Header Ads

PEREMPUAN PERGI HAJI TANPA MAHRAM

Sumber Channel Telegram: MaktabahFairuzAddailamiy

PEREMPUAN PERGI HAJI TANPA MAHRAM

Asaalamu'alaikum
ada teman saya titip pertanyaan: apakah seorang perempuan umur 56 tahun boleh pergi haji tanpa muhrim ( maksudnya mahram -admin )? Krn dia sudah tidak punya suami ..
----------------




وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Jawaban dengan memohon pertolongan Allah Ta'alaa:

Sesungguhnya dalil-dalil yang disebutkan dalam bab ini ( tentang larangan wanita safar tanpa mahram ) bersifat umum, mencakup segala jenis safar.

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Maka kesimpulannya adalah: bahwasanya segala perjalanan yang dinamakan sebagai safar; wanita itu dilarang untuk melakukan safar tanpa disertai suami atau mahram, sama saja hal itu selama tiga hari, atau dua hari, atau sehari, atau satu barid (Ibnu Manzhur رحمه الله berkata: “Barid adalah jarak sejauh dua belas mil di antara dua tempat”. (“Lisanul Arab”/3/hal. 82) ), atau yang selain itu, karena riwayat Ibnu Abbas itu bersifat mutlak, dan itu adalah akhir dari riwayat Muslim yang terdahulu:

«لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ».

“Tidak boleh bagi seorang wanita untuk mengadakan safar (perjalanan jauh) kecuali harus disertai mahram dia”.

Ini mencakup segala perjalanan yang dinamakan sebagai safar, dan hanya Allah Yang Paling tahu”.
(Selesai dari “Al Minhaj”/An Nawawiy/9/hal. 103-104).

Dan hukumnya tidak berbeda: apakah wanita itu masih muda ataukah sudah tua, berparas cantik ataukah buruk rupa, dia disertai dengan sejumlah wanita ataukah sendirian, dia dalam keadaan aman ataukah tidak aman, karena dalil-dalil tadi bersifat umum.

Lagipula kita tidak tahu akan yang akan terjadi setelah itu (ketidakamanan, atau keperluan kepada tenaga lelaki untuk mendorong kendaraan yang macet, mengangkat banyak barang dan sebagainya –pen), maka Allah ta’ala menutup pintu fitnah dan sarana keburukan secara sempurna, sebagai bagian dari rahmat Allah kepada para hamba-Nya, andaikata mereka memahami hal ini.

Al Imam Al Amir Muhammad bin Ismail Ash Shan’aniy رحمه الله berkata: “Kemudian hadits tadi bersifat umum mencakup wanita muda dan wanita tua. Sekelompok imam berkata: “Wanita tua boleh safar tanpa mahram”. Seakan-akan mereka melihat pada makna hadits, lalu dengan itu mereka mengkhususkan hadits yang umum tadi.

Ada yang mengatakan: “Keumumannya tidak dikhususkan, bahkan wanita tua itu posisinya seperti wanita muda”.

Apakah sejumlah wanita yang terpercaya itu menduduki posisi seorang mahram untuk wanita itu? Sebagian ulama membolehkan itu berdalilkan dengan perbuatan para Sahabat, tapi hal semacam itu tidak kuat untuk menjadi hujjah; karena dia tidak mencapai tingkat ijma’.

Ada yang mengatakan: “Seorang wanita boleh bersafar jika punya penjagaan diri”. Namun dalil-dalil tidak menunjukkan yang demikian itu”.
(Selesai dari “Subulus Salam”/1/hal. 608).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: “Maka segala perjalanan yang layak dinamakan sebagai “Safar”, sungguh tidak boleh bagi seroang wanita untuk bersafar kecuali disertai mahram dia, karena dikhawatirkan ada fitnah, keburukan dan bencana yang menimpa dirinya. Kemudian si penulis menyebutkan hadits Abu Hurairah dan hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهم yang menunjukkan bahwasanya wanita diharamkan untuk bersafar tanpa mahram. Lahiriyah dari hadits ini menunjukkan bahwasanya tidak beda antara wanita muda dengan wanita tua, wanita cantik dan wanita buruk rupa, wanita yang disertai sejumlah wanita yang lain ataukah sendirian, wanita yang dalam keadaan aman ataukah tidak aman. Maka hadits tadi bersifat umum. Kalaupun ditetapkan adanya suatu safar yang selamat secara yakin, maka sungguh yang demikian itu tidak diperoleh di setiap safar. Manakala permasalahan ini adalah berbahaya; wanita dilarang secara total untuk bersafar tanpa mahram.

Pada masa sekarang ini sebagian wanita bermudah-mudah untuk bersafar tanpa mahram, terutama dalam safar dengan pesawat terbang, demikian pula dalam transportasi secara berkelompok, dan itu adalah kesalahan dan sikap meremehkan kewajiban untuk taat pada Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak halal bagi wanita untuk bersafar tanpa mahram, sekalipun dengan pesawat terbang, sampai bahkan walaupun mahramnya itu mengantarkannya sampai dirinya menaiki pesawat terbang, dan mahram yang kedua menyambutnya di negara yang lain, maka yang demikian itu tidak boleh, karena sekalipun kita menetapkan adanya keselamatan; siapakah yang juga naik pesawat tadi dan duduk di samping wanita itu? Para wanita sekarang di pesawat terbang tidak dipisahkan dari para lelaki. Engkau akan mendapatkan seorang wanita yang duduk di samping lelaki. Oleh karena itulah maka kami mengatakan: diharamkan wanita untuk bersafar tanpa mahram di dalam pesawat ataupun mobil ataupun di atas onta ataupun keledai ataupun berjalan kaki. Itu semua adalah haram”.
(Selesai penukilan dari “Syarh Riyadhish Shalihin”/Al Utsaimin/4/hal. 628-629).

Dan seperti itu pula hukum safar haji; karena dia itu masuk ke dalam keumuman dalil-dalil yang ada.

Al Imam Muhammad Ash Shan’aniy رحمه الله: “Dan mereka berselisih pendapat tentang safar haji yang bersifat wajib. Kebanyakan ulama berpendapat bahwasanya wanita yang masih muda dilarang untuk melakukannya kecuali bersama mahram. Dan dinukilkan suatu pendapat dari Asy Syafi’iy bahwasanya wanita tadi boleh bersafar sendirian jika jalanan aman. Tapi pendalilannya tidak kuat”.

Ibnu Daqiq Al ‘Id berkata: “Sesungguhnya firman Allah ta’ala:

﴿وَلِله عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ﴾ [آل عمران: 97].

“Dan Allah memiliki hak yang harus ditunaikan oleh manusia yaitu: mereka berhaji ke Baitullah”.
Itu umum mencakup para lelaki dan para perempuan.

Dan sabda Nabi:

«لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ».

 “Tidak boleh bagi seorang wanita untuk mengadakan safar (perjalanan jauh) kecuali harus disertai mahram dia”.
Itu juga bersifat umum mencakup semua jenis safar.

Maka kedua dalil umum tadi saling bertentangan.

Dan dijawab: bahwasanya hadits-hadits larangan wanita bersafar tanpa mahram itu menjadi pengkhusus bagi keumuman ayat tadi”.
(Selesai penukilan dari “Subulus Salam”/Ash Shan’aniy/1/hal. 608).

Dan termasuk yang menguatkan itu tadi adalah hadits Ibnu Abbas  bahwasanya beliau mendengar:

النَّبِيُّ ﷺ يَقُوْلُ: «لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ»، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رسولَ اللهِ، اُكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً، قَالَ: «اِذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ».

“Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita. Dan sama sekali janganlah seorang wanita untuk mengadakan safar (perjalanan jauh) kecuali harus disertai mahram dia”. Lalu seorang lelaki berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah, saya telah ditetapkan untuk mengikuti perang yang demikian dan demikian, dalam keadaan istri saya keluar untuk berhaji”. Maka Rasulullah bersabda: “Pergilah untuk berhaji bersama istrimu”. (HR. Al Bukhariy (3006) dan Muslim (1341)).

Ini ada seorang Sahabat yang telah ditetapkan untuk mengikuti perang tersebut, maka jadilah perang tadi itu fardhu ain untuknya. Sekalipun demikian; Nabi ﷺ menggugurkan kewajiban jihad tadi darinya dalam rangka bersafar bersama istrinya untuk berhaji. Maka hal ini menunjukkan betapa sangat wajibnya wanita tadi untuk disertai mahramnya dalam berhaji.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Maka ini adalah nash-nash dari Nabi ﷺ tentang diharamkannya wanita bersafar tanpa mahram, dan beliau tidak mengkhususkan suatu safarpun, padahal safar haji itu termasuk safar yang paling terkenal dan paling banyak dilakukan (oleh wanita di masa itu –pen), maka tidak mungkin Nabi melalaikannya, meremehkannya dan memperkecualikannya dengan niat tanpa melafazhkannya (bahwa Nabi memperkecualikan safar haji dari larangan tanpa mahram -pen).

Bahkan para Sahabat telah memahami dari Nabi akan masuknya safar haji ke dalam dalil-dalil tadi (larangan tanpa mahram –pen); manakala beliau ditanya oleh lelaki tadi tentang safar haji, dan beliau menyetujuinya tentang pemahaman tadi, dan beliau memerintahkan dirinya untuk bersafar bersama istrinya dan meninggalkan jihad yang telah menjadi fardhu ‘ain untuknya karena pemerintah telah menetapkannya untuk berangkat.

Kalaupun adanya mahram itu tidak wajib; tetap saja safar haji itu tidak boleh keluar dari keumuman pembicaraan tersebut, karena dia adalah safar yang banyak dilakukan oleh kaum wanita, karena wanita itu (di masa itu –pen) secara umum tidak bersafar untuk jihad ataupun perdagangan. Dia hanyalah safar untuk haji. Maka dari itulah Nabi ﷺ menjadikan haji sebagai jihad kaum wanita.

Kaum Muslimin telah bersepakat bahwasanya tidak boleh bagi wanita untuk bersafar kecuali dalam situasi yang aman dari bencana. lalu sebagian fuqaha; masing-masing dari mereka menyebutkan apa yang diyakininya mampu untuk menjadi penjaga dan pemelihara wanita, seperti: sekumpulan wanita yang terpercaya dan kaum lelaki yang terpercaya. Dan si faqih tadi melarang wanita bersafar tanpa adanya mereka. Akan tetapi syarat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu lebih benar dan lebih kokoh”.
(Selesai dari “Syarh Umdatil Fiqih”/Ibnu Taimiyyah/kitab Ath Thaharah Wal Haj/2/hal. 174-177).

Al Qadhi Badruddin Al ‘Ainiy رحمه الله berkata: “Penyebutan faidah-faidah yang boleh diambil dari hadits tadi: bahwasanya wanita itu tidak boleh bersafar kecuali bersama mahramnya. Dan keumuman lafazhnya mencakup keumuman safar. Maka hal itu menuntut diharamkannya safar wanita tanpa mahramnya, sama saja safar dia itu sedikit ataukah banyak, untuk haji ataukah untuk yang lainnya. Dan ini adalah pendapat Ibrahim An Nakha’iy, Asy Sya’biy, Thawus dan Zhahiriyyah. Mereka dengan pendapat tadi juga berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah: bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

«لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَها ذِو مَحْرَمٍ».

“Janganlah seorang wanita mengadakan safar (perjalanan jauh) kecuali dalam keadaan disertai mahram dia”.

Dan di dalam hadits (Ibnu Abbas) tadi ada dalil bahwasanya hajinya seorang lelaki bersama istrinya jika istrinya menginginkan haji Islam itu lebih utama daripada safar dia untuk berperang, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
«اُخْرُجْ مَعَهَا».
 “Keluarlah bersama istrimu”.
Yaitu: untuk berhaji. Padahal dirinya telah ditetapkan untuk berperang.
 Dan di dalamnya ada dalil tentang disyaratkannya mahram dalam kewajiban haji untuk wanita”.
(Selesai dari “Umdatul Qari”/10/hal. 221-222).

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: “Dan Nabi ﷺ  tidak meminta perincian padanya: apakah istrinya itu disertai oleh sekumpulan para wanita ataukah tidak? Apakah istrinya muda dan cantik ataukah tidak? Apakah istrinya itu dalam kondisi aman ataukah tidak?

Dan hikmah dilarangnya wanita untuk bersafar tanpa mahram adalah untuk memeliharanya dari keburukan dan kerusakan, serta menjaganya dari para pelaku kejahatan dan kefasikan, karena wanita itu pendek akalnya, pikirannya dan pembelaan dirinya. Wanita adalah objek hasrat kaum lelaki. Maka boleh jadi dia akan terpedaya atau tertundukkan. Oleh karena itu; termasuk dari hikmah adalah: wanita itu dilarang untuk bersafar tanpa mahram yang menjaga dan memeliharanya.

Karena itulah maka mahram itu disyaratkan harus baligh dan berakal. Makanya mahram yang masih kecil atau lemah akal itu tidak cukup.

Dan yang namanya mahram adalah: suami si wanita, dan setiap lelaki yang mana wanita itu haram untuk dia nikahi selamanya; dengan sebab kekerabatan, persusuan atau perbesanan”.
(Selesai dari “Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al Utsaimin”/24/hal. 258).

Beliau juga رحمه الله berkata dalam syarah hadits Ibnu Abbas: “Maka Nabi ﷺ memutlakkan larangan untuk wanita bersafar tanpa mahram, dan beliau tidak mengikat hal itu dengan suatu jenis safar saja, tidak mengikat itu dengan suatu jenis wanita yang tidak disertai oleh wanita yang lain, dan tidak mengikatnya dengan suatu jenis keadaan saja. Dan beliau tidak meminta perincian pada suaminya tentang keadaan istrinya”. (Selesai dari “Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al Utsaimin”/24/hal. 422).

Maka itu semua adalah ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم. Wanita manapun ingin haji dan punya dana, tapi tidak mendapatkan mahram, dan dia menaati Allah dan Rasul-Nya dengan bersabar sampai Allah memudahkan dia mendapatkan mahram; Allah akan memberinya pahala haji, karena dia sudah punya tekad dan usaha, hanya saja dia terhalang udzur. Dan dari sisi lain; dia mendapatkan pahala tanpa batas karena kesabaran dia untuk menjalani hukum Allah.
Allah tidak menyia-nyiakan niat dan usaha hamba-Nya yang setia.

والحمد لله رب العالمين.
-----------------------

dijawab Oleh : Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy حفظه الله
Diberdayakan oleh Blogger.