Header Ads

Atsar Ibnu Abbas Tentang Shalatnya Wanita Yang Suci Dari Haid Setelah Masuk Waktu Asar

Atsar Ibnu Abbas Tentang Shalatnya Wanita Yang Suci Dari Haid Setelah Masuk Waktu Asar



Pertanyaan apakah shahih atsar Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:

إِذَّا طَهُرَتِ اْلحَائِضُ فِي وَقْتِ صَلَاةِ الْعَصْرِ فَلْتَبْتَدِءْ بِالظُّهْرِ فَلْتُصَلِّهَا ثُمَّ لِتُصَلِّ الْعَصْرَ. فَإِذَا طَهُرَتْ فِي وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ فَلْتُصَلِّ اْلمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ.

“Apabila seorang wanita yang haid telah suci di waktu shalat asar, maka hendaknya dia memulai dengan mengerjakan shalat zhuhur, lalu hendaknya dia menunai shalat asar. Jika dia suci di waktu shalat isya yang akhir, hendaknya dia mengerjakan shalat maghrib dan isya”.
----------------------

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah:

Atsar Ibnu Abbas رضي الله عنهما diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam “Al Mushannaf” (7207) yang berkata: Husyaim telah menyampaikan hadits kepada kami: dari Yazid: dari Miqsam: dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما semisal itu. Yaitu semisal ucapan Atha tentang wanita haidh:

إِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ صَلَّتِ الظُّهْرَ وَاْلعَصْرَ، وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ الْفَجْرِ صَلَّتِ اْلمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ.

“Apabila dia telah suci sebelum terbenamnya matahari, maka hendaknya dia mengerjakan shalat zhuhur dan shalat asar. Dan jika dia suci sebelum waktu fajar, hendaknya dia mengerjakan shalat maghrib dan isya”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Mushannaf” no. (7207)).

Dan diriwayatkan oleh Ad Darimiy dalam “As Sunan” (889) yang berkata: Abdullah Bin Muhammad mengabarkan kepada kami: dari Abu Bakr Bin ‘Ayyasy: dari Yazid Bin Abi Ziyad: dari Miqsam: dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما semisal itu.

Juga diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dalam “Al Ausath” (795) yang berkata: Ali Bin Abdil Aziz menyampaikan hadits kepada kami: Hajjaj Bin Minhal meyampaikan hadits pada kami: Abu Awanah menyampaikan hadits pada kami: dari Yazid Bin Abi Ziyad: dari Miqsam: dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما semisal itu.

Di dalam sanadnya ada: Yazib Bin Abi Ziyad, dan dia itu adalah Abu Abdillah Al Kufiy maula Quraisy, dia itu lemah namun boleh menerima dukungan. (Rujuk “Tahdzibut Tahdzib”/11/hal. 287-288).

Adapun guru dia yaitu Miqsam, maka dia adalah Abul Qasim Miqsam Bin Bajarah, beliau itu shaduq, menurut pendapat yang benar. (Rujuk “Tahdzibut Tahdzib”/10/hal. 256).

Maka sanad tadi lemah karena Yazid Bin Abi Ziyad.

Juga diriwayatkan oleh AI Baihaqiy di dalam “As Sunanul Kubra” (1687) yang berkata: Abu Abdillah Al Hafizh telah mengabari kami: Abu Bakr Bin Ishaq Al Faqih telah menyampaikan hadits kepada kami: Muhammad Bin Ahmad Ibun Nadhr telah menyampai hadits kepada kami: Mu’awiyah Bin Amr telah menyampaikan hadits kepada kami: Zaidah telah menyampaikan hadits kepada kami: dari Yazid Bin Abi Ziyad: dari Thawus: dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:

إِذَّا طَهُرَتِ اْلحَائِضُ فِي وَقْتِ صَلَاةِ الْعَصْرِ فَلْتَبْتَدِءْ بِالظُّهْرِ فَلْتُصَلِّهَا ثُمَّ لِتُصَلِّ الْعَصْرَ. فَإِذَا طَهُرَتْ فِي وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ فَلْتُصَلِّ اْلمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ.

“Apabila seorang wanita (yang haid) telah suci di waktu shalat asar, maka hendaknya dia memulai dengan mengerjakan shalat zhuhur, lalu hendaknya dia menunai shalat asar. Jika dia suci di waktu shalat isya yang akhir, hendaknya dia mengerjakan shalat maghrib dan isya”.

Dan juga diriwayatkan oleh Laits Bin Abi Sulaim: dari Thawus dan Atha: dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:

وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ الْفَجْرِ صَلَّتِ اْلمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ.

Dan jika dia suci sebelum waktu fajar, hendaknya dia mengerjakan shalat maghrib dan isya”.

Dan atsar ini ada dalam riwayat yang diijazahkan kepadaku oleh Abu Abdillah untuk meriwayatkannya dari beliau, yang berkata: Abul Walid telah mengabarkan kepada kami: Asy Syamati telah menyampaikan hadits kepada kami: Abu Sa’id Al Asyajj telah menyampaikan hadits kepada kami: Hafsh telah menyampaikan hadits kepada kami: dari Laits. Lalu beliau menyebutkan atsar tadi.

Al Baihaqiy رحمه الله telah menyebutkan dua sanad. Sanad yang pertama di dalamnya ada Yazid Bin Abi Ziyad dan dia itu lemah. Namun dia dikuatkan oleh Laits Bin Abi Sulaim yang ada di dalam sanad kedua. Laits ini lemah namun boleh untuk menjadi pendukung.

Maka jadilah atsar Ibnu Abbas رضي الله عنهما hasan lighairih.

Datang juga atsar dari Abdurrahamn Bin Auf رضي الله عنه :

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushannaf” (7205) dan Al Fadhl Bin Dukain dalam “Fadhailush Shalah” no. (18), kedua-duanya berkata: Hatim Bin Ismail telah menyampaikan hadits pada kami: dari Muhammad Bin Utsman Al Makhzumiy yang berkata: nenekku mengabarkan kepadaku: dari seorang maula dari Abdurrahman Bin Auf yang berkata: saya mendengar beliau berkata:

إِذَا طَهُرَتْ اْلحَائِضُ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ صَلَّتِ الظُّهْرَ وَاْلعَصْرَ، وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ الْفَجْرِ صَلَّتِ اْلمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ.

“Apabila wanita yang haid telah suci sebelum terbenamnya matahari; hendaknya dia mengerjakan shalat zhuhur dan shalat asar. Dan jika dia suci sebelum fajar; hendaknya dia mengerjakan shalat maghrib dan isya”.

Dan diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dalam “Al Ausath” no. (794) seraya berkata: Musa Bin Harun menyampaikan hadits pada kami: Abu Bakr Bin Abi Syaibah menyampaikan hadits pada kami, dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Al Baihaqiy dalam “As Sunanul Kubra” (1686) dan “Ma’rifatus Sunan Wal Atsar” no. (618) seraya berkata: “Abu Hazim Al Hafizh mengabarkan kepada kami: Abu Ahmad Al Hafizh mengabarkan pada kami: Abul Qasim Al Baghawiy menyampaikan hadits pada kami: Syuraih Bin Yunus menyampaikan hadits pada kami: Abdul Aziz Bin Muhammad Ad Darawardiy menyampaikan hadits pada kami: dari Muhammad Bin Utsman Bin Abdirrahman Bin Sa’id Bin Yarbu’: dari kakeknya yaitu Abdurrahman: dari maula dari Abdurrahman Bin Auf, dan seterusnya.

Di dalam sanadnya ada maula Abdurrahman Bin Auf, dan tidak diketahui siapakah dia? Maka sanad ini lemah.

Dan Abdurrazzaq meriwayatkan dalam “Al Mushannaf” (1285): dari Ibnu Juraij yang berkata: saya diberi hadits dari Abdurrahman Bin Auf yang berkata:

إِذَا طَهُرَتْ اْلمَرْأَةُ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ صَلَّتِ صَلَاةَ النَّهَارِ كُلَّهاَ، وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ صَلَّتِ صَلَاةَ اللَّيْلِ كُلَّهَا.

“Apabila wanita (yang haid) telah suci sebelum terbenamnya matahari; hendaknya dia mengerjakan shalat siang (zhuhur dan asar) semuanya. Dan jika dia suci sebelum terbitnya fajar; hendaknya dia mengerjakan shalat malam (maghrib dan isya) semuanya”.

Sanad ini lemah juga, karena Ibnu Juraij itu mudallis (menyembunyikan aib sanad –pen), dan beliau telah melakukan tadlis di dalam riwayat tadi sebagaimana yang Anda lihat. Akan tetapi kita boleh mencari penguatan dari tadlis beliau karena beliau itu pada asalnya adalah tsiqah.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalaniy رحمه الله berkata: “Abdul Malik Bin Abdil Aziz Ibni Juraij Al Umawiy, maula mereka, Al Makkiy, tsiqah, faqih, fadhil, dan beliau terkadang mentadlis dan memotong sanad. Beliau termasuk tingkatan keenam”. (“Taqribut Tahdzib”/2/hal. 363).

Para anggota tingkatan keenam itu tidaklah jauh dari zaman para Sahabat رضي الله عنهم.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalaniy رحمه الله berkata tentang tingkatan para rawi: “Tingkatan yang keenam adalah level para rawi yang sezaman dengan level kelima, namun tidak pasti bahwasanya mereka berjumpa dengan satu orangpun dari para Sahabat, seperti Ibnu Juraij”. (“Taqribut Tahdzib”/1/hal. 1).

Maka bolehlah sanad yang kedua ini menjadi penguat bagi sanad yang pertama.

Saya telah menanyakan kondisi kedua sanad tadi kepada Fadhilatu Syaikhina Al Muhaddits Al Allamah Muhammad Bin Ali Bin Hizam Al Yamaniy Al Fadhliy حفظه الله maka beliau menjawab: “Iya, tidak mengapa untuk menghasankannya, insya Allah”. Selesai penukilan.

Dan barangsiapa memilih tidak menerima penguatan dari jalur kedua tadi maka tidak mengapa karena memang penyembunyian yang dilakukan Ibnu Juraij itu kurang menenangkan di hati.

Maka yang nampak bagi saya –dengan ilmu saya yang dangkal, sementara Allah Maha Tahu- adalah: madzhab ini telah pasti datang dari Abdurrahman Bin Auf dan Ibnu Abbas رضي الله عنهم, bahwasanya beliau berdua berpendapat: “Apabila seorang wanita (yang haid) telah suci di waktu shalat asar, maka hendaknya dia memulai dengan shalat zhuhur, lalu hendaknya dia menunai shalat asar. Jika dia suci di waktu shalat isya yang akhir, hendaknya dia mengerjakan shalat maghrib dan isya”.

Dan ini juga pendapat mayoritas para ulama.

Al Imam Al Baihaqiy رحمه الله berkata: “Dan itu adalah pendapat jamaah dari para Tabi’in. Asy Syafi’iy setelah berdalilkan dengan sunnah dalam menjamak dua shalat di Arafah, dan di Muzdalifah, beliau berdalilkan dengan apa yang kami riwayatkan dari Abdurrahman Bin Auf dan Abdullah Bin Abbas”. (“Ma’rifatus Sunan Wal Atsar”/2/hal. 238).

Al Imam Al Baihaqiy رحمه الله berkata: “Dan kami telah meriwayatkan dari jamaah Tabi’in selain mereka berdua –yaitu: selain Thawus dan Atha-, dan dari Fuqaha yang tujuh dari penduduk Madinah”. (“As Sunanul Kubra”/1/hal. 387).

Al Imam Ibnul Mundzir رحمه الله berkata: “Dan itu adalah pendapat Thawus, An Nakha’iy, Mujahid, Az Zuhriy, Rabi’ah Bin Abi Abdirrahman, Malik Bin Anas, Al Laits Bin Sa’ad, Asy Syafi’iy, Ahmad Bin Hanbal, Abu Tsaur, Ishaq.

Dan dulu Al Hakam dan Al Auza’iy berkata: ‘Jika wanita tadi suci di akhir siang (akhir waktu asar –pen), hendaknya dia mengerjakan shalat zhuhur dan asar’.

Sebagian ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berhujjah dengan bahwasanya Nabi ﷺ menjamak zhuhur dan asar, juga antara maghrib dengan isya. Manakala waktu zhuhur adalah waktu bagi asar di suatu keadaan, dan waktu asar adalah waktu zhuhur di suatu keadaan, lalu seorang waktu menjadi suci pada waktu asar, wajiblah baginya untuk dua shalat, karena waktu asar adalah waktu zhuhur di suatu keadaan”.
(Selesai dari “Al Ausath”/Ibnul Mundzir/3/hal. 89).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Jika seorang yang kafir itu masuk Islam atau wanita yang haid aau nifas  menjadi suci di bagian akhir dari waktu shalat, sekalipun hanya seukuran takbiratul ihram saja; mereka wajib untuk bershalat sebagai penunaian jika memungkinkan, atau jika tidak memungkinkan maka sebagai pembayaran hutang, tanpa ada perselisihan di dalam madzhab ini, karena mereka berdua telah mendapati sebagian dari waktu shalat tersebut dalam bentuk yang sah dibangun di atas kewajiban dia untuk menunaikan shalat yang setelahnya. Maka hal itu mirip dengan situasi yang mana memungkinkan bagi dia untuk mengerjakan semua (rekaat dari) shalat itu di waktu tersebut.

Demikian pula jika anak kecil mencapai usia baligh, dan orang gila telah kembali berakal dan kami katakan (sebelum masa itu) mereka berdua tidak wajib shalat.

Jika mereka mendapatkan kewajiban tadi di waktu shalat yang kedua dari gabung dua shalat; wajiblah mereka menunaikan shalat yang pertama juga; berdasarkan apa yang disebutkan oleh Al Imam Ahmad dan yang lainnya: dari Abdurrahman Bin Auf dan Abdullah Bin Abbas رضي الله عنهم yang berkata: “Apabila wanita (yang haid) telah suci sebelum terbenamnya matahari; hendaknya dia mengerjakan shalat zhuhur dan asar. Dan jika dia suci sebelum terbitnya fajar; hendaknya dia mengerjakan shalat maghrib dan isya”.

Harb meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata:

إِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ صَلَّتِ اْلمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ.

“Apabila dia (wanita yang haid) telah suci sebelum terbitnya fajar; hendaknya dia mengerjakan shalat maghrib dan isya”.

Yang demikian itu karena waktu-waktu shalat adalah lima di dalam keadaan ikhtiyar (pilihan), dan hanya tiga di dalam situasi udzur dan darurat, dengan dalil firman Allah ta’ala:

﴿وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ﴾ [هود: 114].

“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam”.

Dan firman-Nya سبحانه:

﴿أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا﴾ [الإسراء: 78].

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.

Dan sesungguhnya Sunnah telah berjalan dengan pola itu dalam situasi udzur sehingga boleh mengerjakan shalat zhuhur dan asar di antara waktu zawal sampai terbenamnya matahari, dan boleh mengerjakan shalat maghrib dan isya di antara waktu terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar, dan itu adalah menjamak antara dua shalat jika orang itu menunda shalat yang pertama dengan niat menjamak, lalu terjadilah suatu udzur untuknya yang mana dengan sebab itu mengakhirkan keduanya ke waktu darurat. Dan ini adalah waktu darurat. Maka dari itu dia dinilai telah mendapatkan waktu yang pertama dengan keadaan yang dengan itu dia mendapatkan waktu yang kedua.

Jika dia mendapatkan waktu pertama, yaitu: wanita tadi mengalami haid pada waktu zhuhur atau maghrib, atau seorang lelaki mengalami gila di waktu tersebut; maka apakah mereka berdua wajib mengqadha asar dan isya? Ada dua riwayat, yang pertama: mereka wajib mengqadha karena waktu kedua shalat tadi (zhuhur dan asar, atau maghrib dan isya) adalah satu.

Riwayat kedua: tidak wajib mengqadha, dan riwayat inilah yang didukung oleh para sahabat kami (Hanabilah), karena waktu shalat yang pertama hanyalah menjadi waktu bagi shalat yang kedua jika orang tadi telah mengerjakan shalat yang pertama, dan jadilah shalat yang kedua sekedar menjadi pengikut saja bagi shalat yang pertama. Ini berbeda dengan waktu shalat yang kedua, karena dia itu menjadi waktu bagi shalat yang pertama, sama saja dia telah mengerjakan yang pertama ataukah belum”.
(Selesai dari “Syarh Umdatul Fiqih”/Ibnu Taimiyyah/hal. 207-208).

Sebagian Salaf berpendapat bahwasanya wanita yang haid tadi jika telah suci; dia tidak wajib kecuali mengerjakan shalat yang mana dia telah suci di waktu itu. Ini shahih dari Al Hasan dan Qatadah.

Dari Al Hasan yang berkata:

إِذَا طَهُرَتْ فِي وَقْتِ الْعَصْرِ صَلَّتِ الْعَصْرَ وَلَمْ تُصَلِّ الظُّهْرَ.

“Jika wanita tadi telah suci di waktu asar, dia wajib shalat asar, dan tidak wajib shalat zhuhur”. (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam “Al Mushannaf” (1286), Ad Darimiy dalam “As Sunan” no. (890) dengan sanad yang shahih).

Dan dari Qatadah yang berkata:

إِذَا طَهُرَتِ اْلحَائِضُ فِي وَقْتِ صَلَاةٍ صَلَّتْ تِلْكَ الصَّلَاةَ، وَإِذَا لَمْ تَطْهُرْ فِي وَقْتِهَا لَمْ تُصَّلِ تِلْكَ الصَّلَاةَ.

“Jika wanita yang haid tadi telah suci di waktu suatu shalat; dia wajib mengerjakan shalat tersebut, dan jika dia tidak suci di waktu shalat itu; dia tidak wajib mengerjakan shalat itu”. (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam “Al Mushannaf” (1287), dengan sanad yang shahih).

Al Imam Ibnul Mundzir رحمه الله merajihkan perndapat yang kedua.
Beliau berkata: “Waktu yang mana Nabi ﷺ menjamak dua shalat di dalamnya ada perbedaan dengan waktu yang mana hanya tersisa dari waktu siang sekedar cukup hanya untuk seseorang mengerjakan shalat sebanyak satu rekaat saja, karena waktu yang mana Sunnah membolehkan untuk menjamak dua shalat di dalamnya adalah jika orang tadi mengerjakan kedua shalat tadi di waktunya, seperti Jum’at di Arafah, menjamak antara zhuhur dan asar, dan di Muzdalifah menjamak antara maghrib dan isya, dan di tempat yang lain dari safar-safar yang ada. Dan itu semua boleh, kita diperbolehkan meneladani Rasulullah ﷺ di dalam amalan tadi di waktu macam itu, karena pelakunya adalah orang yang mengikuti Sunnah.

Sementara itu: waktu yang mana wanita haid menjadi suci sebelum terbenamnya matahari dalam tempo satu rekaat adalah waktu yang mana para ulama tidak berselisih pendapat bahwasanya orang yang meninggalkan dua shalat sehingga tersisalah masa sebelum terbenamnya matahari satu rekaat saja, lalu dia menjamak kedua shalat tadi, kemudian dia mengerjakan shalat satu rekaat sebelum terbenamnya matahari dan tujuh rekaat setelah terbenamnya matahari; maka dia itu adalah pendurhaka kepada Allah تبارك وتعالى, dia tercela jika menyengaja melakukan itu tanpa situasi udzur.

Jika memang demikian; maka tidak boleh untuk hukum waktu yang mana dia dimubahkan untuk menjamak dua shalat itu dijadikan sama dengan hukum waktu yang dia dilarang untuk menjamak dua shalat.

Para ulama telah bersepakat bahwasanya wanita yang haid itu tidak wajib shalat, lalu mereka berselisih tentang: apa sajakah shalat yang wajib dia tunaikan jika dia suci di akhir waktu asar? Mereka bersepakat bahwasanya dia wajib mengerjakan shalat asar. Dan mereka berselisih pendapat: apakah dia wajib shalat zhuhur? Dan tidak boleh untuk wanita tadi dibebani kewajiban untuk menunaikan suatu shalat yang masih diperselisihkan dan orang yang mewajibkannya itu tidak punya hujjah atas itu.

Di dalam sabda Nabi ﷺ:

«مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ غُرُوْشِ الشَّمْسِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ».

“Barangsiapa mendapatkan satu rekaat dari asar sebelum terbenamnya matahari; maka sungguh dia telah mendapatkan asar”.

Itu menjadi dalil bahwasanya orang tadi mendapatkan waktu asar, bukan waktu zhuhur.

Sekelompok ulama berkata: ‘Jika wanita itu suci di waktu asar, dia wajib shalat asar, dan dia tidak wajib shalat zhuhur’. Itu adalah ucapan Al Hasan Al Bashriy, Qatadah, Hammad Bin Abi Sulaiman.

Sufyan Ats Tsauriy berkata: ‘Jika wanita tadi mau, jika dia shalat silakan dia shalat zhuhur dan asar, dan dia tidak wajib kecuali shalat asar’. Demikian pula ucapan beliau di waktu maghrib dan isya. Dia tidak wajib shalat maghrib jika dia suci setelah syafaq menghilang’.

Dan dikisahkan dari An Nu’man (Abu Hanifah) bahwasanya dia berkata: ‘Tidak wajib baginya kecuali shalat yang mana dia menjadi suci di waktu itu’.

Kelompok ulama yang lain berkata: ‘Jika wanita haid melihat kesuciannya sebelum terbenamnya matahari, maka dia wajib mandi dan mengerjakan shalat zhuhur dan asar. Namun jika tidak tersisa untuknya dari waktu siang kecuali hanya untuk satu shalat maka dia wajib mengerjakan shalat asar. Jika masih tersisa untuknya dari siang hari waktu untuk mengerjakan shalat zhuhur dan satu rekaat dari shalat asar sebelum terbenamnya matahari; dia wajib mengerjakan shalat zhuhur dan asar. Dan jika dia melihat kesuciannya itu sbelum terbitnya fajar, maka dia wajib mandi dan mengerjakan shalat isya. Dan jika masih tersisa untuknya dari malam hari itu waktu untuk mengerjakan shalat maghrib dan satu rekaat shalat isya; dia wajib untuk mengerjakan shalat maghrib dan isya’. Dan itu adalah pendapat Malik.

Al Auza’iy berkata: ‘Jika wanita tadi melihat kesuciannya, dan dia selesai dari mandi sebelum terbenamnya matahari sekedar waktu untuk satu shalat saja; dia wajib mandi dan shalat asar, dan dia tidak wajib membayar shalat zhuhur’.”.
(Selesai dari “Al Ausath”/Ibnul Mundzir/3/hal. 89).
 
Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله merajihkan pendapat kedua (pendapat Al Hasan dan lain-lain). Namun kemanakah kita membawa ucapan para Sahabat?

Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: “Atsar yang datang dari Sahabat tadi –jika shahih-, kita bawa kepada kehati-hatian saja, karena khawatir faktor penghalang shalat telah hilang sebelum habisnya waktu yang pertama, terutama haid, karena haid itu terkadang waktu habisnya (datangnya kesuciannya) tidak diketahui oleh si wanita kecuali setelah berlalunya suatu selang waktu dari kesuciannya”. (“Asy Syarhul Mumti’”/2/hal. 63).

Hujjah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله yang mendukung pendapat Ibnu Abbas dan Abdurrahman Bin Af serta mayoritas para Salaf kuat sekali. Maka kita mengikutinya sebagai bentuk perajihan ataupun kehati-hatian.

Dan ini juga yang dirajihkan oleh Al Imam Ibnu Baz رحمه الله yang mana beliau berkata: “Jika wanita tadi suci dari haid atau nifas di waktu asar wajiblah dia untuk shalat zhuhur dan asar semuanya menurut yang paling shahih dari pendapat para ulama, karena kedua shalat tadi adalah satu untuk orang yang mendapatkan udzur, seperti orang yang sakit dan musafir. Dan wanita ini mendapatkan udzur dikarenakan tertundanya kesuciannya. Demikian pula jika dia suci di waktu isya wajiblah dia untuk shalat maghrib dan isya semuanya sebagaimana yang telah lalu. Dan sejumlah Sahabat رضي الله عنهم telah berfatwa demikian”. (“Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibni Baz”/10/hal. 139).

Namun barangsiapa merajihkan pendapat kedua, maka dipersilakan.

والله أعلم بالصواب. والحمد لله رب العالمين.

Malaysia, 11 Rabi’ul Awwal 1441 H

(dikutip dari Kitab : " Al Ajwibatusy Syar'iyyah 'anil As-ilatil Haditsiyyah Al Fiqhiyyah | terjemah bebas : Jawaban Yang di Syariatkan tentang Hadits dan Pemahaman" | karya Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy حفظه الله)

Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy
Diberdayakan oleh Blogger.