DZULHIZAM MALAYSIA TELAH MENGIKUTI HAWA NAFSUNYA DALAM KASUS FITNAH ABU HAZIM
DZULHIZAM MALAYSIA TELAH MENGIKUTI HAWA NAFSUNYA DALAM KASUS FITNAH ABU HAZIM
Pertanyaan:
Sebagaimana yang Antum tahu; Dzulhizam Al Maliziy masih terus-menerus menulis sindiran di FaceBook di sepanjang Ramadhan, sampai bahkan di awal-awal Syawwal. Maka bagaimanakah pendapat Antum tentang tulisan dia hari Isnin tadi: “Tabiat pengekor hawa nafsu bila nak sokong pegangan mereka pakai kalam ulama. Bila dibantah dgn kalam ulama mereka perlekeh.”
-----------------------------------Jawaban dengan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala:
Ana berusaha mencari di beberapa kamus Melayu untuk mengetahui makna “Memperlekeh” atau “Memperlekehkan”, secara lebih jelas, sampai kemudian ana mendapatkan di sebagian literatur bahwasanya: “Memperlekehkan (belittling) adalah menjatuhkan seseorang, membuat mereka merasa kecil. Ini bermaksud bersikap menghakimi dan kritis dengan mengurangkan rasa diri seseorang.” (Malaysia Dateline).
Jika Dzulhizam punya definisi yang lain untuk istilah “Memperlekeh” atau “Memperlekehkan”, silakan mendatangkannya.
Maka dari itu ana katakan:
Jika Dzulhizam menyatakan bahwasanya tulisan dia itu sebagai nasihat untuk semua orang, silakan dia memberikan CONTOH NYATA KALIMAT yang pernah dilontarkan atau CONTOH NYATA SIKAP yang pernah ditampilkan oleh pengekor hawa nafsu saat memperlekeh kalam ulama.
Dengan itu -in sya Allah- akan lebih jelas benarkah dia sekedar memberikan nasihat umum, ataukah tengah membidik orang tertentu.
Namun jika Dzulhizam bermaksud mengkritik pihak tertentu maka hendaknya dia terus terang saja menjelaskan siapakah NAMA ORANG YANG DIA INGINKAN. Ahlussunnah itu jelas ucapannya, terang sasarannya, kuat dalilnya –dengan taufik dari Allah-.
Akan tetapi jika Dzulhizam bermaksud mengkritik ana (Abu Fairuz –pen), atau Ustadz Abu Abdirrahman Shiddiq Al Indonesiy, atau Ustadz Abu Sulaim Sulaiman Al Indonesiy, atau Ustadz Abu Hanan Utsman Al Indonesiy, ataupun ikhwah lainnya di Indonesia ataupun di Malaysia yang mengkritik Abu Hazim dengan hujjah-hujjah yang jelas dan tidak mampu dipatahkan oleh Dzulhizam, maka kritikan dan tuduhan Dzulhizam tadi adalah palsu dan dusta.
Hal itu karena kami para Salafiyyin diajari dan menerapkan pendidikan untuk tidak menjadikan ulama sebagai hujjah. Kami diajari dan menerapkan pendidikan untuk menegakkan kritikan berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah رضي الله عنهم, maka jika ucapan atau perbuatan ulama itu sesuai dengan dalil dan pemahaman Salaf, maka itu adalah taufik yang menggembirakan, dan kami diajari untuk menukilkannya.
Namun jika ucapan atau perbuatan ulama tidak sesuai dengan apa yang menjadi dasar dan prinsip agama kita; maka sebagian IMAM SENIOR (bukan sekedar ulama senior –pen) mengajari kami untuk melemparkannya ke dinding.
Dan sebagian IMAM SENIOR (bukan sekedar ulama senior –pen) yang lain mengajari kami untuk tidak mengambilnya sampai kami mengetahui dari manakah para imam senior (bukan sekedar ulama senior –pen) mengambilnya.
Dan sepanjang belasan tahun dari awal berlangsungnya fitnah Abu Hazim Al Indonesiy; kami berulang kali melaksanakan dalil-dalil untuk merujuk kepada para ulama untuk mengetahui bimbingan yang berdasarkan dalil yang jelas tentang masalah tersebut.
Dan dari rujuknya kami kepada para ulama; kami mendapati bahwasanya sebagian ULAMA SENIOR menghukumi bahwasanya TN adalah muhdats. Dan sebagian ULAMA SENIOR yang lain lagi menghukumi bahwasanya TN maksiat atau mukholafah.
Dan sebagian ULAMA SENIOR telah menetapkan bahwasanya masalah TN bukanlah masalah ijtihadiyyah (sebagai bantahan terhadap Abu Hazim cs yang senantiasa menyatakan bahwasanya ini adalah masalah ijtihadiyyah.
Maka jika sebagian ULAMA SENIOR (ini mengikuti istilah yang dipakai oleh Dzulhizam sendiri dalam merendahkan kemampuan pihak lain –pen) telah menghukumi bahwasanya masalah TN bukanlah masalah ijtihadiyyah, lalu apa hukum pelakunya?!
Padahal pelakunya itu telah dinasihati selama belasan tahun, namun dia membangkang dan menentang sambil terus-menerus menyebarkan syubuhat dan memakai berbagai cara dan kedustaan untuk menjatuhkan pihak lain, serta melontarkan ancaman kepada sebagian ulama.
Dan di sepanjang bulan Ramadhan sampai awal-awal Syawwal ini Dzulhizam dan sebagian fanatikusnya melontarkan syi’ar “Menunggu ulama senior”, tanpa mampu meruntuhkan hujjah lawan mereka.
Namun benarkah Dzulhizam dan para fanatikusnya itu ikut ulama senior?!
Sebagian ulama senior telah mempopulerkan bahwasanya:
Satu: TN adalah muhdats, atau TN maksiat atau mukholafah**.
Dua: masalah TN bukanlah masalah ijtihadiyyah.
Tiga: Abu Hazim adalah Salafiy, bukan hizbiy ataupun mubtadi’.
Adapun Dzulhizam; maka dia hanya mempopulerkan ucapan ulama senior yang sesuai dengan hawa nafsunya (yaitu nombor tiga: bahwasanya Abu Hazim bukan hizbiy ataupun mubtadi’ –pen). Dan Dzulhizam TIDAK MAMPU mendatangkan dalil dan hujjah untuk meruntuhkan hujjah-hujjah pihak yang menghizbikan atau memubtadi’kan Abu Hazim.
Dan dengan itu Dzulhizam sangat aktif memerangi ikhwah yang memerangi Abu Hazim cs.
Namun Dzulhizam tidak mempopulerkan ucapan sebagian ulama senior bahwasanya TN adalah muhdats atau maksiat atau mukholafah (yaitu nombor satu), dan bahwasanya masalah TN bukanlah masalah ijtihadiyyah (yaitu nombor dua).
Dan Dzulhizam saat tidak mempopulerkan nombor satu dan kedua; dia TIDAK MAMPU mendatangkan dalil dan hujjah yang menguatkan dirinya untuk tidak turut serta membantu para ulama senior untuk mempopulerkan ucapan beliau-beliau tadi.
Dan barangsiapa tidak mengikuti hujjah dan dalil yang telah ditegakkan kepadanya kecuali sekedar berlindung di balik kebesaran fatwa ulama, dan dia tidak mau bertobat, maka dia itulah sebenarnya yang mengikuti hawa nafsu.
Allah ta’ala menyatakan:
﴿فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ الله﴾
"Maka jika mereka tidak memenuhi seruanmu (wahai Rasulullah –pen) maka ketahuilah bahwasanya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah?" (QS. Al Qashshah: 50).
Allah ta’ala juga berfirman:
﴿إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى﴾ [النجم: 23].
"Tidaklah mereka mengikuti selain persangkaan dan apa yang diinginkan oleh jiwa-jiwa, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka." (QS. An Najm: 23).
Sebagian imam telah mendatangkan kaidah bahwasanya: barangsiapa tidak mau mengikuti dalil dan hujjah, maka dia itu mengikuti hawa nafsu.
Silakan merujuk pada bimbingan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله dalam “Majmu’ul Fatawa”, Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله dalam “I’lamul Muwaqqi’in”, Al Imam Abu Ishaq Asy Syathibiy رحمه الله dalam “Al I’tisham”, di dalam memahami kaidah tadi dan pendalilannya.
Barangsiapa mengatakan bahwasanya kami ini GHULAT dan bahwasanya kami tidak memahami atau tidak mendapatkan taufik dalam meletakkan dalil-dalil yang kami sampaikan di atas, silakan datangkan hujjah.
والله أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.
Abu Fairuz Al Indonesiy وفقه الله
5 Syawwal 1444 H
----------------------------
(Di Jawab oleh Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Jawiy حفظه الله)
Selasa 5 Syawwal 1444 / 25-04-2023
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAdDailamiy