihya” (6/hal. 170).

Bahkan para ulama Al Azhar yang menjadi rujuk banyak orang di negara kita; mereka sendiri berkata di akhir jawaban mereka tentang masalah ini: “Az Zarqaniy menyebutkan itu di dalam “Syarhul Mawahib” (3/hal. 137) bahwasanya hadits yang disebutkan oleh Ibnu Mardawaih bahwasanya “Thaha termasuk dari nama Nabi ﷺ itu lemah. Dan yang beliau rajihkan adalah bahwasanya “Thaha” itu termasuk dari huruf-huruf yang terpisah-pisah”. (“Fatawal Azhar”/8/hal. 68).
Memang, hadits tadi lemah, dan bahkan lemah sekali.

Ibnu Mardawaih di dalam “Tafsir” beliau, Abu Nu’aim dalam “Ad Dalail”, dan Ad Dailamiy dalam “Musnadul Firdaus”, mereka semua meriwayatkan dari hadits Abul Thufail رضي الله عنه dari Nabi ﷺ yang bersabda:
«لي عند ربي عشرة أسماء» -إلى أن قال-: «يس وطه».
“Aku di sisi Rabbku punya sepuluh nama” –sampai pada- “Yasin dan Thaha”.
Itu disebutkan oleh As Suyuthiy dalam kitabnya “Ar Riyadhul Aniqah”, lalu dia berkata: “Ibnu Dihyah berkata: “Ini adalah sanad yang tidak ada harganya sama sekali, berporos pada seorang pemalsu, yaitu: Abu Yahya, dan seorang yang lemah, yaitu: Saif”. (Selesai dari “Ar Riyadhul Aniqah Syarhu Asma Khairil Khaliqah”/hal. 29/ cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

As Suyuthiy رحمه الله juga berkata di dalam “Manahilish Shafa Fi Takhriji Ahaditsisy Syifa” (hal. 35): hadits: “Aku di sisi Rabbku punya sepuluh nama...” (1/hal. 88), diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Ad Dalail” dan Ibnu Mardawaih di dalam “Tafsir” beliau, dari jalur Abu Yahya At Taimiy, dan dia itu pemalsu hadits, dari Saif bin Wahb, dan dia itu lemah, dari Abuth Thufail”. (Selesai penukilan).

Abu Fairuz وفقه الله berkata:
Abu Yahya ini adalah Isma’il bin Yahya bin Ubaidillah bin Thalhah, Abu Yahya At Taimiy. Shalih Jazarah berkata tentangnya: “Dia sering memalsukan hadits”. Al Azdiy berkata tentangnya: “Dia itu salah satu tiang terbesar dari kedustaan, tidak halal untuk meriwayatkan darinya”. Ibnu Adi berkata: “Hampir semua yang dia riwayatkan itu batil”. Al Hafizh Abu Ali An Naisaburiy, Ad Daruquthniy dan Al Hakim berkata: “Orang itu adalah pendusta”. Adz Dzahabiy berkata: “Orang itu meriwayatkan dari Abu Sinan Asy Syaibaniy, Ibnu Juraij dan Mis’ar dan hadits-hadits yang batil. Disepakati oleh ulama untuk dia itu ditinggalkan”. (rujuk “Mizanul I’tidal”/1/hal. 253).
Saif adalah Abu Wahb Saif bin Wahb Al Bashriy At Taimiy. Ali ibnul Madiniy berkata: “Aku bertanya pada Yahya bin Sa’id tentang orang tadi, maka beliau bermasam muka dan berkata: orang itu termasuk dari orang yang binasa”. Ahmad bin Hanbal berkata: “Orang itu haditsnya lemah”. Dan dilemahkan oleh An Nasaiy”. (rujuk “Tahdzibut Tahdzib”/4/hal. 262).
Bahkan Al Imam An Nasaiy menghukuminya lemah sekali. Beliau berkata: “Saif bin Wahb tidak punya ketsiqahan sama sekali”. (“Adh Dhu’afa Wal Matrukin”/An Nasaiy/hal. 187).

Maka jika tidak shahih sedikitpun dalil bahwasanya “Yasin” itu termasuk dari nama Nabi ﷺ, tidak boleh bagi seorangpun untuk menamai beliau dengan itu tanpa adanya dalil shahih.

Al ‘Allamah Al Lughawiy Muhammad ibnith Thayyib Al Fasiy رحمه الله berkata: Kemudian beliau –yaitu: penulis “Kifayatul Muhtafizh”- menyifati beliau –yaitu menyifati Nabi ﷺ - dengan sifat yang Allah ta’ala berikan di dalam Al Qur’an Yang Agung bahwasanya beliau adalah “Khatamun Nabiyyin (Penutup Para Nabi) untuk menempuh jalan adab; karena penyifatan Nabi sebagaimana sifat yang Allah berikan, di samping hal itu merupakan bentuk mutaba’ah (sikap mengikuti) yang mana Nabi ﷺ tidak meridhai kecuali itu, di dalamnya ada pengakuan akan ketidakmampuan seseorang untuk membuat-buat sifat untuk Nabi yang bisa mencapai hakikat pujian untuk beliau عليه الصلاة والسلام . Oleh karena itu engkau mendapatkan para tokoh besar di dalam menyebutkan Nabi عليه السلام mereka mencukupkan dengan apa tang didatangkan oleh syariat yang suci, baik itu di dalam Al Qur’an ataupun di dalam As Sunnah, tanpa membuat-buat ungkapan dari diri mereka sendiri secara umum”. (Selesai penukilan dari “Syarhu Kifayatil Muhtafizh”/Al Fasiy/hal. 51/ cet. Darul Ulum).

Jika dikatakan: nama “Yasin” tadi telah ditetapkan oleh Alim Fulan atau Syaikh Fulan atau Kyai Fulan atau Ustadz Fulan, dan beliau itu lebih utama daripada dirimu!

Maka jawaban saya dengan mohon pertolongan pada Allah: bukanlah yang penting itu keutamaan orang yang bicara, akan tetapi yang penting dan terpandang adalah hujjah (argumentasi dan dalil) dia.

Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata di dalam membantah orang yang mengekor pada sebagian orang besar: “Ucapan itu tidak menjadi benar karena keutamaan si pembicaranya, akan tetapi ucapan itu menjadi benar hanyalah dengan penunjukan dalil kepada benarnya ucapan tadi”. (“Jami’u Bayanil ‘Ilm”/2/hal. 174/ cet. Dar Ibnil Jauziy).

والله تعالى أعلم والحمد لله رب العالمين.

Ditulis oleh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
وفقه الله
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy
Diberdayakan oleh Blogger.