DZULHIZAM AL MALAYSIY HADAHULLAH SEMAKIN MENUNJUKKAN KESOMBONGAN DIRINYA
DZULHIZAM AL MALAYSIY HADAHULLAH SEMAKIN MENUNJUKKAN KESOMBONGAN DIRINYA, DAN LARI DARI TANGGUNG JAWAB HUJJAH TATKALA SYUBUHAT DAN TUDUHAN PALSUNYA DIBONGKAR DAN DIPATAHKAN
Pertanyaan:
Setelah sebagian ikhwah di Indonesia dan di Malaysia menyebarkan bantahan Antum terhadap tulisan Dzulhizam Al Maliziy yang dia tampilkan pada hari Isnin (4 Syawwal 1444 H), maka pada hari Selasa (5 Syawwal) Dzulhizam kembali menulis: “Bahasa arab tak reti, ilmu alat xde, jawab soalan x reti. Sedarlah anda sendiri pun bertaqlid. Jgn angkuh kata org lain muqallid.”
Maka bagaimana tanggapan Antum?------------------------
Jawaban dengan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala:
Ini bukan pertama kalinya Dzulhizam Al Maliziy lari dari tanggung jawab hujjah tatkala syubuhat dan tuduhan palsunya dibongkar dan dipatahkan.
Dan ini bukan pertama kalinya Dzulhizam menghina dan memperlekehkan (istilah dia sendiri –pen) sebagian ikhwah kita Muslimin Salafiyyin (yang membantu menyebarkan hujjah-hujjah dan dakwah Salafiyyah –pen) dengan ungkapan “Tidak tahu bahasa Arab”.
Dan ini semakin menambah burhan (bukti –pen) dan bayyinah (keterangan –pen) bahwasanya Dzulhizam adalah mutakabbir (orang yang menyombongkan diri –pen).
Dari Ibnu Mas'ud رصي الله عنه:
عن النبي ﷺ قال: «لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر». قال رجل: إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسنًا، ونعله حسنة. قال: «إن الله جميل يحب الجمال الكبر بطر الحق وغمط الناس». (أخرجه مسلم (91)).
Dari Nabi ﷺ yang mengatakan: "Tak akan masuk Jannah orang yang di hatinya ada semisal dzarrah dari kesombongan." Seorang lelaki berkata: “Sesungguhnya seseorang itu suka bajunya bagus dan sandalnya bagus.” Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR. Muslim (91)).
Sungguh menyedihkan keadaan sebagian orang yang telah belajar Salafiyyah, kemudian mereka justru ta’ashshub (fanatisme –pen) pada Dzulhizam yang buruk akhlaknya; sombong, sering menghina orang lain, dan menolak hujjah yang didatangkan oleh orang yang dia rendahkan, tanpa dia mampu membantah hujjah dengan hujjah.
Ibrahim رحمه الله berkata: Al Fudhail ditanya: “Apakah tawadhu’ (sikap rendah hati –pen) itu?” beliau menjawab: “Engkau tunduk pada kebenaran dan menaatinya. Sekalipun engkau mendengarnya dari anak kecil, engkau menerimanya darinya. Sekalipun engkau mendengarnya dari orang yang paling bodoh, engkau menerimanya darinya.” (“Hilyatul Auliya”/3/hal. 392/cet. Dar Ummil Qura/atsar hasan).
Dan dari sisi lain:
Dzulhizam sekedar bertasyabuh dengan sebagian mubtadi’ah Shufiyyah NU di Indonesia yang tatkala didebat dengan memakai hujjah-hujjah syar’iyah, justru mereka berkata: “Kalian belum paham bahasa Arab”.
Dzulhizam sekedar bertasyabuh dengan sebagian mubtadi’ah Shufiyyah Tablighiyyah di Indonesia yang tatkala didebat dengan memakai hujjah-hujjah syar’iyah, justru mereka berkata: “Kalian belum paham bahasa Arab”.
Dzulhizam sekedar bertasyabuh dengan si hizbiy busuk Asnur Al Indonesiy yang tatkala didebat dengan memakai hujjah-hujjah syar’iyah, justru dia menghina ikhwah kita dari sisi: “Perbaiki bahasa arabmu dan ngomongmu. Kami gag paham bahasa upin ipin susah membantahmu”.
Maka hukum zhahir terhadap Dzulhizam adalah sama dengan pihak-pihak yang dia tasyabbuhi sehingga dia bertobat.
Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنهما berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ».
“Dan barangsiapa menyerupakan diri (atau meniru-niru) dengan suatu kaum maka dia adalah termasuk dari mereka.” (Hadits ini shahih, diriwayatkan Al Imam Ahmad (5114), Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushannaf” (19401), Abu Dawud (4026), Abd bin Humaid dalam “Al Muntakhab” (848) dan Ath Thabraniy dalam “Musnadusy Syamiyyin” (216). Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Dan sanad hadits ini jayyid.” (“Iqtidhaush Shirathil Mustaqim”/ 1/hal. 270-271)).
Bukan berarti ana menyerupakan Dzulhizam dengan mereka dari semua sisi. Namun keserupaan dari sebagian sisi yang buruk, dengan bukti dan burhan yang jelas itu sudah cukup.
Ath Thibiy رحمه الله berkata: “Penyerupaan itu tidak menuntut adanya perserikatan antara pihak yang diserupakan dengan pihak yang diserupai di semua sifatnya. Bahkan seandainya terjadi keserupaan di sebagian sifatnya, pastilah itu cukup.” (“Al Kasyif ‘An Haqaiqis Sunan”/11/hal. 3494).
Dari sisi lain; nampak sekali ucapan Dzulhizam itu: “Bahasa arab tak reti, ilmu alat xde, jawab soalan x reti” menunjukkan betapa lemahnya dia dalam adu hujjah sehingga kosong dari dalil, dan betapa zhalimnya dia sehingga tidak memenuhi adab perdebatan, hanya sekedar menghina dan merendahkan lawan bicaranya.
Seakan-akan dirinya sudah hebat dan layak bicara sehingga terus-menerus menulis tuduhan palsu, kerancuan, penghinaan dan pemutarbalikan fakta, di sepanjang bulan Ramadhan sampai masuk ke hari-hari pertama Syawwal.
Allah ta’ala berfirman:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ﴾ [الحجرات: 11].
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekelompok orang mengolok-olok sekelompok orang yang lain, karena boleh jadi mereka (kelompok yang diolok-olok –pen) itu lebih baik daripada mereka (kelompok yang mengolok-olok –pen).”
Al Imam As Sa’diy berkata tatkala menafsirkan: “Janganlah sekelompok orang mengolok-olok sekelompok orang yang lain” itu dengan setia ucapan, perkataan dan perbuatan yang menunjukkan kepada makna merendahkan saudara yang Muslim, karena yang demikian itu haram, tidak boleh, dan itu menunjukkan bahwasanya si pengolok-olok telah merasa kagum pada diri sendiri. Dan boleh jadi orang yang diolok-olok itu lebih baik daripada si pengolok-olok, sebagaimana itulah yang dominan dan terjadi. Itu disebabkan karena olok-olokan itu tidak terjadi kecuali dari jantung yang penuh dengan akhlak-akhlak yang buruk, yang menghiasi diri dengan setiap akhlak yang tercela.
Maka dari itu Nabi ﷺ bersabda:
«بحسب امرئ من الشر، أن يحقر أخاه المسلم».
”Cukuplah seseorang dikatakan jahat jika dia merendahkan saudaranya yang Muslim.”
(Selesai dari “Taisirul Karimir Rahman”/hal. 801).Ya, itulah yang diperbuat oleh Dzulhizam tanpa mampu mendatangkan hujjah.
Kalau hasilnya sekedar macam itu, tak perlu Antum susah payah pergi belajar agama ke Mesir, wahai Dzulhizam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Karena sesungguhnya memberikan bantahan dengan semata-mata memakai cacian dan penakut-nakutan itu setiap orang juga mampu.” (“Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 186).
Dari sisi lain:
Ucapan Dzulhizam itu: “Bahasa arab tak reti, ilmu alat xde, jawab soalan x reti. Sedarlah anda sendiri pun bertaqlid.”
Itu bukan yang pertama kali. Pada masa-masa sebelum itupun Dzulhizam sudah meluapkan kepanasan jiwanya dengan menulis: “Bagaimana org yg tak pandai bahasa arab mendakwa dia tak bertaqlid?”
Itu semakin menambahkan betapa gopohnya Dzulhizam menghukumi bahwasanya orang yang tidak pandai bahasa Arab sebagai orang yang bertaqlid.
Dan itu menunjukkan betapa gopohnya Dzulhizam menulis sebelum merujuk kepada ulama tentang keterkaitan antara ketidakpandaian berbahasa Arab dengan taqlid.
Padahal seandainya Dzulhizam jujur dalam merujuk kepada ulama, niscaya dia mendapati bahwasanya sebagian masyayikh yang mana kalam mereka diterjemahkan oleh menantunya –yaitu: Shahir Al Maliziy- untuk menghantam kami, di situ telah disebutkan bahwasanya merujuk kepada ulama di dalam menyikapi fitnah itu bukanlah taqlid.
Dan para masyayikh tadi tidak membedakan antara orang yang sudah pandai bahasa Arab dengan orang yang belum pandai bahasa Arab.
Dari sisi lain:
Sudah bertahun-tahun ana tampilkan kalam Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله –di dalam “Syarah Al Ushulus Sittah”- yang menyatakan bahwasanya orang awam yang bertanya kepada ulama tentang suatu permasalahan dengan meminta dalil mereka; maka yang demikian itu BUKANLAH TAQLID, bahkan itu adalah MENGIKUTI DALIL DENGAN PERANTARAAN ULAMA.
Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله berkata: “... Bahwasanya orang yang kosong dari ilmu-ilmu; yang wajib untuk dia lakukan adalah: Bertanya pada orang yang dia percayai agamanya dan ilmunya; tentang nash-nash Al Kitab dan As Sunnah yang berbicara tentang perkara-perkara yang wajib dia jalankan, yag berupa peribadatan, atau transaksi/pergaulan, dan perkara yang dia alami lainnya, seraya berkata pada pada orang yang dia tanya: “Ajarilah saya dalil yang paling shahih di dalam permasalahan tersebut, sehingga saya mengamalkan dalil tadi.”
DAN ITU BUKAN TERMASUK DARI TAQLID SAMA SEKALI, karena dia tidak bertanya pada si alim tentang pendapat beliau, bahkan dia bertanya kepada beliau tentang riwayat beliau.
Akan tetapi tatkala dia dia tidak menyadari lafazh-lafazh Al Kitab dan As Sunnah disebabkan oleh kejahilannya; dia wajib untuk bertanya kepada orang yang menyadarinya.
Maka si penanya ini telah mengamalkan Al Kitab dan As Sunnah dengan perantaraan orang yang ditanya.” (Lihat seterusnya di dalam “Al Badruth Thali’”/A/2/HAL. 83).
Maka ini tadi bukanlah taqlid, karena si awam tidak sekedar menanyakan pendapat si alim, namun bahkan dia menanyakan dalil yang dipakai oleh si alim di dalam menguatkan pendapatnya tadi, atau dalil yang terkait dengan permasalahan yang ditanyakan.
Maka ini bukanlah taqlid sama sekali, karena si awam mengikuti pendapat si alim dalam keadaan SI AWAM TAHU APA SISI PENDALILAN SI ALIM, bukan seperti gaya taqlidnya Dzulhizam dan gerombolannya.
Maka dari itu menjadi jelaslah bahwasanya kami dan para ikhwah yang diremehkan oleh Dzulhizam telah diberi taufik oleh Allah untuk ittiba’ dan selamat dari taqlid –dengan seidzin Allah-, dan dalam melaksanakan makna RUJUK PADA ULAMA (bahkan pada sebagian imam, bukan sekedar ulama –pen), tidak seperti kebangkrutan Dzulhizam cs dalam memahami ITTIBA’, TAQLID dan RUJUK PADA ULAMA.
Dan banyak dari ikhwah kita Salafiyyin yang membantu penyebaran risalah dan nasihat itu memahami makna ayat Al Qur’an yang disampaikan, memahami makna hadits yang dibacakan, dan juga memahami maksud seorang alim yang berceramah atau mengajar dengan berbahasa Arab, sekalipun tidak sehebat lulusan Universitas Al Azhar Mesir (Dzulhizam –pen) itu.
Itupun jika Dzulhizam memang hebat dalam bahasa Arab sehingga menghina sebagian Muslimin yang lainnya.والله أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.
Abu Fairuz Al Indonesiy وفقه الله
8 Syawwal 1444 H
----------------------------
(Di Jawab oleh Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Jawiy حفظه الله)
Jum'at 8 Syawwal 1444 / 28-04-2023
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAdDailamiy