Apakah makruh jika hanya puasa pada 10 Muharam?
Soal :
Di Jawab oleh Syaikhuna Abu Fairuz hafidzahullah :
Puasa tanggal sepuluh Muharram adalah sunnah muakkadah. Tapi manakala Rasulullah ﷺ bertekad menambahkan tanggal sembilan untuk dipuasai agar menjadi bentuk penyelisihan terhadap Ahli Kitab, itu menunjukkan pentingnya masalah ini (menyelisihi Ahli Kitab) dikhawatirkan kita akan terjatuh pada perkara yang makruh atau minimalnya adalah menyelisihi yang lebih utama, karena kita ini diperintahkan untuk mengikuti sunnah Nabi kemanapun sunnah beliau beredar, dan kita dilarang meniru sunnah orang kafir seperti apapun bentuknya.
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:
حين صام رسول الله صلى الله عليه و سلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه قالوا: يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع». قال: فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم. (أخرجه مسلم (1134)).
“Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم berpuasa hari Asyuro dan memerintahkan agar orang-orang puasa hari itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.” Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika tahun depan datang, insya Alloh kita akan puasa hari kesembilan.” Ternyata tidaklah datang tahun depan hingga Rasulullah صلى الله عليه وسلم wafat.” (HR. Muslim (1134)).
Hadits ini menunjukkan disyariatkan menyelisihi orang Yahudi dalam bentuk peribadatan.
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Sebagian ulama berkata: “Dan barangkali sebab puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh adalah agar tidak mirip dengan Yahudi yang menyendirikan hari kesepuluh. Dan dalam hadits ini ada isyarat kepada makna tadi.” (“Al Minhaj”/8/hal. 13).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan manakala puasa hari Asyuro itu tidak mungkin digantikan dengan yang lainnya karena luputnya hari yang lain, maka kita diperintahkan untuk menggabungkan kepadanya sehari sebelumnya dan sehari setelahnya agar hilanglah bentuk keserupaan.” (“Ahkam Ahlidz Dzimmah”/hal. 242).
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Karena sesungguhnya jelas bahwasanya beliau صلى الله عليه وسلم dulu berpuasa pada hari kesepuluh dan ingin berpuasa pada hari kesembilan, tapi beliau meninggal sebelum itu. Keinginan beliau untuk berpuasa pada hari kesembilan mengandung kemungkinan bahwasanya maknanya adalah bahwasanya beliau tidak mencukupkan diri dengan hari kesembilan saja, bahkan menggabungkan hari kesembilan itu kepada hari kesepuluh, mungkin sebagai kehati-hatian, dan mungkin untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashara, dan inilah yang kuat.” (“Fathul Bari”/4/hal. 245).
Menyerupakan diri dengan orang-orang kafir itu terlarang, dan di dalamnya ada bahaya bagi agama muslimin. Dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma bahwasanya Nabi -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia adalah termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad (5232) dan Abu Dawud (4026). Hadits shohih. Rujuk ucapan Al Imam Al Albaniy رحمه الله dalam “Irwaul Gholil” no. (1269)/cet. Al Maktabul Islamiy).
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan ini adalah sanad yang jayyid.” Beliauرحمه الله juga berkata: “Dan hadits ini keadaan minimalnya adalah menuntut diharomkannya penyerupaan dengan mereka, sekalipun lahiriyyahnya menuntut kafirnya orang yang menyerupakan diri dengan mereka, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala:
{وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ}
“Dan barangsiapa berloyalitas dengan mereka maka sungguh dia itu termasuk dari mereka.”
-sampai pada ucapan beliau:- mungkin saja bahwasanya dirinya itu termasuk dari mereka sesuai dengan kadar penyerupaan dirinya dengan mereka. jika yang diserupai tadi merupakan kekufuran, atau kemaksiatan, atau syiar untuknya, maka hukum orang itu juga demikian. Dalam keadaan apapun, dalil tadi mengharuskan diharomkannya penyerupaan.” (“Al Iqtidho”/1/hal. 270-271/Maktabatur Rusyd).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan rahasianya adalah: bahwasanya penyerupaan dalam jalan yang bersifat lahiriyyah itu merupakan sarana untuk terjadinya kesesuaian dalam maksud dan amalan.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/3/hal. 140).
والله تعالى أعلم.
( Faidah dari Abu Fatih Pinrang dari Abu Adam Malaysiy حفظهما الله )
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy