Faidah kedua belas: agar semua pihak mengetahui bahwasanya para mubtadi’ adalah orang-orang yang hina dan rendah
Faidah kedua belas: agar semua pihak mengetahui bahwasanya para mubtadi’ adalah orang-orang yang hina dan rendahUntuk pemesanan klik gambar
Allah ta’ala berfirman:
﴿إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ الله وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ﴾ [المجادلة/20].
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya mereka itulah yang berada di kalangan orang-orang yang paling rendah.”
Allah سبحانه berfirman:
﴿وَالَّذِينَ كَسَبُوا السَّيِّئَاتِ جَزَاءُ سَيِّئَةٍ بِمِثْلِهَا وَتَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ﴾ [يونس: 27].
“Dan orang-orang yang melakukan keburukan-keburukan maka balasan suatu keburukan adalah (keburukan) yang semisal dengannya, dan mereka akan tertimpa kehinaan.”
Allah جل ذكره berfirman:
﴿إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ﴾ [الأعراف: 152].
“Sesungguhnya orang-orang yang mengambil (patung) anak lembu (sebagai sesembahan) mereka akan tertimpa kemurkaan dari Rabb mereka dan kehinaan di dalam kehidupan dunia, dan demikianlah Kami membalas orang-orang yang membuat-buat kedustaan.”
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Adapun kehinaan; maka Allah menyusulkan kepada mereka setelah kemurkaan tadi dengan kehinaan dan kerendahan di dalam kehidupan dunia. Dan firman Allah: “Dan demikianlah Kami membalas orang-orang yang membuat-buat kedustaan” akan menimpa setiap orang yang membuat-buat kebid’ahan, karena kehinaan bid’ah dan kehinaan penyelisihan terhadap Risalah akan bersambung dari jantungnya kepada kedua pundaknya, sebagaimana ucapan Al Hasan Al Bashriy: “Sesungguhnya kehinaan bid’ah berada di atas pundak-pundak mereka, sekalipun bighal (peranakan kuda dan keledai –pen) dan birdzaun (kuda bangsawan –pen)berderap membawa mereka.”
Demikianlah Ayyub As Sakhtiyaniy meriwayatkan dari Abu Qilabah Al Jarmiy: bahwasanya dia membaca ayat tadi ”Dan demikianlah Kami membalas orang-orang yang membuat-buat kedustaan.” Beliau berkata: “Demi Allah, ayat ini menimpa setiap orang yang membuat-buat kedustaan sampai pada Hari Kiamat.”
Sufyan Bin Uyainah berkata: “Setiap pelaku bid’ah adalah orang yang hina.”
(Selesai dari “Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/3/hal. 477-478).
Al Allamah Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Maka ayat tadi mencakup mereka dan orang-orang yang menyerupai mereka karena semua bid’ah adalah kedustaan atas nama Allah sesuai dengan yang Allah kabarkan di dalam kitab-Nya, di dalam firman-Nya ta’ala:
﴿قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلَادَهُمْ سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللهُ افْتِرَاءً عَلَى اللهِ﴾ [الأنعام: 140].
“Sungguh telah rugilah orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan mereka, tanpa didasari oleh ilmu, dan mereka mengharamkan sesuatu yang Allah rezekikan kepada mereka; sebagai bentuk kedustaan mereka atas nama Allah.”
Maka jika demikian: setiap orang yang membuat kebid’ahan di dalam agama Allah maka dia itu adalah hina dan rendah disebabkan oleh kebid’ahannya, sekalipun secara sekilas pandang dia itu nampak mulia dan gagah; maka mereka itu di dalam jiwa mereka adalah orang-orang yang paling hina.
Dan juga maka sesungguhnya kehinaan yang hadir di hadapan kita ini terwujud di hampir semua keadaan. Apakah engkau tidak melihat keadaan para mubtadi’ah di zaman Tabi’in dan yang setelahnya? Sampailah kemudian mereka bergaul dengan para penguasa dan berlindung kepada para pengekor dunia. Dan mubtadi’ yang tidak mampu melakukan itu maka dia merahasiakan kebid’ahannya dan lari membawa kebid’ahannya menjauh dari pergaulan dengan mayoritas Muslimin, dan dia mengerjakan bid’ah secara sembunyi-sembunyi.”
(Selesai dari “Al I’tisham”/hal. 90).
Dan termasuk yang menunjukkan hinanya para mubtadi’ah adalah hadits Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنهما berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ الله لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
“Aku diutus dengan pedang hingga Allah diibadahi tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dan rizqiku dijadikan ada di bawah naungan tombakku. Dan kehinaan dan kerendahan itu dijadikan menimpa orang yang menyelisihi perintahku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia itu adalah termasuk dari mereka” (HR. Imam Ahmad (5114), Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushannaf” (19401), Abu Dawud (4026), Abd bin Humaid dalam “Al Muntakhab” (848) dan Ath Thabraniy dalam “Musnadusy Syamiyyin” (216). Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Dan sanad hadits ini jayyid.” (“Iqtidhaush Shirathil Mustaqim”/ 1/hal. 270-271).
Maka orang yang dihinakan oleh Allah disebabkan oleh kemaksiatannya dan kebatilannya; tidak boleh bagi kita untuk menghormatinya dan mengagungkannya. Bahkan kita wajib memerangi para mubtadi’ah sehingga dengan itu terwujudlah syariat penghinaan terhadap mereka.
Al Imam Ibnu Wadhdhah رحمه الله menyebutkan bahwasanya Asad bin Musa berkata dalam kitabnya yang ditulis kepada Asad bin Furath: "Ketahuilah, wahai Saudaraku. Bahwasanya yang menggerakkanku untuk menulis surat kepadamu ini adalah apa yang disebutkan oleh penduduk setempatmu mengenai keshalehan yang telah Allah anugerahkan kepadamu yang diantaranya adalah keadilanmu terhadap sesama manusia, keadaanmu yang baik dengan menampakkan sunnah, celaanmu terhadap ahli bid'ah dan banyaknya celaanmu terhadap mereka. Sehingga Allah menghancurkan mereka dan menguatkan tulang belakang Ahlus Sunnah melalui tanganmu dan menguatkanmu di atas mereka dengan cara membongkar aib dan mencela mereka. Maka Allah pun menghinakan mereka dengan hal tersebut. Maka jadilah mereka itu pun bersembunyi dengan kebid'ahan mereka. Maka bergembiralah wahai Saudaraku dengan pahala amalanmu tersebut. Anggaplah hal tersebut termasuk amalan baikmu yang lebih utama dari shalat, haji dan jihad. Dimanakah keutamaan amalan-amalan tersebut dibandingkan dengan menegakkan Kitabullah dan menghidupkan Sunnahnya?!" ("Al-Bida' wan Nahi 'Anha" oleh Ibnu Wadhdhah/1/hal. 7).
Al Imam Ibnu ‘Asakir رحمه الله berkata: Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad biografi Imam Ahmad bin 'Aunillah Abu Ja'far Al-Andalusi (tahun 378H): “Dahulu Abu Ja'far Ahmad bin 'Aunillah adalah seorang yang senantiasa ber-ihtisab (mengharapkan pahala) dalam bersikap keras terhadap ahlul bida' dan menghinakan mereka, mencari kejelekan-kejelekan mereka, bersegera untuk menimpakan bahaya kepada mereka, pijakannya sangat keras terhadap mereka, mengusir mereka jika bisa menguasai mereka tanpa menyisakan mereka. Orang yang termasuk dari mereka merasa takut kepada beliau dan bersembunyi dari beliau. Beliau tidak berbasa-basi pada seorangpun dari mereka sama sekali, tidak berdamai dengannya. Apabila beliau mendapati suatu kemungkaran dan menyaksikan suatu penyimpangan terhadap Sunnah, maka beliau menentangnya, membeberkan kesalahannya, secara terang-terangan menyebut namanya, berlepas diri darinya dan mencercanya dengan sebutan kejelekan di depan khalayak ramai, dan menyemangati masyarakat untuk menghukumnya hingga membinasakannya atau bertobat dari buruknya madzhabnya dan jeleknya aqidahnya. Beliau terus-menerus mengerjakan yang demikian, berjihad pada yang demikian dalam rangka mencari wajah Allah hingga berjumpa dengan Allah عز جل beliau punya kisah-kisah terkenal dan kejadian-kejadian yang disebut-sebut orang dalam menghadapi orang-orang yang menyimpang”. (“Tarikh Dimasyq”/5/hal. 118/biografi Ahmad bin 'Aunillah Abu Ja'far).
Al Imam Abu Amr Ibnush Shalah Asy Syafi’iy رحمه الله tatkala ditanya tentang para pengikut tarekat yang membolehkan nyanyian disertai dengan tarian dalam rangka beribadah kepada Allah, beliau رحمه الله menjawab: “... Maka wajib bagi pemerintah -semoga Allah memberikan taufik dan kelurusan kepada mereka- menghantam kelompok tersebut, mencurahkan kemampuan untuk menyirnakan perbuatan-perbuatan mereka yang busuk yang disebutkan tadi, memberikan hukuman terhadap mereka atas amalan mereka tadi, menuntut mereka untuk bertobat, menghancurkan perkumpulan mereka, dan tidak terpengaruh oleh celaan orang yang mencela di dalam amalan tersebut, tidak dimasuki oleh keraguan tentang sesatnya mereka, tidak menunda-nunda untuk menghinakan mereka dan menjauhkan mereka...” (“Fatawa Ibnish Shalah”/2/hal. 78).
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Yang wajib bagi mereka semua adalah untuk menjadi satu tangan bersama pihak yang benar untuk menghadapi pihak yang batil, sehingga jadilah sesuatu yang diagungkan di sisi mereka adalah orang yang dinilai agung oleh Allah dan Rasul-Nya, dan yang dikedepankan di sisi mereka adalah orang yang dikedepankan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan yang dicintai di sisi mereka adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, sementara yang terhina di sisi mereka adalah orang yang dihinakan oleh Allah, sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan sesuai dengan hawa nafsu, karena barangsiapa taat pada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah terbimbing, tapi barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka tidaklah dia membahayakan kecuali dirinya sendiri. Maka inilah dia prinsip yang mereka harus bersandar padanya.” (“Majmu’ul Fatawa” /28/hal. 17).
Al Allamah Al Munawiy رحمه الله berkata: “… Itu karena si mubtadi’ menyelisihi Sunnah, condong dari sikap istiqamah. Dan barangsiapa menghormati si mubtadi’ tadi berarti dia berusaha membengkokkan sikap istiqamah; karena membantu terjadinya lawan dari suatu perkara sama maknanya dengan membantu dihilangkannya perkara tadi. Makanya yang nampak adalah dikatakan: “Barangsiapa menghormati seorang mubtadi’ maka sungguh dia telah menghinakan Sunnah,” maka diletakkannya status “Membantu meruntuhkan Islam” pada posisi “Menghinakan Sunnah” itu merupakan pengumuman bahwasanya orang yang menghinakan Sunnah sama dengan orang yang menghinakan Islam, dan orang yang menghinakan Islam itu sama dengan orang yang meruntuhkan bangunan Islam, dan ini masuk ke dalam bab penyangatan terhadap perbuatan tadi. Kemudian jika itulah keadaan orang yang menghormati si mubtadi’ maka bagaimana lagi dengan keadaan si mubtadi’nya itu sendiri? Pemahaman kebalikannya adalah: barangsiapa menghormati Ahlussunnah, maka sungguh dia telah membantu mengokohkan Islam dan meninggikan bangunannya.” (“Faidhul Qadir”/6/hal. 237).
(Bersambung In syaa Allah)
-----------------------------
( “Al Hajr Fisy Syari’atil Islamiyyah, Ahkamuhu Wa Manafi’uhul Jaliyyah” | Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy )
Jum'at 5 Rajab 1444 / 27-01-2023
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAdDailamiy