Header Ads

Nasihat Ikhwah: Jangan Menyerang Sesama Ahli Sunnah Dengan Buku Yang Ditujukan Kepada Ahli Bid’ah

 Sesungguhnya telah terjadi beberapa perselisihan di antara sesama ikhwah Salafiyyin Tsabitin sendiri di beberapa permasalahan ilmiyah dan amaliyah, baik itu masalah ma’had Tarbiyatun Nisa, kriteria Masjid Dhirar, ataupun yang lainnya.


Dan sebagian ikhwah telah mengabari saya bahwasanya sebagian pihak dari ikhwah yang berselisih tadi menggunakan sebagian karya tulis yang saya susun dalam rangka membantah para mubtadi’ah; lalu penggunanya tadi menjadikan sebagian penukilan atau ungkapan yang ada di dalam buku-buku tadi untuk menghantam pihak lainnya. Dan saya diminta untuk memberikan komentar tentang masalah itu.

Maka saya mengatakan –dengan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala- bahwasanya saya mencintai segenap Salafiyyin dengan kecintaan yang disyariatkan. Dan karena kecintaan saya tadi kepada mereka semua; saya merangkai nasihat ini khusus untuk para Salafiyyin Tsabitin di Indonesia, dan tiada upaya serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung:
-----------------
Bab Satu: Nasihat Penulis –Semoga Allah memberinya taufik-

Pasal Pertama: Tingginya Nilai Bantahan Terhadap Mubtadi’ah

Sungguh bantahan terhadap pengekor hawa nafsu dan kebid’ahan, serta memperingatkan umat dari mereka itu termasuk ibadah dan jihad yang terbesar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: "Dan seperti para pemimpin kebid'ahan dari kalangan pemilik ucapan-ucapan yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka, dan memperingatkan umat terhadap mereka adalah wajib, dengan kesepakatan muslimin. Sampai dikatakan pada imam Ahmad bin Hanbal: "Seseorang yang berpuasa, shalat dan I'tikaf lebih Anda sukai ataukah orang yang berbicara tentang ahlul bida'?" Maka beliau menjawab,"Jika dia berpuasa, shalat dan I'tikaf, maka hanyalah hal itu untuk dirinya sendiri. Tapi jika dia berbicara tentang ahlul bida' maka itu hanyalah untuk muslimin, dan itu lebih utama." Maka beliau menerangkan bahwasanya manfaat amalan yang ini mencakup seluruh muslimin di dalam agama mereka, dari jenis jihad fisabilillah."  ("Majmu'ul Fatawa" 28/hal. 231-232).

Beliau رحمه الله juga berkata,"Maka orang yang membantah ahlul bida' adalah mujahid. Sampai-sampai Yahya bin Yahya berkata,"Pembelaan terhadap sunnah itu lebih utama daripada jihad."" ("Majmu'ul Fatawa"/4/hal. 12).

Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli رحمه الله berkata: "Aku mendengar Yahya bin Ma'in berkata,"Pembelaan terhadap sunnah itu lebih utama daripada jihad fi sabilillah." Maka kukatakan pada Yahya,"Orang itu (mujahid) menginfaqkan hartanya, membuat letih dirinya, dan berjihad. lalu orang ini (yang membela sunnah) lebih utama daripada dia!?" Beliau menjawab,"Iya, lebih utama banyak sekali." ("Siyar A'lam"/10/hal. 518).

Catatan: Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله memasukkan atsar ini ke dalam biografi Yahya bin Yahya, wallahu a’lam.

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata tentang ahlul bid'ah: "Maka menyingkap kebatilan mereka dan menjelaskan pembongkaran aib-aib mereka serta kerusakan kaidah-kaidah mereka termasuk jihad fi sabilillah yang paling utama. Nabi ﷺ telah bersabda kepada Hassan bin Tsabit رضي الله عنه:

«إن روح القدس معك ما دمت تنافح عن رسوله»

“Sesungguhnya Ruhul Quds bersamamu selama engkau membela Rasul-Nya.”
Juga bersabda:

«أهجهم أو هاجهم وجبريل معك».

“Serang mereka dengan syair, atau balas serangan syair mereka, dan Jibril bersamamu.”
Juga bersabda:

«اللهم أيده بروح القدس ما دام ينافح عن رسولك».

“Ya Allah, dukunglah dia dengan Ruhul Quds selama dia membela Rasul-Mu.”

Beliau juga bersabda tentang serangan syair beliau:
«والذي نفسي بيده لهو أشد فيهم من النبل».

“Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, benar-benar itu lebih keras bagi mereka daripada panah.”
Dan bagaimana penjelasan itu tadi tidak termasuk dari jihad fi sabilillah?” ("Shawa'iqul Mursalah" /1/hal. 114/cet. Maktabatur Rusyd).

Al Imam Al Wadi'y رحمه الله berkata:  "Karena termasuk dari bagian Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, dan bagian dari dakwah ke jalan Allah, dan bahkan termasuk jihad fi sabilillah adalah menjelaskan 'Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah, pembelaan untuknya, dan menyingkap kebatilan ahlul bida', ahlul ilhad dan peringatan dari mereka, sebagaimana Allah 'Azza Wajalla berfirman:

﴿بل نقذف بالحقّ على الباطل فيدمغه فإذا هو زاهق﴾.

"Bahkan Kami akan melemparkan al haq terhadap kebatilan sehingga dia menyirnakan kebatilan tadi, maka tiba-tiba kebatilan tadipun lenyap." (QS. Al Anbiya 18)

Maka semoga Allah membalas Ahlussunnah dengan kebaikan, karena mereka sejak zaman lampau maju menentang ahlil bida' sampai-sampai sebagian dari mereka lebih mengutamakan bantahan terhadap ahlul bida' di atas jihad fi sabilillah." ("Rudud Ahlil 'Ilmi"/Al Wadi’iy/hal. 5-6/cet. Darul Atsar).

Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmiy رحمه الله berkata: “Dan Syaikhul Islam telah menukilkan ijma’ terhadap hal itu: bahwasanya orang yang membantah ahli bid’ah dengan maksud untuk membela agama, dan pembersihan agama dari apa yang bukan dari agama, bahwasanya yang demikian terhitung sebagai jihad fi sabillah dan penjagaan syariatnya, …dst.” (“Ar Raddul Muhabbir”/An Najmiy/hal. 138/cet. Darul Minhaj).
-----------------
Pasal Kedua: Sikap Penulis –semoga Allah memberinya taufik- Terhadap Fitnah Yang Terjadi Di Antara Ikhwah Salafiyyin Tsabitin

Sungguh telah terjadi fitnah-fitnah disebabkan oleh perselisihan-perselisihan di antara sesama ikhwah Salafiyyin Tsabitin di Indonesia di beberapa permasalahan ilmiyah dan amaliyah –disertai dengan baiknya maksud mereka insya Allah-, baik itu masalah ma’had Tarbiyatun Nisa, kriteria Masjid Dhirar, ataupun yang lainnya.

Dan saya sendiri setelah mendapatkan nasihat-nasihat dari para ulama; saya berusaha untuk tetap memegang kuat wasiat para ulama yang mendalam ilmunya: bahwasanya penyelesaian kerumitan-kerumitan di Indonesia tadi adalah diserahkan kepada mereka, bukan kepada individu-individu para pelajar. Para ulama tadi juga berwasiat kepada saya untuk tidak ikut campur ke dalam perselisihan-perselisihan di antara mereka tadi.

Tiada keraguan bahwasanya kekurangan-kekurangan itu terjadi, dan kesalahan-kesalahan dari si penulis ini ada. Keterbatasan dana, waktu dan tenaga juga menyulitkan untuk bersikap adil dalam ziarah, sementara kekeliruan dalam ungkapan boleh jadi akan menyebabkan seseorang dicurigai melakukan praktek meminta-minta. Akan tetapi tidaklah sama antara orang yang berusaha dengan orang yang tidak berusaha untuk menerapkan wasiat.

Kemudian sungguh telah berulang-kali terjadi bahwasanya pelajar yang berbicara tentang perselisihan-perselisihan tadi lalu menyebarkannya di antara ikhwah; hal itu justru semakin menambah berkobarnya api fitnah.
Maka penyelesaiannya dan penguraiannya wajib diserahkan kepada para ulama, bukan kepada para pelajar, lebih-lebih lagi kepada orang-orang jahil.

Al Hafizh Ibnu Asakir رحمه الله berkata: “Sebagian ulama berkata: andaikata orang yang tidak berilmu itu diam; niscaya kita bisa beristirahat”. (“Tarikh Dimasyq”/23/hal. 280).

Kita bukan menyuruh diam terhadap kemungkaran, akan tetapi untuk memahami perselisihan dan menerapkan hukum; Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk rujuk kepada para ulama dan menaati mereka; karena mereka adalah pemegang urusan dan ahli Qur’an.
Allah ta’ala berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِالله وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴾ [النساء: 59].

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan para pemegang urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara maka kembalikanlah pada Allah dan Rasul jika kalian memang beriman pada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih bagus kesudahannya.”

Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Maka ini adalah perintah-perintah untuk taat pada ulama dan pemerintah. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman: "Taatilah Allah" yaitu: ikutilah Kitab-Nya. "Dan taatilah Rasul." Yaitu: ambillah sunnah beliau. "Dan para pemegang urusan dari kalian." Yaitu : di dalam perkara yang mereka perintahkan, berupa ketaatan pada Allah, bukan dalam kedurhakaan pada Allah, karena tidak boleh ada ketaatan pada makhluq dalam kedurhakaan pada Allah, sebagaimana telah lalu dalam hadits Shahih:

«إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي اْلمَعْرُوْفِ».

"Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang baik."
("Tafsirul Qur’anil ‘Azhim"/2/hal. 384/cet. Darul Hadits).

Allah ta’ala berfirman:
﴿وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ﴾.

“Dan jika datang pada mereka suatu perkara dari keamanan atau ketakukan, mereka menyebarluaskannya. Seandainya mereka mengembalikannya kepada Rosul atau kepada ulil amr dari mereka, niscaya hal itu akan diketahui oleh orang-orang yang mampu mengambil pelajaran di antara mereka”.
Ibnut Tin menukilkan dari Ad Dawudiy bahwasanya beliau berkata tentang firman Allah ta’ala:

﴿وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ﴾

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Adz Dzikr agar engkau menerangkan pada manusia apa yang diturnkan kepada mereka”.

Beliau berkata: “Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi telah menurunkan banyak syariat secara global, lalu Nabi-Nya menafsirkan apa yang diperlukan pada waktunya. Sedangkan perkara yang tidak terjadi pada zaman beliau; tafsirnya diserahkan kepada para ulama, berdasarkan firman Allah ta’ala:

﴿وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ﴾. النساء: 83[.

“Seandainya mereka mengembalikannya kepada Rasul atau kepada ulil amr dari mereka, niscaya hal itu akan diketahui oleh orang-orang yang mampu mengambil pelajaran di antara mereka.”
(Selesai dari “Fathul Bari”/Ibnu Hajar/13/hal. 246).

Al Imam As Sa’diy رحمه الله berkata: “Ini adalah pendidikan adab yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya disebabkan oleh perbuatan mereka yang tidak layak tadi, dan bahwasanya seharusnya bagi mereka jika mengalami perkara-perkara yang penting dan maslahat-maslahat umum yang terkait dengan kemananan dan kegembiraan Mukminin, atau terkait dengan ketakutan yang di dalamnya ada musibah yang menimpa mereka; hendaknya mereka mencari kepastian dan tidak tergesa-gesa menyebarkan berita tadi. Bahkan seharusnya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan kepada para pemegang urusan di antara mereka, pemilik pemikiran, ilmu, nasihat, akal dan ketenangan; yang mana mereka mengetahui perkara-perkara, mengenal maslahat-maslahat dan kebalikannya. Selanjutnya jika para ahli tadi memandang di dalam penyebarluasan berita tadi ada kemaslahatan dan semangat bagi kaum Mukminin dan kegembiraan untuk mereka serta penjagaan terhadap serangan musuh-musuh mereka; hendaknya mereka melakukan itu. Namun jika mereka memandang bahwasanya tidak ada di dalamnya kemaslahatan, atau di dalamnya memang ada kemaslahatan namun kerugiannya lebih besar daripada kemaslahatannya, merekapun tidak menyebarluaskannya.

Maka dari itu Allah berfirman: “Niscaya hal itu akan diketahui oleh orang-orang yang mampu mengambil pelajaran di antara mereka” yaitu: mereka mengeluarkannya dengan pemikiran dan pendapat mereka yang lurus serta ilmu mereka yang terbimbing.

Dan di dalam ayat ini ada dalil untuk suatu kaidah adab, yaitu: jika terjadi penelusuran terhadap suatu perkara; hendaknya hal itu diserahkan dan dikuasakan kepada orang yang ahli di dalamnya, dan hendaknya tidak ada orang yang mendahului mereka untuk itu, karena yang demikian itu lebih dekat kepada ketepatan dan lebih layak untuk selamat dari kesalahan.

Dan di dalam ayat tadi ada dalil larangan bersikap tergesa-gesa dan terlalu cepat menyebarluaskan perkara-perkara semenjak mendengarnya. Dan di dalamnya ada perintah untuk melakukan perenungan dan penelitian sebelum berbicara: apakah ini suatu kemaslahatan sehingga seseorang itu perlu maju ke depan? Ataukah tidak demikian sehingga dia harus mundur darinya?”
(Selesai dari “Taisirul Karimir Rahman”/As Sa’diy/hal. 190).

Al Imam As Sa’diy رحمه الله berkata tentang obat perselisihan: “Dan di antaranya adalah: bertanya kepada ulama Ahlussunnah. Allah سبحانه وتعالى berfirman:

﴿فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ﴾ ]النحل: 43[.

"Maka bertanyalah kalian pada para ahli Qur’an jika kalian tidak mengetahui."

Akan tetapi sebagian penuntut ilmu telah ridha dengan ilmu yang dimilikinya dan jadilah dirinya mendebat setiap orang yang menyelisihinya, dan itu adalah salah satu sebab terjadinya perpecahan dan perselisihan”.
(Selesai dari “Nashihati Li Ahlissunnah”/Al Wadi’iy/hal. 10-11/cet. Darul Atsar).

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan حفظه الله berkata: “Maka kami mewasiatkan kepada para pemuda untuk meninggalkan perpecahan dan perselisihan, dan hendaknya mereka menyodorkan perkara yang terjadi di antara mereka kepada para ulama. Mereka tidak mungkin untuk kembali (langsung) kepada Al Qur’an dan As Sunnah; karena mereka belum punya kemampuan untuk itu; karena kurangnya ilmu mereka. Akan tetapi hendaknya mereka kembali kepada para ulama, dan salah satu dari mereka berkata: “Saya berkata demikian, sedangkan si Fulan berpendapat demikian. Siapakah dari kami yang di atas pendapat yang benar?” Dan mereka berangkat dari pengarahan para ulama untuk menerangkan kebenaran.

Inilah yang kami inginkan untuk mereka: mereka merujuk kepada para ulama: boleh jadi berbicara secara langsung jika mereka hadir di dekat para ulama, atau boleh jadi dengan tulisan; mereka menulis surat kepada para ulama dan menerangkan kasus kepada mereka, lalu bertanya: “Siapakah dari kami yang ada di atas pendapat yang benar? Kami berkata demikian, sedangkan Fulan berkata demikian. Dalil Fulan demikian, dalil Fulan begini. Siapakah dari kami yang ada di atas pendapat yang benar? Kemudian mereka mengambil jawaban yang benar insya Allah.

Mereka menulis surat kepada para ulama yang terpercaya dan telah dikenal dengan keilmuan mereka, lalu mereka berangkat dari bimbingan dan pengarahan para ulama. Inilah yang aku wasiatkan kepada kalian”.
(Selesai dari “Al Muntaqa Min Fatawal Fauzan”/28/hal. 4).

Fadhilatu Syaikhina Abdul Muhsin Al Abbad حفظه الله berkata: “Sesungguhnya usia muda itu tempat disangka adanya pemahaman yang buruk, dan bahwasanya rujuk kepada para ulama di dalamnya ada kebaikan dan keselamatan”. (Risalah “Bi Ayyi Aql Wa Din Yakunut Tafjir Wat Tadmir Jihadan”/Abdul Muhsin/ hal. 6).
-----------------
Pasal Tiga: Penulis Tidak Ridha Kitab-kitabnya Dipakai Bukan Pada Tempatnya

Adapun yang terkait dengan kabar yang disampaikan oleh sebagian ikhwah kepada saya bahwasanya: sebagian ikhwah Salafiyyin Tsabitin menggunakan sebagian karya tulis yang saya susun dalam rangka membantah para mubtadi’ah; lalu penggunanya tadi menjadikan sebagian penukilan atau ungkapan yang ada di dalam buku-buku tadi untuk menghantam Salafiyyin Tsabitin yang lainnya, maka saya berkata –dengan bertawakkal kepada Allah-:

Sesungguhnya karya-karya saya tadi yang diidzinkan oleh para ulama untuk saya sebarkan dalam rangka membantah para mubtadi’ah; saya tidak merelakannya untuk dipakai menghantam pihak lain yang sama-sama Salafiyyin Tsabitin. Demikianlah para ulama menasihati saya.
Saya mengakui rendahnya nilai saya, sedikitnya modal saya, dan dangkalnya ilmu saya. Maka saya tidak layak untuk ucapan saya dinukilkan. Tapi saya mendorong ikhwah untuk melanjutkan perjalanan mereka yang bagus di dalam menukilkan perkataan para ulama mutaqaddimin dan mutaakhkhirin.

Bantahan-bantahan terhadap ahli bid’ah itu bagi saya tidak boleh diarahkan kepada sesama Salafiyyin kecuali dengan bimbingan para ulama yang mendalam ilmunya, karena jika tidak demikian maka akan terjadi kekacauan sebagaimana telah terjadi berulang kali.

Dan saya berharap para ikhwah merenungkan apa yang terkandung di dalam nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Abu Abdillah Muhammad Bin Ali Bin Hizam Al Yamaniy Al Ba’daniy Al Fadhliy حفظه الله di dalam kata pengantar beliau:

الحمد لله، والصلاه والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، ومن اهتدى بهداه، أما بعد:

Maka sungguh aku telah melihat-lihat risalah Asy Syaikh Al Fadhil Al Bahits Al Mufid: Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy, yang diberi judul: “Masjididh Dhirar Wa Ahkamuhu Bil Ikhtishar”, maka aku mendapatinya telah mencurahkan kerja keras yang diberkahi. Maka aku mohon pada Allah agar memberikan berkah padanya, pada ilmunya, kitab-kitabnya dan kerja kerasnya.

Dan saya merasa kagum dengan apa yang disebutkannya di dalam kitabnya bahwasanya tidak layak setiap perselisihan itu menjadikan dirimu membangun masjid lain, demikian pula tidaklah setiap masjid kebid’ahan itu dihukumi sebagai masjid dhirar yang mana diharamkan shalat di dalamnya dan shalatnya itu dihukumi batal, akan tetapi hal itu dikembalikan pada para ulama untuk menghukumi setiap masjid sendiri-sendiri.

Para ulama itulah yang menghukumi setiap masjid sesuai dengan haknya. Andaikata urusan ini diserahkan kepada yang bukan ulama, niscaya engkau akan melihat hukum-hukum itu akan ditimpakan pada orang yang tidak layak untuk mendapatkannya. Bahkan engkau akan melihat sebagian orang yang tidak punya pemahaman yang cukup akan menghukumi sebagian masjid Ahlussunnah sebagai masjid dhirar. Allah sebagai Hakim yang paling adil  جل وعلا ketika memerintahkan untuk menyerahkan urusan kepada para ulama, Allah ta’ala berfirman:

﴿وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ﴾.

“Dan jika datang pada mereka suatu perkara dari keamanan atau ketakukan, mereka menyebarluaskannya. Seandainya mereka mengembalikannya kepada Rosul atau kepada ulil amr dari mereka, niscaya hal itu akan diketahui oleh orang-orang yang mampu mengambil pelajaran di antara mereka”.

Allah ta’ala juga berfirman:

﴿فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون﴾.

“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”.

Maka aku memohon pada Allah agar memberkahi si penulis dan apa yang ditulisnya, mengokohkan kami dan dirinya di atas agama-Nya.

والحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Ditulis oleh:
Abu Abdillah Muhammad Bin Ali Bin Hizam Al Fadhliy Al Ba’daniy
Hari Rabu tanggal 18/12/1439 (waktu Yaman).
-----------------

(“Nasihat Ikhwah: Jangan Menyerang Sesama Ahli Sunnah Dengan Buku Yang Ditujukan Kepada Ahli Bid’ah” | Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy)

Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy
Diberdayakan oleh Blogger.