HUKUM BERMAIN GENDANG DAN KEUMUMAN ALAT MUSIK
Sumber Channel Telegram: @MaktabahFairuzAddailamiy
HUKUM BERMAIN GENDANG DAN KEUMUMAN ALAT MUSIK
Thabl (Gendang) adalah benda yang telah dikenal, alat musik untuk dipukul, punya satu atau dua sisi. (“Lisanul Arab”/11/hal. 398).
Dan bermain thabl (gendang) itu tidak diperbolehkan.
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ أَوْ حَرَّمَ اْلخَمْرَ وَاْلمَيْسِرَ وَالْكُوْبَةَ».
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan melalui lidahku, atau mengharamkan khamr (minuman yang memabukkan), maisir (perjudian), dan kubah (gendang).”
Sufyan berkata: maka aku bertanya pada Ali bin Budzaimah –salah seorang rawi- tentang kubah, maka beliau berkata: “Thabl (gendang).”
(HR. Ahmad (2476), Abu Dawud (3696) dan Ath Thabraniy dalam “Al Kabir” (12598)/shahih).
Dan dari Abdullah Bin Amr Ibnil Ash رضي الله عنهما yang berkata:
«أَنَّ نَبِيَّ اللهِ ﷺ نَهَى عَنِ اْلخَمْرِ وَاْلَميْسِرِ وَالْكُوْبَةِ».
“Bahwasanya Nabiyullah ﷺ melarang dari khamr, perjudian dan gendang”. (Diriwayatkan oleh Ahmad (6478), Abu Dawud (3697), dan dia adalah hadits shahih).
Abu Sulaiman Al Khaththabiy رحمه الله berkata: dikatakan bahwa Kubah adalah nard (dadu), dan masuk di dalamnya semua watar (dawai), muzhir (semacam rebana tapi punya kerincingan) dan alat-alat permainan yang lainnya.” (sebagaimana dalam “Ma’rifatus Sunan Wal Atsar” /Al Baihaqiy/16/hal. 30).
Al Al Qariy رحمه الله berkata tentang syarh hadits tadi: “Yaitu: dan Allah mengharamkan kubah melalui lidah Rasulullah, yaitu: memukul kubah. Dan kubah adalah gendang kecil.” (“Mirqatul Mafatih”/13/hal. 246).
Al Munawiy رحمه الله berkata: “Dan menjualnya juga batil menurut Asy Syafi’iy. Dan mengambil harganya (uang hasil penjualannya) itu termasuk memakan dengan batil. Dan beliau mengingatkan dengan pengharaman gendang tadi, akan haramnya menjual seluruh alat-alat musik, seperti tambur dan seruling.” (“Faidhul Qadir”/3/hal. 338).
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh رحمه الله setelah menyebutkan hadits tadi dalam rangkaian penyebutan dalil-dalil diharamkannya nyanyian, beliau berkata: “Dan kubah adalah gendang kecil. Ada yang mengatakan: kubah adalah barith (sejenis gitar/rebab), dan dia adalah alat untuk bernyanyi. Adapun para imam yang empat, maka mereka –semoga Allah meridhai mereka semua- tidak diam dari menjelaskan hukum perkara yang munkar tadi.” (“Fatawa Wa Rasail Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh”/10/hal. 173-174).
Al Imam Ibnu Baz رحمه الله setelah menyebutkan hadits tadi, beliau berkata: “Dan hadits-hadits dan atsar-atsar yang banyak telah diriwayatkan tentang tercelanya nyanyian dan alat-alat permainan, yang ucapanku ini tidak cukup untuk menyebutkannya. Dan dalil yang kami sebutkan itu sudah cukup dan memuaskan bagi seorang pencari kebenaran. Dan tidak ada keraguan bahwasanya orang-orang yang menyerukan ditambahkannya nyanyian-nyanyian dan alat-alat permainan dalam siaran berita itu, mereka tertimpa bencana dalam pikiran mereka hingga mereka menganggap bagus perkara yang buruk, dan menganggap buruk perkara yang baik. Dan mereka mengajak pada perkara yang membahayakan mereka dan membahayakan orang lain. Dan mereka tidak menyadari bahaya-bahaya, kerusakan-kerusakan dan kejelekan-kejelekan yang dihasilkan dari perkara tadi. Dan alangkah baiknya firman Allah ta’ala Yang berfirman:
﴿أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ الله يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ الله عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُون﴾.
“Maka apakah orang yang dihiaskan untuk dirinya amalan buruknya lalu dia memandangnya bagus (sama dengan orang yang terbimbing di jalan yang benar)? Karena sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang Dia kehendaki dan membimbing orang yang Dia kehendaki. Maka janganlah jiwamu binasa karena terlalu berduka menyesali keadaan mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”.
(selesai dari “Fatawa Ibni Baz”/3/hal. 417).
Sedangkan duff (rebana) adalah sejenis gendang juga, tapi agak kecil.
Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Dan duff adalah yang tidak memiliki kerincing. Jika dia punya kerincing, maka dia adalah muzhir.” (“Fathul Bari”/2/hal. 441).
Dan wanita boleh memainkannya di hari raya, hari pernikahan dan hari kegembiraan tertentu yang diidzinkan oleh syariat.
عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ: جَاءَ النَّبِيُّ ﷺ فَدَخَلَ حِيْنَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَّاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، وَيَنْدَبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ: وَفِيْنَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ: «دَعِيْ هَذِهِ وَقُوْلِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُوْلِيْنَ».
Dari ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz berkata: Nabi ﷺ datang menemuiku ketika aku dinikahi (seseorang). Lalu beliau duduk di atas tikarku seperti posisi dudukmu di hadapanku ini. Saat itu, ada gadis-gadis kecil sedang menabuh duff (gendang kecil/rebana) sambil bersenandung menyebut-nyebut orang-orang yang terbunuh dari kalangan orangtua kami pada perang Badar. Hingga berkata salah seorang dari gadis kecil itu: "Bersama kami ada Nabi yang mengetahui apa yang bakal terjadi besok". Maka Nabi ﷺ segera berkata: "Janganlah kamu mengatakan begitu. Tapi cukup katakan apa yang kamu katakan sebelumnya". (HR. Al Bukhariy (5147)).
Al ‘Allamah Muhammad Abdirrahman Al Mubarakfuriy رحمه الله berkata: “Juwairiyyatain” dengan pola kecil (dua gadis kecil). Ada yang mengatakan: yang dimaksudkan adalah: anak-anak kecil Anshar, bukan hamba sahaya. “Mereka memukul duff mereka”. Dikatakan bahwasanya para anak-anak tadi belum mencapai batasan syahwat, dan duff mereka itu tidak disertai dengan kerincing.” (“Tuhfatul Ahwadziy”/4/hal. 179).
عَنْ عَائِشَةَ -رضي الله عنها-: أَنَّ أَبَا بَكْرٍ -رضي الله عنه- دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنَى تُدَفِّفَانِ وَتَضْرِبَانِ، وَالنَّبِيُّ ﷺ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ، فَانْتَهَرَهُمَا أَبُوْ بَكْرٍ، فَكَشَفَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ: «دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيْدٍ». وَتِلْكَ الْأَيَّامُ أَيَّامُ مِنَى.
Dari 'Aisyah رضي الله عنها, bahwa Abu Bakr رضي الله عنه pernah masuk menemuinya pada hari-hari saat di Mina (Tasyriq). Saat itu ada dua anak wanita yang sedang bermain duff (rebana), sementara Nabi ﷺ menutupi wajahnya dengan kain. Kemudian Abu Bakr melarang dan menghardik kedua anak gadis itu, maka Nabi ﷺ menyingkap kain yang menutupi wajah beliau seraya bersabda: "Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari 'Ied." Hari-hari itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq)." (HR. Al Bukhariy (987) dan Muslim (892)).
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata dalam membantah orang yang membolehkan rebana secara umum: “Dan telah datang dalil yang lebih pasti dari sisi sanad tentang dikhususkannya pembolehan rebana itu pada hari-hari raya dan hari pernikahan saja”. (“At Tamhid”/22/hal. 199).
Juga di hari kegembiraan yang besar, dan dilakukan oleh wanita yang diperkirakan kita itu aman dari fitnah mereka.
Dari Buraidah رضي الله عنه berkata:
خَرَجَ رسولُ الله ﷺ فِي بَعْضِ مَغَازِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ: يَا رسولَ اللهِ، إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللهُ صَالِحاً أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى. فَقَالَ لَهاَ رسولُ اللهِ ﷺ: «إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي، وَإِلَّا فَلَا». فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ. فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رسولُ اللهِ ﷺ: «إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ، يَا عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِساً، وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ».
“Rasulullah ﷺ pernah keluar di sebagian peperangan beliau. Manakala beliau pulang, datanglah seorang hamba sahaya berkulit hitam seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah bernadzar jika Allah mengembalikan Anda dengan selamat, saya akan memukul rebana di hadapan Anda dan saya bernyanyi”.
Maka Rasulullah ﷺ berkata padanya: “Jika engkau telah bernadzar, maka silakan memukul rebana itu, tapi jika tidak, maka jangan.” Maka mulailah dia memukul rebana. Lalu Abu Bakr masuk, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Ali, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Utsman, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Umar, maka wanita itu melemparkan rebananya ke bawah pantatnya, lalu dia duduk di atas rebananya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Setan itu benar-benar takut kepadamu wahai Umar. Sungguh aku tadi duduk, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Abu Bakr, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Ali , dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Utsman, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah engkau wahai Umar, maka dia melemparkan rebana tadi.” (HR. Ahmad (23039), At Tirmidziy (3690)/shahih).
Maka Rasulullah ﷺ berkata padanya: “Jika engkau telah bernadzar, maka silakan memukul rebana itu, tapi jika tidak, maka jangan.” Maka mulailah dia memukul rebana. Lalu Abu Bakr masuk, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Ali, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Utsman, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Umar, maka wanita itu melemparkan rebananya ke bawah pantatnya, lalu dia duduk di atas rebananya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Setan itu benar-benar takut kepadamu wahai Umar. Sungguh aku tadi duduk, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Abu Bakr, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Ali , dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Utsman, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah engkau wahai Umar, maka dia melemparkan rebana tadi.” (HR. Ahmad (23039), At Tirmidziy (3690)/shahih).
Al Khaththabiy رحمه الله berkata: “Memukul rebana bukanlah termasuk perkara yang terhitung di dalam bab ketaatan pada Allah yang terkait dengan nadzar. Kondisi terbaiknya adalah bahwasanya dia itu masuk dalam bab mubah. Hanya saja manakala dia berhubungan dengan ditampakkannya kegembiraan dengan kepulangan Rasulullah ﷺ ketika beliau tiba dari sebagian peperangan beliau, dan amalan tadi membuat orang-orang kafir kecewa, dan kaum munafiqin jengkel, jadilah penabuhan rebana tadi seperti sebagian pendekatan diri pada Allah. Oleh karena itulah maka disukai penabuhan rebana dalam acara pernikahan karena di dalamnya ada penampakan kegembiraan dan keluar dari makna perzinaan yang tidak jelas. Dan termasuk yang menyerupai kasus ini adalah sabda Nabi ﷺ tentang menghujat orang kafir:
«اُهْجُوا قُرَيْشاً فَإِنَّهُ أَشَدُّ عَلَيْهِمْ مِنْ رِشْقِ النَّبْلِ».
“Hujatlah Quraisy, karena hujatan (yaitu hantaman dengan syair) itu lebih keras bagi mereka daripada tembakan panah.”
(Selesai dari “Aunul Ma’bud”/Abuth Thayyib Abadiy/9/hal. 100).
Dan tidak ada keraguan bahwasanya menabuh rebana itu khusus bagi wanita: anak kecil atau wanita yang dirasa tidak menimbulkan fitnah.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan telah diketahui dengan pasti dari agama Islam bahwasanya Nabi ﷺ tidak mensyariatkan untuk orang-orang shalih dari umat beliau, para ahli ibadah mereka dan para ahli zuhud mereka untuk berkumpul demi mendengarkan dan menyimak bait-bait yang dilagukan, disertai dengan tepuk tangan atau pukulan stik, atau duff (rebana), sebagaimana beliau tidak membolehkan seseorang untuk tidak mengikuti beliau dan tidak mengikuti apa yang datang dari Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), baik dalam perkara batin ataupun perkara lahiriyyah, baik untuk orang awam ataupun juga untuk orang khusus. Akan tetapi Nabi ﷺ memberikan keringanan para beberapa jenis permainan dalam pernikahan dan semisalnya, sebagaimana beliau memberikan keringanan pada para wanita untuk menabuh rebana dalam pernikahan dan kegembiraan-kegembiraan. Adapun para pria pada zaman Nabi, maka tidak ada seorangpun dari mereka yang menabuh rebana, ataupun bertepuk tangan, dan bahkan telah pasti dalam hadits shahih bahwasanya Nabi bersabda:
«التَصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ، وَالتَّسْبِيْحُ لِلرِّجَالِ»،
“Bertepuk tangan adalah untuk para wanita, dan bertasbih adalah untuk para pria.”
Dan:
«لَعَنَ اْلمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ، وَاْلمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ».
“Rasulullah ﷺ melaknat para lelaki yang menyerupakan diri dengan perempuan, dan para perempuan yang menyerupakan diri dengan lelaki.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhariy (5885) dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما).
Dan manakala nyanyian dan menabuh rebana dan telapak tangan adalah termasuk dari amalan para wanita, dulu para Salaf menamakan para lelaki yang melakukan itu sebagai MUKHANNATS (bencong/pondan), dan mereka menamakan para lelaki yang bernyanyi sebagai MAKHANITS (para bencong). Dan ini terkenal di dalam ucapan para Salaf. Dan masuk di dalam bab ini adalah hadits Aisyah رضي الله عنها: bahwa Abu Bakr رضي الله عنه pernah masuk menemuinya pada hari-hari ‘Id dalam keadaan di samping Aisyah ada dua anak wanita Anshar yang sedang bernyanyi dengan ucapan-ucapan orang Anshar saat perang Bu’ats. Kemudian Abu Bakr berkata: “Apakah seruling setan ada di rumah Rasulullah ﷺ?” sementara itu Nabi ﷺ tadinya memalingkan wajah beliau dari kedua gadis tadi, dan menghadapkan wajah beliau yang mulia ke dinding, lalu beliau bersabda: "Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar. Karena setiap kaum itu punya hari ‘Id, dan ini adalah Hari 'Ied kita kaum Muslimin."
Maka di dalam hadits ini ada penjelasan bahwasanya bukanlah termasuk adat Nabi ﷺ dan para Shahabat beliau untuk berkumpul mendengarkan permainan tadi. Oleh karena itulah maka Ash Shiddiq menamakan hal itu sebagai SERULING SETAN. Dan Nabi ﷺ membiarkan kedua gadis kecil tadi berbuat itu dengan alasan bahwasanya saat itu adalah hari ‘Id. Dan anak-anak kecil diberi keringanan untuk bermain di hari-hari Id, sebagaimana di dalam hadits:
«لِيَعْلَمَ اْلمُشْرِكُوْنَ أَنَّ فِي دِيْنِنَا فُسْحَةً»،
“Agar kaum musyrikin mengetahui bahwasanya di dalam agama kita itu ada kelapangan.”
Dan dulu ‘Aisyah punya mainan yang dengannya dia bermain, dan teman-temannya dari kalangan perempuan yang masih kecil datang dan bermain bersamanya. Dan tidak ada di dalam hadits dua gadis kecil tadi berita bahwasanya Nabi ﷺ menyimak permainan mereka, sementara perintah dan larangan itu hanyalah terkait dengan penyimakan, bukan sekedar pendengaran.”
(selesai dari “Majmu’ Fatawa”/11/hal. 565-566).
Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Maka Rasulullah ﷺ itu tidaklah mengingkari Abu Bakr yang menamai nyanyian itu sebagai seruling setan. Dan Nabi membiarkan kedua gadis kecil tadi karena keduanya adalah dua anak kecil yang belum terbebani syariat, menyanyi dengan nyanyian badui yang diucapkan pada hari perang Bu’ats, yang menceritakan keberanian dan peperangan. Dan pada hari itu adalah hari ‘Id. Lalu tentara setan memperluas area amalan tadi sampai pada menggunakan suara wanita cantik yang bukan mahram, atau suara anak lelaki yang belum tumbuh jenggotnya, suaranya adalah fitnah, dan wajahnya adalah fitnah, dia bernyanyi mengajak pada perzinaan, kemaksiatan dan pada minuman khamr, disertai dengan alat-alat musik yang diharamkan oleh Rasulullah ﷺ di sekian banyak hadits, sebagaimana akan datang penyebutannya, disertai dengan bertepuk tangan dan menari. Maka itu adalah bentuk kemungkaran yang tidak dihalalkan oleh satu orangpun dari pemeluk agama, lebih-lebih lagi pemilik ilmu dan keimanan.
Dan mereka berdalilkan dengan nyanyian dua gadis kecil yang belum terbebani syariat yang mengumandangkan nasyid-nasyid badui dan semisalnya yang berisi keberanian dan semisalnya, pada hari ‘Id tanpa ada rayuan/godaan ataupun rebana ataupun tarian ataupun tepuk tangan di dalamnya.
Mereka meninggalkan dalil yang jelas dan terang untuk mendapatkan dalil yang masih samar-samar ini. Dan itulah sifat setiap ahli batil.
Iya, kami tidak mengharamkan dan tidak memakruhkan amalan semisal yang dikerjakan di rumah Rasulullah ﷺ dalam bentuk tadi. Dan kami dengan seluruh pemilik ilmu dan keimanan hanyalah mengharamkan nyanyian yang menyelisihi isi hadits tadi. Dan hanya dengan pertolongan Allah sajalah kita mendapatkan taufiq.”
(selesai dari “Ighatsatil Lahfan”/1/hal. 257).
Ucapan Al Imam Ibnul Qayyim sangat benar dan bagus, hanya saja untuk ucapan beliau: “Tanpa ada rebana”, maka yang benar dalam hadits tadi adalah: para gadis kecil tadi memainkan rebana.
Dan Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله dalam bantahan beliau pada orang yang berkata tentang bolehnya lelaki memainkan rebana, beliau berkata: “... hadits-hadits yang kuat di dalamnya ada idzin untuk wanita memainkan rebana. Dan para lelaki tidaklah dimasukkan ke dalam urusan para wanita karena adanya dalil umum yang melarang lelaki menyerupai wanita.” (“Fathul Bari”/9/hal. 226).
------------------------
( “DAKWAH JANGAN MEMAKAI MUSIK IKUTILAH GENERASI TERBAIK” | Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy حفظه الله )
---------------