Mengenal Syaikh Ali Hasan Al-Halabiy Hadahullooh (bagian 4a)
Sumber: at-takalariy
Teguran Ulama Terhadap Ali Hasan Al Halabiy
(bagian 4a)
Membongkar Aqidah Murjiah
Membuktikan Benarnya Fatwa Lajnah Daimah
(Rof’ul Laimah ‘An Fatwal Lajnatid Daimah)
(bagian pertama)
Dengan Kata Pengantar :
Fadhilatusy Syaikh Sholih Al Fauzan
Dan Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ar Rojihiy
Dan Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ali Humayyid
-Semoga Alloh menjaga beliau semua-
Penulis:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Salim Ad Dausriy
-semoga Alloh menjaga beliau-
Penerjemah:
Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy
بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Penerjemah
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين، أما بعد:
Sesungguhnya telah sampai kepada kami teriakan-teriakan sebagian pengikut Ali Hasan Al Halabiy dalam upaya mereka untuk membela syaikh mereka dan membersihkan dirinya dari tuduhan para ulama Ahlussunnah tentang aqidah murjiah. Mereka berusaha untuk melemahkan ketetapan Lajnah Daimah pertama (yang dipimpin oleh Al Imam Ibnu Baz رحمه الله) dan yang kedua (yang dipimpin oleh fadhilatusy Syaikh Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh حفظه الله) dengan berbagai syubuhat.
Dengan pertolongan Alloh semata saya memulai menerjemahkan (dalam dua bagian insya Alloh) risalah penting dari fadhilatusy Syaikh Muhammad Ad Dausriy yang menyingkap pengkaburan Halabiyyun dalam masalah ini. Insya Alloh risalah beliau ini menjadi cahaya fajar yang menyibak kabut pengkaburan para pengekor hawa nafsu, dan membongkar pengkhianatan ilmiyyah Al Halabiy, serta menjadi air segar yang mengusir dahaga para pencari kebenaran yang gigih dan ikhlas.
Adapun pertanyaan sebagian ikhwah: “Apakah teguran para ulama terhadap Al Halabiy itu menunjukkan bahwasanya dia itu ditahdzir?”
Saya jawab dengan memohon pertolongan Alloh: kumpulan risalah yang saya kerjakan ini saya susun dan saya usahakan berdasarkan tahapan-tahapan kasus penyelewengan Al Halabiy. Adanya tahdzir Al Imam Ibnu Baz رحمه الله dan beberapa ulama terhadap kitab yang diperjuangkan oleh Ali Hasan Al Halabiy, ini menunjukkan adanya penyelewengan aqidah yang berbahaya yang tidak bisa dibiarkan oleh para ulama Sunnah. Ternyata Ali Hasan tidak menaati nasihat untuk bertobat, dan justru menulis kitab-kitab yang isinya semakin mempertegas aqidah irja dia dengan polesan yang menipu, hingga kedua kitabnya itu ditahdzir oleh para ulama besar sepeninggal Al Imam Ibnu Baz رحمه الله.
Ketika dia tidak sadar dan bahkan semakin tegas menantang dan memberikan syubuhat dan membikin sebagian orang goncang terhadap ulama sunnah, muncullah bantahan rinci terhadapnya dalam kitab ini: “Rof’ul Laimah” yang membongkar secara rinci kebatilan, pengkhianatan dan bersikerasnya Ali Hasan di atas kebatilan. Ini cukup sebagai peringatan bagi orang yang ingin keselamatan agamanya, agar jangan dekat-dekat dengan Ali Hasan dan ajaran-ajarannya, sampai dia jujur mengumumkan tobat.
Kemudian dalam fitnah Abul Hasan dan Al Maghrowiy, justru Ali Hasan menampilkan pembelaan terhadap keduanya, sehingga Fadhilatul Mufti Kerajaan Saudi bagian selatan waktu itu (Asy Syaikh Ahmad An Najmiy رحمه الله ) mengatakan: “Kita tak bisa mengatakan bolehnya diambil ilmu dari mereka” sekalipun beliau belum mengeluarkannya dari Salafiyyah.
Tapi ini cukup sebagai pelajaran bagi orang yang hatinya hidup dan ingin menjaga kesehatan agamanya untuk tidak belajar kepadanya, karena memang tidak pantas belajar pada penebar syubuhat, sekalipun dia masih Salafiy.
Manakala Ali Hasan justru mengeluarkan bantahan terhadap Asy Syaikh Ahmad An Najmiy, beliaupun mengeluarkan jawaban yang membongkar dan membantah prinsip-prinsip batil Ali Hasan([1]). Ini cukup sebagai tahdzir bagi orang yang memahami.
Insya Alloh jika terjemahan kitab Asy Syaikh Muhammad Ad Dausriy رحمه الله selesai, kita akan masuk kepada risalah-risalah yang lebih keras, sesuai dengan sikap keras kepala Ali Hasan.
Sebagian orang memberikan pengkaburan dengan mengatakan bahwasanya sebagian ulama besar tidak setuju dengan ketetapan Lajnah Daimah tersebut. Lalu sebagian dari orang-orang tadi memamerkan takhrij panjangnya terhadap atsar:
عن ابن عباس رضي الله عنهما رفعه قال : ليس أحد إلا يؤخذ من قوله ويدع غير النبي صلى الله عليه و سلم
“Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang mengangkatnya ke Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Tiada seorangpun kecuali diambil dari ucapannya dan ditinggalkan kecuali Nabi صلى الله عليه وسلم .” (HR. Ath Thobroniy (11941)).
Alhamdulillah hadits ini telah terkenal di kalangan Ahlussunnah, dan menjadi dalil yang menghantam para pengekor hawa nafsu. Jika memang mereka mengakui bahwasanya semua orang itu ucapannya bisa diambil ataupun ditolak kecuali Nabi صلى الله عليه وسلم , maka janganlah mereka –dan kita semua- taqlid kepada para tokoh yang tidak ma’shum, tapi lihatlah hujjahnya. Yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman salaf, kita ambil dan kita benarkan, sekalipun datang dengannya anak kecil. Yang ucapannya menyelisihi itu tidak kita ikuti, sekalipun dibawa oleh tokoh besar.
Sekarang kita telah berselisih pendapat tentang Ali Hasan, kalian telah mendatangkan beberapa syubuhat untuk membela Ali Hasan, maka sekaranglah saatnya saya tampilkan kekuatan hujjah para ulama yang menerangkan kebatilannya. Alloh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِالله وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا﴾
“Maka jika kalian berselisih pendapat terhadap suatu perkara maka kembalikanlah hal itu kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika memang kalian itu beriman kepada Alloh dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik, dan akan lebih baik lagi kesudahannya”(QS. An Nisa: 59)
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata tentang masalah perselisihan: “Dan ketika itu maka jadilah masalah tersebut adalah perselisihan yang wajib untuk dikembalikan kepada Alloh ta’ala dan Rosul-Nya. Barangsiapa enggan untuk yang demikian itu maka dia itu bisa jadi adalah orang yang bodoh dan taqlid, atau bisa jadi adalah muta’ashshib pengekor hawa nafsu yang durhaka pada Alloh ta’ala dan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم, dia menyodorkan dirinya untuk bergabung dengan ancaman Alloh untuk orang macam ini, karena Alloh ta’ala berfirman –lalu menyebutkan ayat tadi- maka apabila telah tetap bahwasanya masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan, maka wajib secara pasti untuk dikembalikan kepada Kitabulloh ta’ala dan Sunnah Rosul-Nya.” (“Ighotsatul Lahfan”/ hal. 323).
Semoga Alloh memberkahi umur dan usaha kita mencari dan menampilkan kebenaran dengan dalil-dalilnya, bukan dengan membebek pada besarnya nama seorang tokoh.
والحمد لله رب العالمين
بسم الله الرحمن الرحيم
Kata Pengantar Fadhilatusy Syaikh Sholih Al Fauzan حفظه الله
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله ، وعلى آله وصحبه ومن والاه، وبعد:
Saya telah melihat bantahan saudara kita Asy Syaikh Muhammad bin Salim Ad Dausriy terhadap saudara kita Asy Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy yang membantah fatwa Lajnah Daimah tentang masalah Irja (pengakhiran amalan dari iman). Aku katakan:
Yang pertama: Asy Syaikh Muhammad telah berbuat bagus dalam bantahan tersebut, di mana beliau menyusulkan kelengkapan banyak sekali dari ucapan-ucapan ulama yang luput penukilannya dari Asy Syaikh Ali Hasan, yang mana Ali Hasan bersandar kepada ucapan-ucapan mereka. Adapun upaya Ali Hasan untuk membikin ragu tentang fatwa Lajnah, maka dia tak punya tempat untuk itu karena fatwa tadi muncul dengan kesepakatan empat anggota dengan tanda tangan mereka.
Yang kedua: Asy Syaikh Ali Hasan dan saudara-saudaranya yang menisbatkan diri kepada Salaf dalam masalah iman wajib bagi mereka untuk merasa cukup dengan apa yang ditulis oleh Salaf dalam masalah ini, karena memang dalam tulisan Salaf itu sudah ada kecukupan, sehingga tidak butuh kepada tulisan-tulisan yang baru yang memecah belah pemikiran dan menjadi tempat untuk baku bantah dalam masalah yang besar seperti ini. Maka fitnah itu tidur, tidak boleh dibangunkan agar tidak menjadi jalan masuk kepada para pembuat kejahatan dan kerusakan di antara Ahlussunnah.
Yang ketiga: saudara kita Asy Syaikh Ali Hasan jika memang harus menukil ucapan ulama, dia harus menukil dengan lengkap dari awal hingga akhirnya, dan mengumpulkan ucapan orang alim dalam masalah tersebut dari berbagai bukunya hingga menjadi jelaslah maksudnya, dan mengembalikan sebagian ucapannya kepada sebagian yang lain, dan tidak mencukupkan diri dengan menukilkan satu ujung dan meninggalkan ujung yang lain, karena yang demikian ini menyebabkan pemahaman yang jelek dan berakibat dinisbatkannya kepada orang alim tadi suatu pendapat yang tidak dia maksudkan.
Yang terakhir: saya mohon kepada Alloh agar mengaruniakan ilmu yang bermanfaat dan amal sholih kepada kita semua.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه .
Ditulis oleh:
Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan
بسم الله الرحمن الرحيم
Kata Pengantar Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ar Rojihiy حفظه الله
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه والتابعين .أما بعد:
Saya telah membaca risalah ini, yang berjudul “Rof’ul Laimah ‘An Fatwal Lajnatid Daimah” karya saudara kita yang mulia Asy Syaikh Muhammad bin Salim Ad Dausriy –semoga Alloh memberinya taufiq-, yang isinya adalah bantahan terhadap saudara kita Asy Syaikh Ali Hasan Abdil Hamid yang membantah fatwa Lajnah Daimah di Kerajaan Arab Saudi dalam masalah Irja (pengakhiran amalan dari iman) di kedua kitabnya “Shoihatu Nadzir” dan “At Tahdzir Min Fitnatit Takfir”, dan yang demikian itu karena Lajnah Daimah menjelaskan secara global apa yang dikandung oleh kedua kitab ini, yang berupa kesalahan-kesalahan dalam masalah-masalah iman dan pengkafiran, dan tentang penukilannya yang terpotong-potong terhadap ucapan para ulama, demi berdalilkan dengan itu kepada pendapat dirinya bahwasanya iman itu tidak ada kecuali di hati saja, dan kekafiran itu tidak terjadi kecuali dengan keyakinan, pendustaan dan penghalalan saja.
Sungguh Asy Syaikh Muhammad Ad Dausriy telah bagus dalam menelusuri kesalahan-kesalahan Ali Hasan Abdil Hamid, dan menjelaskan –semoga Alloh memberinya taufiq- apa yang telah ditetapkan oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah tentang apa itu keimanan dan apa itu kekufuran, dan bahwasanya keimanan itu terjadi dengan hati, lidah, dan anggota badan, dan bahwasanya kekufuran itu juga bisa terjadi dengan ucapan, perbuatan, keyakinan dan keraguan.
Asy Syaikh Ali Hasan Abdil Hamid telah berupaya untuk berdalilkan dengan ucapan-ucapan para ulama, tapi setelah memotong-motong ucapan mereka, untuk mendukung madzhab Murjiah, bahwasanya iman itu tidak terjadi kecuali di hati, dan kekafiran itu tidak terjadi kecuali dengan hati saja. Dan itu adalah madzhab yang batil yang menyelisihi nash-nash Al Kitab dan As Sunnah serta ucapan-ucapan para imam dan ulama.
Maka akh Ali Hasan Abdil Hamid wajib untuk kembali kepada kebenaran lalu menerimanya, dan menulis risalah yang di dalamnya dia menjelaskan rujuknya dia kepada madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah. Maka kembali kepada kebenaran itu merupakan keutamaan. “Dan ucapkanlah kebenaran sekalipun terhadap dirimu sendiri,” “Dan ucapkanlah kebenaran sekalipun dia itu pahit.” Dan kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada bersikeras dalam kebatilan. Dan para ulama itu yang dulu dan yang sekarang terus-menerus mau menerima kebenaran dan kembali kepadanya, dan yang demikian itu terhitung sebagai bagian dari keutamaan mereka dan ilmu mereka serta waro’ mereka.
Umar ibnul Khoththob رضي الله عنه telah berkata dalam surat yang beliau tulis untuk Abu Musa Al Asy’ariy رضي الله عنه tentang pengadilan: “Janganlah sekali-kali pengadilan yang engkau putuskan pada hari ini lalu engkau merujuk kembali pendapatmu dan engkau dibimbing di situ kepada kelurusanmu menghalangimu untuk engkau rujuk kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu sudah ada sejak duli dan tak bisa dibatalkan oleh suatu apapun. Rujuk kepada kebenaran itu lebih baik daripada bersikeras dalam kebatilan.”
Seandainya akh Ali hasan Abdil Hamid mau rujuk kepada madzhab Ahlissunnah Wal Jama’ah tentang keimanan dan kekufuran, dan bahwasanya kedua perkara ini terjadi dengan aqidah, ucapan dan perbuatan, niscaya yang demikian itu adalah dalil tentang keutamaan Ali Hasan, ilmunya, dan waro’nya dalam menerima kebenaran, dan keteladannya kepada para imam dan ulama. Dan pastinya sikap rujuknya tadi bisa memotong akar fitnah ini –fitnah Irja- yang bahayanya menjalar, dan kejelekannya menyebar di tengah-tengah para pemuda dan menyebabkan terjadinya perpecahan pendapat di benak-benak kebanyakan dari mereka dan membikin ragu akan aqidah mereka.
Saya memohon pada Alloh ta’ala agar memberikan taufiq kepada akh Ali Hasan Abdil Hamid untuk rujuk kepada kebenaran dan menerima kebenaran, dan menyebarkan keyakinan Ahlissunnah Wal Jama’ah tentang masalah-masalah iman dan kifir, dengan kefasihan, balaghoh, kekuatan dan kemampuan mempengaruhi hati yang Alloh karuniakan kepadanya.
Dan saya mohon kepada Alloh ta’ala agar mengaruniakan taufiq dan kelurusan kepada akh Muhammad bin Salim Ad Dausriy, dan agar memberikan manfaat dengan bantahan yang ditulisnya, dan memberikan manfaat dengan tulisan-tulisan dan bantahan-bantahan beliau, dan menjadikannya diberkahi di manapun beliau berada, dan menghilangkan dengan bantahan beliau itu kesamaran yang terjadi pada sebagian orang tentang masalah ini.
Dan saya mohon kepada Alloh untuk saya dan saudara-saudara saya para pelajar, agar memberikan ilmu yang bermanfaat, amal sholih, kekokohan di atas kebenaran, dan setia kepada aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah tentang masalah-masalah agama, iman dan Islam, yang jelas dan samar, dan mewafatkan kita di atas Islam, sesungguhnya Dia Yang mengurusi itu dan mampu melaksanakannya.
وصلى الله وسلم وبارك على عبدالله ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين.
Diucapkan dan ditulis oleh:
Abdul Aziz bin Abdillah Ar Rojihiy
Anggota Haiah Tadris di Universitas Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyyah
20/5/1422 H
بسم الله الرحمن الرحيم
Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ali Humayyid حفظه الله
الحمد لله وكفى ، وصلوات الله وسلامه على عبده المصطفى: نبينا محمد ، وعلى آله وصحبه أهل الوفا ، أما بعد:
Lajnah Daimah Lil Ifta –semoga Alloh menambahinya taufiq dan petunjuk- telah mengeluarkan fatwanya dengan nomor (21517) tanggal (14/6/1421 H) tentang dua kitab akh Ali bin Hasan bin Abdil Hamid Al Halabiy “At Tahdzir Min Fitnatit Takfir” dan “Shoihatu Nadzir” dan Lajnah menjelaskan secara ringkas dan sekedar isyarat tentang apa yang dikandung oleh kedua kitab ini, yang berupa kesalahan-kesalahan dalam masalah-masalah iman, dan tidak memberikan perincian karena polanya adalah fatwa, bukan pola bantahan dan pembatalan.
Yang lebih pantas untuk dilakukan orang semisal dia (Ali Hasan) adalah tunduk kepada kebenaran, dalam keadaan dia tahu bahwasanya orang-orang yang mengeluarkan itu adalah para ulama yang mulia, yang lebih banyak ilmunya daripada dia, lebih tua umurnya daripada dia, dan lebih maju dalam mengetahui aqidah daripada dia. Seandainya dia menulis kitab tentang itu yang di dalamnya dia mensyukuri mereka, mendoakan kebaikan untuk mereka, dan mengumumkan rujuk dari kesalahan-kesalahan itu, niscaya akar fitnah terpotong, dan niscaya orang besar dan kecil akan mengagungkan sikap dia itu.
Akan tetapi dia justru bersikap sebaliknya. Dia bersegera membantah Lajnah dengan bantahan yang di dalamnya dia menggantungkan kesalahannya tadi kepada orang lain, sambil keluar dari akibat tulisan ujung-ujung jari dia di dalam kedua kitab tersebut, sambil mengulang-ulang ungkapan-ungkapan berikut ini, contoh kecilnya adalah: “Itu adalah ucapan fulan, dan ucapanku tidak ada sedikitpun di situ.” “Tidak ada dalam kedua kitabku tersebut pembahasan tentang masalah ini secara mutlak,” “Maka di manakah tempat bantahan dan bagian yang perlu dikritik?!” “Maka di manakah pembatasan tersebut!? Dan di manakah bagian yang perlu dibantah?!” “Maka di manakah pembatasan tersebut!? Dan bagaimanakah jalannya?!” “Maka di manakah penyelewengan itu?!” “Maka apakah yang dipahami dari nash-nash ini?! Dan di manakah saya berbicara bohong atas nama Syaikhul Islam dalam ta’liq saya terhadap ucapan beliau?! Itu Cuma ringkasan darinya dan pemantapan dasar-dasarnya.” “Di manakah saya berbicara bohong atas orang, padahal ucapannya memang begini?!” “Jika di sana ada diskusi atau kritikan, maka itu ditujukan terhadap beliau رحمه الله bukan kepada yang menukil darinya.” “Maka di manakah komentar saya itu? Dan di manakah saya membawa ucapan ulama kepada yang tidak dikandungnya?!” “Itu bukanlah ucapan saya sama sekali!” “Maka di manakah saya membawa ucapan ulama kepada yang tidak dikandungnya?! Di manakah saya membawa ucapan ulama kepada yang tidak dikandungnya?!” “Maka di manakah sikap peremehan dari saya!? Di manakah sikap peremehan dari saya?!” dan seterusnya yang berisi ungkapan-ungkapan yang selalu dihiasi dengan tanda tanya dan tanda seru yang memenuhi karya tulisnya itu, yang menjadi alamat bagi dirinya. Dan belum pernah aku membaca karya tulis seseorang yang mengumpulkan tanda tanya dan tanda seru seperti karya tulis Ali Hasan. Itu merupakan alamat-alamat reaktif sebagaimana diketahui menurut adat para penulis dan peneliti.
Yang penting dari itu semua adalah: bahwasanya barangsiapa membaca bantahan Ali Hasan ini, dan belum jelas hakikat perkaranya bagi dirinya, terkadang bisa tertipu dengan metodenya dalam membantah, dan kepintarannya dalam olah kata, dan metodenya dalam memberikan pengaburan sehingga dia ragu terhadap kebenaran Lajnah, menuduh Lajnah berbicara bohong atas nama Ali Hasan, menzholimi Ali Hasan, dusta terhadapnya.
Dan inilah yang dituduhkan olehnya dengan tulisan dia itu, yang mana kami mulai mendengar ada orang yang menganggap bahwasanya fatwa Lajnah tadi hanya muncul dari satu orang tertentu dari anggota Lajnah, dan dibenarkan oleh para anggota yang lain tanpa pengetahuan dan penelitian!! Belum lagi ucapan para pembantu Ali Hasan dan orang yang serupa dengan dia, karena sungguh perkara ini telah melampaui mereka sampai ke sebagian tokoh utama dan sebagian ulama di negri ini! Jika kepercayaan orang terhadap ulama mereka telah goncang sampai kepada tarap ini, maka kepada siapakah mereka percaya?! Seandainya dia bersikap adil, niscaya paling tidak dia akan melihat kepada kerusakan ini, dan tidak membela dirinya, sekalipun dia menganggap dirinya di atas kebenaran. Maslahat jama’ah itu lebih didahulukan daripada maslahat individu.
Dan risalah ini “Rof’ul Laimah ‘Anil Lajnatid Daimah” yang ditulis oleh saudara kita yang mulia Asy Syaikh Muhammad bin Salim Ad Dausriy حفظه الله datang untuk meletakkan titik di atas huruf (melakukan peletakan sesuatu dengan tepat), karena merasa kasihan kepada orang yang berbaik sangka kepada bantahan akh Ali Al Halabiy, dan melihat bahwasanya Lajnah telah menzholimi dirinya, dan dalam rangka menyingkap pengkaburan yang diperindah oleh saudara (Ali Hasan) tersebut.
Maka sebagai contoh: penukilan dia terhadap ungkapan-ungkapan sebagian imam yang dipahami darinya pembatasan kekufuran di dalam aqidah saja, maka Ali Hasan menampilkannya dalam rangka berdalilkan dengan itu, dan meninggalkan ucapan imam tersebut di banyak tempat di kitab-kitab beliau padahal di situ ada obat yang bisa menghilangkan kesamaran yang terkadang bergayut dikarenakan mencukupkan diri dengan ungkapan tadi saja.
Termasuk dari itu adalah: kebiasaan Ali Hasan untuk memberikan warna hitam tebal pada setiap kalimat atau ungkapan yang datang dalam menyebutkan lafazh I’tiqod atau juhud (penentangan) atau ungkapan-ungkapan semacam itu yang dengannya dia berdalilkan bahwasanya kekufuran itu tidak terjadi kecuali dengan penentangan dan keyakinan hati, dan dia berupaya memberikan pengkaburan pada manusia dengan menisbatkan hal itu kepada sebagian imam, maka dia menukilkan ungkapan sang imam yang di situ beliau berbicara bahwasanya kekufuran itu terjadi dengan amalan, dan terjadi juga dengan penentangan dan pembangkangan. Maka Ali Hasan menulis lafazh “amalan” dengan huruf biasa, dan menulis lafazh “penentangan” dan “pembangkangan” dengan huruf yang sangat hitam. Dan ini punya pengaruh terhadap sang pembaca sebagaimana diketahui bersama. Kemudian setelah itu dia menyatakan bahwasanya dia sekedar menukil saja dari ucapan para imam, dan bahwasanya dia tidak berbuat apa-apa sedikitpun dalam penukilan tadi! Maka mengapakah dia tidak membiarkan ucapan para imam –saat menukilkannya tadi- apa adanya? Mengapa dia tidak menukilkan ucapannya semuanya, sama saja apakah ucapan tadi mendukung dia ataukah membantah dirinya?
Semoga Alloh merohmati Abdurrohman bin Mahdi yang berkata: “Ahlussunnah itu menulis apa yang mendukung mereka ataukah membantah mereka. sedangkan ahli hawa itu tidak menulis kecuali apa yang mendukung mereka.”([2])
Dan penyelisihan akh Ali Al Halabiy terhadap Ahlussunnah di sebagian masalah keimanan itu telah dikenal darinya sejak dia mengurusi pencetakan kitab “Ihkamut Taqrir Fi Ahkamit Takfir” karya Murod Syukriy, dan upaya dia untuk menyebarkan kitab itu. Sekalipun dia berupaya keras untuk membersihkan namanya dari kitab itu setelah keluarnya ketetapan Lajnah Daimah tentang kitab itu. Dan aku telah menjelaskan padanya –dengan dihadiri sebagian ikhwah ketika itu- bahwasanya dia memikul tanggung jawab kitab tadi, dan dia wajib untuk mengumumkan dengan sangat jelas apa pendapat dia tentang masalah tersebut yang dikandung oleh kitab itu, dan harus meninggalkan pengelabuhan terhadap manusia. Maka dia menjanjikan itu tapi tidak memenuhi janjinya.
Dan saya tidak ingin memutuskan bacaanmu –wahai saudaraku pembaca- terhadap risalah ini, yang menunjukkan bahwasanya Lajnah Daimah telah mendapatkan taufiq tidak menyebutkan sesuatu dalam fatwanya tersebut kecuali memang hal itu ada di dalam kedua kitab akh Ali Al Halabiy, dipahami oleh orang yang memahami, dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.
والله الموفق والهادي إلى سواء السبيل ، وصلى الله وسلم على نبينا محمد.
Ditulis oleh:
Sa’d bin Abdillah bin Abdil Aziz Alu Humayyid
6/4/1422 H
بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Penulis
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا ، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً كثيراً . أما بعد:
Maka sesungguhnya pembicaraan tentang iman itu sangat penting dan juga berbahaya. Kemudian hal itu tidak seperti pembicaraan dalam masalah-masalah agama yang lain. Yang demikian itu dikarenakan kekeliruan di situ merupakan kekeliruan dalam dasar agama dan pondasinya. Oleh karena itulah maka bid’ah yang pertama menghujam ke dalam Islam adalah bid’ah khowarij –yang Rosululloh صلى الله عليه وسلم memperingatkan umat darinya sebelum mereka muncul keluar-. Dan asal kekeliruan mereka adalah dalam masalah keimanan, yang mana mereka keliru dalam meniadakan keimanan dari pelaku dosa besar hingga mereka mengkafirkan Muslimin, menghalalkan darah mereka, bahkan mengkafirkan para Shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan menumpahkan darah-darah mereka, dan mereka menyangka bahwasanya diri mereka ada di atas kebenaran dan agama.
Dan berlawanan dengan itu tumbuhlah sekte lain yang tidak kurang bahayanya daripada khowarij, dan sekte tadi adalah sekte murjiah yang berlebihan dalam menetapkan keimanan bagi para pelaku kedurhakaan dan dosa besar, hingga setan menipu mereka dengan keyakinan bahwasanya keimanan orang yang paling jahat dan paling fasiq itu seperti keimanan Abu Bakr dan Umar رضي الله عنهما, bahkan seperti iman Rosululloh صلى الله عليه وسلم, dan keimanan Jibril. Maka para ulama sunnah di seluruh penjuru bumi berteriak memperingatkan bahaya mereka, dan para ulama memperbesar pengingkaran terhadap mereka dikarenakan mereka tahu busuknya jalan mereka dan rusaknya aqidah mereka, dan rusaknya konsekuensi ucapan mereka, hingga Ibrohim An Nakho’iy berkata tentang mereka: “Benar-benar fitnah mereka –yaitu murjiah- lebih aku takuti daripada fitnah Azariqoh (salah satu sekte khowarij).”
Az Zuhriy berkata: “Tidaklah ada kebid’ahan yang dibikin di dalam Islam yang lebih berbahaya terhadap muslimin daripada irja.”
Al Auza’iy berkata: “Dulu Yahya bin Abi Katsir dan Qotadah berkata: Tidak ada sedikitpun dari hawa nafsu yang lebih ditakutkan oleh mereka –yaitu Salaf- terhadap umat ini daripada irja.”
Dan Syarik Al Qodhi menyebutkan murjiah, maka beliau berkata: “Mereka adalah kaum yang paling busuk. Cukuplah bagimu kebusukan Rofidhoh, akan tetapi murjiah berdusta atas nama Alloh.”([3])
Dan aqidah irja terus menjalar di umat ini sepanjang zaman, terkadang apinya padam –ketika cahaya ilmu bertambah- dan terkadang menyala berkobar-kobar –ketika cahaya ilmu padam- hingga nampak pengaruhnya dengan jelas dan terang di umat ini pada hari ini, bahkan telah menjadi kenyataan yang diamalkan. Banyak orang pada hari ini telah merasa cukup dengan pembenaran hati dan pengucapan lidah dengan persaksian, kemudian setelah itu mereka mengerjakan keharoman-keharoman semau mereka dan meninggalkan banyak kewajiban sekalipun tidak meninggalkan semuanya. Bahkan lebih besar dari itu kebanyakan dari mereka i’tikaf di tempat pemujaan dan kuburan dan berbuat syirik besar dan kedustaan di situ, dan dia masih terus menganggap bahwasa dirinya masih di area Islam dan termasuk dari kalangan muslimin.
Dan bersamaan dengan ini semua, engkau melihat pada hari ini ada orang yang membela madzhab yang menghinakan itu dan menolongnya serta menjadikannya sebagai madzhab salaful ummah, dan barangsiapa mengingkarinya maka dia khowarij yang mudah mengkafirkan –melampaui batas dengan perkara yang tidak dikenalnya, tanpa ilmu ataupun kesabaran- punya semangat lebih untuk mengkafirkan muslimin. Dan si pembela madzhab murjiah tadi menulis juz-juz, kitab-kitab, dan bantahan-bantahan tentang itu yang judulnya berbeda-beda tapi sasarannya menyatu. Bahkan sasarannya memang satu, yaitu menolong madzhab yang buruk itu. Dan termasuk dari orang-orang yang membawa bendera ini dan fanatik kepadanya adalah: Ali bin Hasan Al Halabiy.
Demi Alloh, dulu aku tidak senang untuk membantahnya, sementara orang-orang yang lebih baik daripada aku telah membantahnya dan menjelaskan kesalahannya, serta menyemangatinya untuk bertobat dan kembali sejak munculnya kitab “Ihkamut Taqrir Li Ahkamit Takfir” milik penulisnya yang bernama Murod Syukriy, yang mana Al Halabiy bangkit untuk mengurusi dan mengawasi pencetakannya.
Dan dulu aku berangan-angan agar dia kembali dan bertobat. Akan tetapi sangat disesalkan dia bersikeras tetap di atas apa yang didakwahkannya itu, maka dia setelah itu menulis berbagai risalah untuk menetapkan di dalamnya madzhab yang menghinakan itu, dan menolongnya dengan berbagai jenis penetapan yang gelap, sampai-sampai dia memotong-motong nash-nash dan menyelewengkannya.
Dan di antara risalah yang ditulisnya tentang masalah itu adalah dua kitab yang pertama dinamainya dengan “At Tahdzir Min Fitnatit Takfir” dan yang lain: “Shoihatu Nadzir Bi Khothorit Takfir”. Dan cukuplah kesalahan dari dua kitab itu adalah dalam penamaannya.([4])
Lajnah Daimah Lil Buhutsil Ilmiyyah Wal Ifta kerajaan Saudi Arabiyyah –semoga Alloh membalasnya dengan pahala terbaik- telah mengeluarkan fatwa yang di dalamnya menjelaskan kesalahan Al Halabiy tentang masalah iman, dan bahwasanya kedua kitab ini “At Tahdzir Min Fitnatit Takfir” dan “Shoihatu Nadzir Bi Khothorit Takfir” mengajak kepada madzhab irja. Dan para anggota Lajnah yang mulia menasihatinya untuk bertobat dan kembali, akan tetapi dia tidak menyambutnya, dan bahkan menulis risalah yang di dalamnya membantah Lajnah Daimah dengan judul “Al Ajwibatul Mutalaimah ‘Ala Fatwal Lajnatid Daimah”([5]) dan mulailah dia berkelit dan berputar-putar –seperti kebiasaannya-, dan mempermainkan kata, dan memperbanyak penulisan tanda tanya dan tanda seru, selain keistimewaan dia yang berupa banyaknya kalimat sisipan dan sajak yang dipaksakan, serta kata-kata untuk membikin takut.
Agar tidak ada orang yang tertipu dengan orang ini dan apa yang ditulisnya, dan hingga muslimin tidak terkelabuhi olehnya, saya berpandangan bahwasanya saya wajib –dalam rangka lepas tanggung jawab dan untuk menasihati umat- untuk menjelaskan keadaan Al Halabiy dalam masalah ini, yang mana ini termasuk kasus aqidah yang paling berbahaya. Maka saya kumpulkan bantahan terhadap apa yang ditulisnya yang mana tulisannya itu adalah bantahan terhadap fatwa Lajnah Daimah. Demi Alloh, ini bukan untuk fanatik terhadap Lajnah. Saya –segala puji bagi Alloh- bukanlah termasuk orang yang fanatik terhadap tokoh tanpa kebenaran, dan bukan pula dalam rangka membela Lajnah dengan cara batil. Mereka masih manusia yang bisa keliru. Akan tetapi saya menulis karena beberapa perkara, di antaranya adalah:
1- Karena yang demikian tadi adalah termasuk akhir dari apa yang ditulis oleh Al Halabiy dalam masalah ini.
2- Agar kondisi Al Halabiy menjadi jelas bagi pembaca yang mulia, yang berupa pemotongan kalimat ulama, penyelewengan maksud dari kalimat tadi, dan pembangkangannya dan terus-terusannya dia di atas kebatilan, serta kesukaannya berkelit dari kebenaran. Maka ini semua terlihat sangat jelas dalam bantahan dia tersebut.
3- Sesungguhnya penelusuran seluruh kesalahannya dalam masalah ini sangatlah panjang, sementara kesibukan itu banyak dan umur itu pendek. Seorang pencari kebenaran akan tercukupi dengan penjelasan tentang kebenaran itu, adapun pengekor hawa nafsu maka kita tak punya daya untuk meluruskannya. Kita mohon pada Alloh keselamatan.
4- Bantahan Al Halabiy ini sendiri telah menimbulkan suatu keraguan dan kebimbangan di hati sebagian tokoh utama terhadap keshohihan fatwa Lajnah, dan menggambarkan bahwasanya Lajnah telah berlebihan menyerang Al Halabiy serta membawa ucapannya kepada perkara yang tidak dikandungnya.
Saya menamai bantahan saya ini dengan: “Rof’ul Laimah ‘An Fatwal Lajnatid Daimah.”
Saya memohon kepada Alloh ta’ala untuk memberikan taufiq kepada kita dan para saudara kita kepada perkara yang dicintai-Nya dan diridhoi-Nya, dan menjadikan seluruh amalan kita itu murni demi wajah-Nya yang mulia dan mencocoki syariat-Nya.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.
Ditulis oleh:
Muhammad bin Salim Ad Dausriy
Kerajaan Saudi Arabiyyah
Wilayah Timur Ihsa
P.O. Box 9318
kode pos 31982
Rambu-rambu Sebelum Permulaan Bantahan
1- Al Halabiy bukanlah ahli tahqiq dalam masalah ini. Andaikata dia mau mengambil nasihat Lajnah Daimah dalam fatwanya yang terdahulu, dan mau menahan diri dari memperbincangkan maslah-masalah ini, yang mana Lajnah telah berkata padanya dan orang yang semacamnya: “Dan orang yang belum mendalam kakinya dalam ilmu syar’iy dia harus tidak ikut berbicara dalam masalah-masalah semacam ini, sehingga tidak terjadi bahaya dan perusakan aqidah berlipat-lipat daripada manfaat dan perbaikan yang diangan-angankannya.” Fatwa Lajnah([6]) no. (30212) tanggal 7/1/1419 H yang membantah kitab “Ihkamut Taqrir”. Andaikata Al Halabiy mau menahan diri dan menyibukkan diri dengan apa yang dimampuinya dengan baik, karena yang demikian itu lebih selamat untuk agamanya.
2- Al Halabiy membikin kaidah-kaidah batil pada dirinya sendiri dalam masalah keimanan, dan dia meyakininya, kemudian dia berjalan mencari dalil untuknya tanpa pengetahuan dan penelitian dalam pendalilan. Terkadang dia mendatangkan dalil yang menyelisihi ucapannya tanpa disadarinya, dan terkadang dia memelintir nash-nash kepada apa yang dimauinya. Dan lebih berat dari itu dan lebih buruk lagi adalah: dia menyelewengkan ucapan ulama, memotongnya, mempermainkannya dan menyamarkannya, sebagaimana sebentara lagi akan bisa anda temui insya Alloh.
3- Termasuk dari pengkaburan yang dilakukan oleh Al Halabiy adalah bahwasanya dia memaparkan ucapan seorang imam yang mengandung lebih dari satu makna, kemudian dia berkata: “Dan inilah yang kami yakini dan kami ibadahi Alloh dengannya.” Dan kita tidak mengetahui makna yang manakah yang diinginkannya. Akan datang kepadamu contoh tentang itu.
4- Dia memotong nash-nash dan mengambil darinya apa yang disukainya dan mencocoki hawa nafsunya, serta meninggalkan dari nash tadi apa yang didak mencocokinya. Dan akan datang kepadamu penjelasannya insya Alloh.
5- Dia banyak sekali mencerca saudaranya para dai dan pelajar yang menyelisihinya dalam masalah-masalah ini dan dalam masalah yang lain, sampai bahkan orang yang menyelisihinya dalam masalah penshohihan hadits atau pelemahannya. Dan ini terkenal dan tersebar di dalam kitab-kitab dia. Tapi sebaliknya dia tidak mau berhadapan dengan orang-orang sekuler, ilhad, zandaqoh dan perusakan dengan sesuatu apapun, dan tidak menimpakan pada mereka seperempat saja dari apa yang dia timpakan kepada saudara-saudaranya. Wallohul musta’an.
6- Dia memandang dirinya termasuk dari tokoh-tokoh yang diberi wasiat untuk membawa salafiyyah dan manhaj salaf, sementara seluruh orang yang tidak mencocokinya berarti adalah kholafiy, bukan salafiy. Seakan-akan manhaj salaf adalah gudang untuk kelompok tertentu, atau terbatas di tempat tertentu.
7- Agar diketahui –demi Alloh Yang tiada sesembahan yang benar selain Dia- seandainya kasus ini sebagaimana yang dinyatakannya dalam bantahannya di hal. 38 sekedar kekeliruan ungkapan, atau kesalahan penukilan, atau kelalaian pemahaman, atau lupa dalam penukilan, niscaya kita termasuk orang yang pertama memberinya udzur. Akan tetapi kasus ini lebih besar daripada itu, yaitu: pembentukan dasar bagi madzhab irja dengan metode masa kini yang baru yang mempergunakan ucapan-ucapan salaf –yang terpotong dan terselewengkan- demi menetapkan madzhab yang buruk itu, dan menisbatkannya kepada salaf bahwasanya itu adalah madzhab mereka. andaikata mereka mencukupkan diri dengan itu. Bahkan mereka memperburuk gambaran madzhab yang benar yang mana itu adalah madzhab Ahlissunnah Wal Jama’ah dengan mereka menjadikannya sebagai madzhab khowarij, dan barangsiapa berpegang dengannya maka dia itu adalah khowarij. Kita mohon pertolongan kepada Alloh.
8- Sesungguhnya penulis kitab ini –dan hanya milik Alloh saja segala pujian- adalah termasuk orang yang paling menginginkan terkumpulnya kalimat dan bersatunya barisan, akan tetapi bukan dengan tebusan tauhid dan dasar agama. Maka tidaklah aku menulis tulisan ringkas ini –dan hanya milik Alloh saja segala pujian- karena aku senang terjadinya perpecahan atau pertengkaran, ataupun ingin perpecahan dan perselisihan, akan tetapi untuk menjelaskan kebenaran dan menunaikan tanggung jawab dan membela aqidah yang bersih, aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Semoga Alloh menjadikan kita termasuk di dalamnya dan menjadi penolongnya di dunia dan akhirat.
9- Sebagian ikhwah bertanya-tanya: “Kenapa Lajnah Daimah membantah Al Halabiy dan meninggalkan yang lain semacam Sayyid Quthb, Abul A’la Al Maududiy, dan yang lainnya. Dan ini telah disebutkan oleh Al Halabiy dalam lipatan-lipatan bantahannya.
Jawabnya adalah:
Yang pertama: Apakah telah dikirimkan kepada Lajnah pertanyaan tentang mereka dan kitab-kitab mereka, kemudian Lajnah tidak mau menjawabnya?
Yang kedua: seandainya Lajnah keliru karena tidak membantah kitab-kitab mereka dan tidak menjelaskan keadaan mereka, apakah ini berarti Lajnah keliru dalam membantah Al Halabiy dan menjelaskan keadaannya? Aku tidak mengira ada orang adil yang mengucapkan ini.
10- Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan kebanyakan orang-orang terakhir tidak bisa membedakan antara madzhab-madzhab salaf dan ucapan murjiah dan jahmiyyah: karena tercampurnya ini dengan itu dalam ucapan kebanyakan dari mereka dari kalangan orang yang di dalam batinnya berpendapat dengan pendapat jahmiyyah dan murjiah dalam masalah iman, sementara dia itu mengagungkan salaf dan ahlul hadits, sehingga dia mengira dirinya telah mengumpulkan antara dua madzhab atau mengumpulkan antara ucapan orang semisalnya dan ucapan salaf.”([7])
Beliau رحمه الله juga berkata: “… akan tetapi mereka mengira bahwasanya orang-orang yang membuat perkecualian dalam iman (mengucapkan : Aku mukmin insya Alloh) dari kalangan salaf, bahwa ini adalah sumber pengambilan mereka. Itu karena mereka dan yang semisal dengan mereka tidak paham ucapan salaf, bahkan mereka membantu apa yang nampak dari ucapan mereka dengan apa yang mereka terima dari ahli kalam dari kalangan jahmiyyah dan yang seperti mereka dari kalangan ahli bida’, sehingga tinggallah yang lahiriyyahnya adalah ucapan salaf, tapi batinnya adalah ucapan jahmiyyah yang mereka itu adalah orang yang paling rusak perkataannya tentang keimanan.”([8])
* * * * *
[Masuk kepada bantahan terhadap Ali bin Hasan Al Halabiy]
Tibalah saatnya untuk masuk kepada bantahan terhadap Ali bin Hasan Al Halabiy. Saya mohon pada Alloh pertolongan, taufiq dan kelurusan.
Al Halabiy berkata dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” (hal. 4-5): “… seputar dua kitabku tersebut: “Bahwasanya kedua kitab tadi mengajak kepada madzhab irja yang berupa bahwasanya amalan itu bukanlah syarat sah dalam iman” !
Maka aku (Al Halabiy) jawab: perkataan Murjiah yang busuk dan batil itu dibangun di atas keadaan mereka yang mengeluarkan amalan dari keimanan dan mereka berkata: “Keimanan itu hanyalah pembenaran dengan hati! Dan penggucapan lidah –saja-!!” sebagaimana datang sebagai hasil penelitian dalam fatwa Lajnah Daimah -yang dimuliakan- yang terdahulu (no. 21436) tanggal 8/4/1421 H. Maka amalan itu -menurut murjiah- bukanlah bagian dari iman –sama sekali, lebih-lebih untuk dibahas di situ dari mereka atau menurut mereka: -apakah amal itu bagian dari iman –atau di dalam iman([9])- sebagai syarat sah ataukah syarat kesempurnaan!!!- sampai pada ucapannya:- dan berdasarkan itu, maka apa yang dimaukan dengan “amalan” dalam peniadaan yang mereka nyatakan –ini- dari ucapan mereka –yang mereka nisbatkan kepadaku:- “Bahwasanya amalan itu bukanlah syarat sah dalam keimanan”!?
Selesai ucapan Al Halabiy.
Si penjawab (Asy Syaikh Ad Dausriy) –semoga Alloh memaafkannya- berkata:
Yang dimaukan dengan amalan di sini adalah amalan lahiriyyah -jenis amalan-. Syaikhul Islam berkata: “Dan murjiah itu mengeluarkan amalan lahiriyyah dari keimanan. Maka barangsiapa dari mereka memaksudkan mengeluarkan amalan hati juga, dan menjadikannya sebagai tashdiq (pembenaran), maka itu adalah kesesatan yang nyata. Dan barangsiapa memaksudkan mengeluarkan amalan zhohir, dikatakan pada mereka: amalan zhohir itu selalu menyertai amalan batin, tidak terpisah darinya. Dan hilangnya amalan zhohir itu adalah dalil akan hilangnya amalan batin. –sampai pada ucapan beliau:- dan para salaf itu sangat keras pengingkaran mereka terhadap murjiah manakala mereka mengeluarkan amalan dari iman. –sampai pada ucapan beliau:- dan juga, maka sikap mereka mengeluarkan amalan menunjukkan bahwasanya mereka mengeluarkan amalan hati juga. Dan ini batil secara pasti. Karena sungguh orang yang membenarkan Rosul صلى الله عليه وسلم dan membencinya dan memusuhinya dengan hatinya dan badannya, maka dia itu kafir secara pasti. Dan jika mereka memasukkan amalan hati ke dalam iman, maka mereka keliru juga([10]) karena tidak mungkin iman itu tegak di hati tanpa ada gerakan badan.”([11])
Dan Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan telah terdahulu bahwasanya jenis amalan itu termasuk dari konsekuensi iman hati, dan bahwasanya iman hati tanpa ada sedikitpun dari amalan lahiriyyah adalah tidak mungkin. Sama saja apakah amalan lahiriyyah itu dijadikan sebagai bagian dari konsekuensi iman ataukah bagian dari iman, sebagaimana telah terdahulu penjelasannya.”([12])
Jika ini telah jelas, maka sesungguhnya Al Halabiy dalam kedua kitabnya tersebut tidak berpendapat bahwasanya amalan zhohir itu termasuk bagian dari konsekuensi iman hati, tapi dia berpandangan bahwa amalan zhohir itu termasuk dari kesempurnaan iman, di mana dia berkata dalam “Shoihatu Nazhir” (hal. 27) menukilkan dari Syaikhul Islam ucapan beliau: “Dan hasil penelitian dalam masalah ini adalah: bahwasanya iman hati yang sempurna itu mengharuskan adanya amalan zhohir sesuai dengan kadar, tidak bisa tidak. Dan tidak mungkin keimanan yang sempurna itu tegak di dalam hati tanpa adanya amalan zhohir.”
Kemudian Al Halabiy memberikan komentar dalam catatan kaki terhadap ucapan Syaikhul Islam dengan berkata: “Dan tidak mungkin ada iman sempurna yang tegak di hati itu.” Dengan ucapannya (yaitu Al Halabiy): “Dan barangsiapa merenungkan pengait ini, terurailah untuknya kerumitan yang banyak: yaitu dengan pengait yang berupa ucapan Syaikhul Islam “sempurna”,” dan jadilah maknanya menurut Al Halabiy, bahwasanya mungkin di dalam hati itu keimanan tanpa amalan lahiriyyah, akan tetapi imannya itu kurang, adapun orang yang ingin keimanan yang sempurna maka harus ada amalan lahiriyyah.
Ini tidak dinginkan oleh Syaikhul Islam رحمه الله. Yang beliau maukan dengan ucapan beliau: “iman yang sempurna” adalah iman yang benar. Dan itulah yang sesuai dengan ucapan beliau رحمه الله yang telah lewat barusan: “Dan bahwasanya keimana hati tanpa sedikitpun dari amalan lahiriyyah adalah tidak mungkin.”
Dan ini juga sesuai dengan ucapan beliau رحمه الله : “Dan dengan ini engkau mengetahui bahwasanya barangsiapa hatinya itu beriman dengan keimanan yang pasti, tidak mungkin dia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat padahal dia mampu. Maka tidak maunya dia mengucapkan dua kalimat syahadat padahal dia mampu, maka hal itu mengharuskan hilangnya keimanan hati yang sempurna.” ([13]) Selesai.
Maka bagaimana pendapat Al Halabiy tentang ucapan yang ini? Barangsiapa tidak mau mengucapkan mengucapkan dua kalimat syahadat padahal dia mampu, apakah dikatakan “Hilang darinya kesempurnaan iman dan tersisa bersamanya asal iman”? jika dia menjawab: “Iya.” Maka sungguh dia mengucapkan perkataan yang besar. Jika dia menjawab: “Tidak,” maka dia telah mengakui bahwasanya dirinya telah keliru dalam memahami ucapan Syaikhul Islam.
Perkara lain, yaitu bisa kita katakan: Apa pandangan Al Halabiy tentang ucapan Syaikhul Islam([14]): “Karena sesungguhnya tidak mungkin ada iman yang sempurna di dalam hati tanpa ada ucapan ataupun amalan lahiriyyah.” Apakah beliau menginginkan dengan ucapan ini bahwasanya mungkin ada iman dalam hati tanpa ada ucapan lahiriyyah –yaitu tanpa dua kalimat syahadat-, sementara yang tidak mungkin hanyalah kesempurnaan iman? Atau apa?
Dan Al Halabiy menyebutkan juga pada halaman 28 dari “Shoihatu Nazhir” ucapan Syaikhul Islam tentang iman: “Dan asalnya adalah hati, kesempurnaannya adalah amalan lahiriyyah, …”
Dan dia mengira bahwasanya Syaikhul Islam memaksudkan dengan kesempurnaan adalah: kesempurnaan yang wajib dan mustahab. Dan ini adalah kekeliruan dari Al Halabiy dalam memahami ucapan Ibnu Taimiyyah رحمه الله karena sesungguhnya alur pembicaraannya menunjukkan bahwasanya asal iman yang ada di dalam hati itu tidak sempurna –yaitu: tidak sah- kecuali dengan amalan lahiriyyah, yang mana beliau berkata setelah itu: “… berbeda dengan Islam, karena asalnya adalah lahiriyyah, dan kesempurnaannya adalah hati.” Maka apakah ada orang yang berkata: “Cukup dalam Islam asalnya adalah amalan lahiriyyah tanpa kesempurnaannya yang ada di dalam hati?”
Maka berdasarkan sisi ini dipahamilah ucapan para imam dengan menggabungkan sebagiannya kepada sebagian yang lain, hingga sebagian ucapannya menafsirkan sebagian yang lain, bukannya si penukil mengambil apa yang mencocoki hawa nafsunya dan meninggalkan apa yang menyelisihinya.
Kemudian ketahuilah –semoga Alloh merohmatimu- bahwasanya jelaslah bagimu pemikiran murjiah dari Al Halabiy dari sisi lain, yaitu: dia menjadikan kekufuran itu hanya terbatas pada juhud (penentangan) dan takdzib (pendustaan) saja. Penjelasannya sebagai berikut:
Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan di sini ada dasar yang lain, yaitu bahwasanya hakikat keimanan itu tersusun dari ucapan dan amalan. Ucapan itu ada dua macam:
Ucapan hati, yaitu aqidah, dan ucapan lidah, yaitu berbicara dengan kalimat Islam.
Amalan itu ada dua macam:
Amalan hati, yaitu niat dengan keikhlasannya, dan amalan anggota badan.
Maka jika empat perkara ini hilang, hilanglah iman secara keseluruhan. Jika pembenaran hati itu hilang, tidaklah bermanfaat bagian-bagian yang lain, karena sesungguhnya pembenaran hati itu adalah syarat dalam keyakinannya dan bahwasanya dia itu bermanfaat.
Jika amalan hati itu hilang tapi masih ada keyakinan pembenaran, maka inilah medan tempur antara murjiah dan Ahlussunnah.
Ahlussunnah bersepakat akan hilangnya iman, dan bahwasanya pembenaran itu tidak bermanfaat bersamaan dengan hilangnya amalan hati, yaitu rasa cinta pada Alloh dan ketaatan pada Alloh.”
Selesailah ucapan Ibnul Qoyyim.
Dan ucapan hati yang mana dia itu berupa pembenaran, dia berhadapan dengan penentangan, pendustaan, pengingkaran dan penghalalan.
Amalan hati yang mana dia itu berupa ketaatan dan pengikutan pada Alloh itu berhadapan dengan ketidaksetiaan dan keberpalingan dari ketaatan. Maka Ahlussunnah bersepakat bahwasanya iman itu hilang dikarenakan ketidaksetiaan dan keberpalingan dari ketaatan, sekalipun tidak ada penentangan ataupun pendustaan.
Adapun murjiah maka sungguh mereka menyelisihi dalam hal itu dan berpandangan bahwasanya iman itu tidak hilang kecuali dengan hilangnya pembenaran –yaitu: dengan adanya penentangan dan pendustaan- . Maka jika telah jelas bagimu hal ini, maka sungguh Al Halabiy telah menetapkan di dalam kedua kitabnya tersebut bahwasanya kekufuran itu tidak terjadi kecuali dengan penentangan dan pendustaan.([15]) Dan dalil tentang ini –yaitu dia membatasi kekufuran dengan penentangan dan pendustaan saja- adalah sebagai berikut:
Penukilan Al Halabiy dari Asy Syaikh Abdul Lathif bin Abdirrohman bin Hasan Alisy Syaikh رحمه الله ucapan beliau: “Sesungguhnya kekufuran itu ada dua macam: kufur amal, dan kufur penentangan dan pembangkangan. Dan dia itu –yaitu kufur penentangan-: seseorang mengingkari –dengan menentang dan membangkang-perkara yang telah diketahuinya bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم membawanya dari sisi Alloh, yang berupa nama-nama Robb, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya yang asalnya adalah tauhid-Nya, dan peribadatan kepada-Nya satu-satunya tanpa sekutu bagi-Nya.”
Selesai dari “At Tahdzir” (hal. 6-7).
Al Halabiy menebalkan dan membesarkan tulisan itu ketika menyebutkan lafazh penentangan dan pembangkangan([16]) untuk menunjukkan bahwasanya kekufuran itu tidak terjadi kecuali seperti itu. Dan yang menunjukkan kita kepada ini adalah bahwasanya dia menukilkan pada catatan kaki, dari tiga orang ulama –yaitu Ibnu Hazm, Ibnul Qoyyim dan Adz Dzahabiy- bahwasanya mereka berpendapat –menurut Al Halabiy- bahwasanya kekufuran itu hanyalah penentangan.
Dan di sana ada perbedaan antara: penentangan itu adalah kekufuran, dan antara: kekufuran itu hanyalah berupa penentangan.
Yang pertama adalah: menjadikan penentangan itu sebagai suatu jenis dari jenis-jenis kekufuran. Dan ini adalah benar.
Yang kedua: membatasi kekufuran pada penentangan saja. Dan ini adalah batil.
Kemudian Al Halabiy menekankan itu –dengan perkara yang tidak menyisakan keraguan- dengan apa yang dinukilkannya dari Ath Thohawiy رحمه الله yaitu ucapan beliau: “Tidaklah seseorang itu menjadi kafir dari sisi dia itu dulunya muslim, dan islamnya itu dengan pengakuan dia terhadap Islam. Maka demikian pula kemurtadannya itu tidak terjadi kecuali dengan penentangan terhadap Islam.”
Selesai dari “At Tahdzir” (hal. 10).
Dia telah menghitamkan huruf dan menebalkannya ketika masuk ke ucapan: “Kecuali dengan penentangan terhadap Islam.” Dan aku tidak mengira adanya kesamaran bahwasanya peniadaan yang disertai dengan pengecualian itu adalah dalil tentang adanya pembatasan.
Kemudian dia menukilkan dari ucapan Asy Syaikh Hafizh Al Hakamiy dalam “A’lamus Sunnatil Mansyuroh”: “Kekufuran itu asalnya adalah penentangan dan pembangkangan yang mengharuskan adanya kesombongan dan kedurhakaan,” dalam keadaan Al Halabiy mengira bahwasanya Al Hakamiy mencocoki dia bahwasanya kekufuran itu hanyalah penentangan semata. Akan tetapi dugaan ini tidak benar, karena Asy Syaikh Hafizh Al Hakamiy رحمه الله menyebutkan setelah jawaban ini jawaban-jawaban yang banyak yang mencocoki aqidah Ahlussunnah. Andaikata Al Halabiy membacanya. Dan aku kira Al Halabiy telah membacanya karena tidak tergambarkan bahwasanya jawaban ini diambil tanpa dirinya membaca apa yang sebelumnya dan yang sesudahnya.
Kemudian dia menekankan juga dengan apa yang dinukilkannya –dengan pemotongan- dari ucapan Asy Syaikh Abdurrohman As Sa’diy dalam kitab beliau “Al Irsyad Ila Ma’rifatil Ahkam” (hal. 203): “Dan batasan kekufuran yang mencakup seluruh jenisnya dan macamnya serta individunya adalah: penentangan terhadap apa yang dibawa oleh Rosul –atau menentang sebagiannya-.”
Selesai dari “At Tahdzir” (hal. 11).
Dan Al Halabiy telah memotong nash ini –seperti kebiasaannya- agar mencocoki apa yang ditetapkannya yaitu: bahwasanya kekufuran itu tidak terjadi kecuali dengan penentangan. Jika tidak demikian, mengapa dia menghapus awal ucapan, yaitu ucapan beliau: “Orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah Islamnya, dengan ucapan, atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan.”?
Kemudian dia menyebutkan komentar terhadap ucapan yang dinukilnya tadi dengan ucapannya: “… karena sesungguhnya orang yang telah tetap baginya hukum Islam dengan keimanan yang pasti, dia itu hanyalah keluar dari Islam dengan penentangan terhadapnya atau pendustaan terhadapnya. Adapun jika dia itu ragu atau membangkang atau berpaling atau munafiq maka dia itu memang bukan mukmin -pada asalnya-.”
Selesai dari “At Tahdzir” (hal. 11) catatan kaki no. 1.
Kami jawab –semoga Alloh memaafkan-:
Seandainya tidak ada pada kitab Al Halabiy kecuali ini, niscaya itu cukup dalam menjelaskan aqidah dia tentang masalah ini dan bahwasanya dia membatasi kekufuran pada penentangan dan pendustaan semata. Kemudian apa perbedaan antara komentar ini dengan ucapan pemilik kitab “Ihkamut Taqrir” -yang mana Al Halabiy mengurusi pencetakannya- pada halaman 13: “Seorang muslim tidak dikafirkan kecuali jika dia mendustakan Nabi tentang apa yang beliau bawa dan beliau kabarkan, sama saja apakah pendustaannya itu berupa penentangan seperti penentangan Iblis dan Fir’aun ataukah berupa pendustaan yang memang bermakna pendustaan.” Yang mana Al Halabiy menyatakan bahwasanya dia berlepas diri dari pembahasan pemilik kitab “Ihkamut Taqrir” dan nampak padanya perkara kecil dan besarnya. Maka di manakah berlepas dirinya itu, sementara dia mengulang apa yang ditetapkannya dan mengulang apa yang ditekankannya?
Meskipun ucapan Al Halabiy bahwasanya dia berlepas diri itu juga tidak jelas, karena ucapan dia sendiri: “Sesuai dengan apa yang diyakini oleh para ulama Islam dan para tokoh pemimpin.” Maka siapakah yang dimaksudkannya dengan mereka itu? Apakah mereka itu yang dinukilkan di dalam “Ihkamut Taqrir” yaitu: Al Fakhrur Roziy dan Al Ghozaliy? Ataukah para ulama Ahlissunnah? Maka ucapan dia itu global dan butuh pada penjelasan.
Dan setelah ini, ini adalah sebagian dalil yang menunjukkan bahwasanya Al Halabiy membatasi kekufuran pada penentangan dan pendustaan saja.
Faidah:
Ketahuilah –semoga Alloh memeliharamu- bahwasanya barangsiapa membatasi kekufuran hanya pada penentangan dan pendustaan saja, maka konsekuensinya adalah dia harus mengeluarkan amalan hati dari keimanan. Dan barangsiapa mengeluarkan amalan hati, maka dia harus mengikuti ucapan Jahm, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam رحمه الله : “Akan tetapi mereka –yaitu murjiah- jika mereka tidak memasukkan amalan hati ke dalam iman, mereka harus menerima ucapan Jahm. Dan jika mereka memasukkan amalan hati ke dalam keimanan, mereka harus juga memasukkan amalan anggota badan, karena amalan anggota badan itu menyertai amalan hati dan tidak terpisah darinya.” ([17])
Al Halabiy berkata dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” hal. 5: “Maka jika dikatakan “amalan semuanya” maka ini adalah madzhab khowarij dan mu’tazilah sebagaimana diketahui bersama.” Selesai ucapan Al Halabiy.
Aku jawab -semoga Alloh memaafkan aku-:
Madzhab khowarij dan mu’tazilah adalah: mereka memandang bahwasanya masing-masing amal adalah syarat dalam sohihnya iman. Adapun Ahlussunnah Wal Jama’ah, mereka memandang bahwasanya jenis amalan itu adalah termasuk dari keharusan keimanan hati sebagaimana telah lewat penukilannya dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله . Dan ada perbedaan besar antara kedua madzhab ini.
Al Halabiy berkata dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” hal. 9: “Dan bab lain dari penjelasan untuk aku katakan: sesungguhnya buah dari istilah ini –syarat sah- dari sisi pengkafiran dan tidak adanya pengkafiran –menurutku- adalah benar-benar ucapan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab رحمه الله itu sendiri sebagaimana dalam “Ad Durorus Saniyyah” (1/hal. 102/karya Ibnu Qosim) dan “Tarikh Najd” (2/hal. 271/karya Ibnu Ghonnam): “… rukun Islam yang lima yang pertama adalah dua syahadat, kemudian empat rukun jika orang itu mengakuinya tapi meninggalkannya karena meremehkan, maka kami sekalipun kami memeranginya agar dia mengerjakannya maka kami tidak mengkafirkannya karena dia meninggalkannya. Dan para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang meninggalkannya –karena malas, bukan karena menentang-, dan kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang disepakati oleh para ulama –semuanya- yaitu dua syahadat.”
Selesai ucapan Al Halabiy.
Aku katakan –semoga Alloh memaafkan aku-:
Ucapan yang dinukilkan oleh Al Halabiy dari Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab رحمه الله itu menguatkan untukmu –wahai pembaca yang mulia- apa yang aku sebutkan terdahulu bahwasanya Al Halabiy tidak memandang jenis amalan sebagai bagian dari keharusan keimanan hati, bahkan cukup baginya dua syahadat bersama keyakinan hati. Dan dia mengira bahwasanya ucapan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab رحمه الله itu menunjukkan kepada yang demikian itu. Dia telah salah menduga sebagaimana dia juga salah dalam memahami ucapan Syaikh, yang mana dia menduga bahwasanya yang dimaukan oleh Syaikh رحمه الله dengan ucapan beliau: “… dan kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang disepakati oleh para ulama –semuanya- yaitu dua syahadat,” yaitu kami tidak mengkafirkan kecuali orang yang meninggalkan dua syahadat dan tidak datang dengan dua syahadat tersebut.
Pemahaman Al Halabiy terhadap ucapan tadi tidak benar, dan bukan pula hal itu maksud dari Syaikh رحمه الله. Bahkan yang dimaksudkan oleh Syaikh رحمه الله adalah bahwasanya: beliau tidak mengkafirkan kecuali orang yang membatalkan dua syahadat, sama saja: dengan ucapan ataukah dengan perbuatan. Dan ini diketahui dari kitab-kitab beliau dan surat-surat beliau([18]). Bahkan yang demikian adalah asal dakwah beliau. Oleh karena itulah perkara terbesar yang dituduhkan kepada beliau رحمه الله adalah ucapan mereka bahwasanya beliau mengkafirkan muslimin yang mengucapkan LA ILAHA ILLALLOH, melaksanakan sholat dan berpuasa.
Sebenarnya beliau itu رحمه الله hanyalah mengkafirkan orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam, yang mendatangkan dua syahadat tapi mereka membatalkannya dengan amalan mereka yang bersifat syirik, seperti doa kepada orang-orang sholih, minta pada mereka untuk menghilangkan kesulitan, menyembelih dan bernadzar untuk mereka, tidak seperti yang diduga oleh Al Halabiy bahwasanya Syaikh رحمه الله tidak mengkafirkan kecuali orang yang meninggalkan dua syahadat dan tidak mengucapkannya. Dan ini termasuk dari nash-nash yang didatangkan oleh Al Halabiy yang mengandung lebih dari satu makna([19]), lalu dia membikin terbentuknya dugaan yang keliru dan kesamaran.
Al Halabiy berkata dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” hal. 9: “Dan bab yang ketiga dari penjelasan, …
Kemudian dia menyebutkan ucapan Asy Syaikh Abdullathif bin Abdirrohman bin Hasan Alisy Syaikh tentang iman dan kufur, …
Aku jawab –semoga Alloh memaafkan aku-:
Yang dinukilkannya dari Asy Syaikh Abdullathif adalah ucapan yang kokoh, akan tetapi di dalamnya ada kalimat-kalimat yang mengandung kemungkinan yang bukan menjadi aqidah Asy Syaikh, disebutkan oleh Al Halabiy untuk membikin dugaan yang keliru, yaitu ucapan Syaikh: “Dan perselisihan tentang amalan anggota badan, apakah kufur ataukah tidak kufur? Ini terjadi di antara Ahlussunnah.”
Terkadang dipahami dari ini bahwasanya yang dimaksudkan dengan amalan anggota badan adalah jenis amalan anggota badan, sehingga ada orang yang mengira bahwasanya di antara Ahlussunnah ada perselisihan tentang orang yang meninggalkan jenis amalan, apakah dia itu kafir ataukah tidak kafir? Dan ini tidak benar sama sekali, dan benar-benar tidak diinginkan oleh Syaikh, dengan dalil bahwasanya beliau menyebutkan setelah ini kafirnya orang yang meninggalkan salah satu pondasi Islam, bukan orang yang meinggalkan seluruh amalan. Dan sebelum itu beliau menyebutkan ucapan beliau: “Dan jika suatu amalan itu hilang, seperti sholat, haji, jihad bersama dengan tetap adanya pembenaran hati dan penerimaannya, maka ini adalah tempat yang diperselisihkan: apakah iman itu hilang secara keseluruhan jika dia meninggalkan salah satu rukun Islam seperti sholat, haji, zakat dan puasa, ataukah tidak hilang?” selesai.
Maka seluruh pembicaraannya tidak ada di situ penyebutan jenis amalan([20]).
Jika engkau mengetahui ini, maka sesungguhnya Al Halabiy menyebutkan ucapan tadi untuk membikin dugaan yang keliru bagi orang yang tidak memahami hakikatnya. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya ucapan Al Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab “Ash Sholat” itu jauh lebih jelas daripada ini, maka kenapa dia meninggalkannya? Padahal diketahui bahwasanya Asy Syaikh Abdullathif itu menukil dari Ibnul Qoyyim رحمه الله . kepada Alloh kita mohon pertolongan.
Al Halabiy berkata dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” hal. 11: “Adapun apa yang datang pada halaman 6 catatan kaki kedua, maka asalnya adalah ucapan Asy Syaikh Abdullathif bin Abdirrohman bin Hasan Alisy Syaikh رحمهم الله … tentang bahwasanya kekufuran itu ada dua macam: kufur amalan dan kufur penentangan dan pembangkangan, … dst. Dan tidak ada tambahan ataupun penggabungan ataupun komentar dariku.” Selesai.
Aku jawab –semoga Alloh memaafkanku-:
Ini tidak benar, karena telah terjadi dari Al Halabiy komentar terhadap ucapan ini, yang mana dia menyebutkan di bawahnya penukilan-penukilan dari Ibnu Hazm, Ibnul Qoyyim dan Adz Dzahabiy –telah terdahulu ucapan tentang itu- dan dia mengira bahwasanya mereka membatasi kekufuran pada penentangan, maka bagaimana dia mengatakan bahwasanya dia tidak memberikan komentar terhadapnya?
Kemudian sesungguhnya Al Halabiy tidak menyempurnakan penukilan dari Asy Syaikh Abdullathif, bahkan dia mengambil apa yang diduganya mencocoki madzhabnya yang membikin jatuh itu, dan meninggalkan ucapan beliau yang menjelaskan madzhab yang benar. Silakan kalian baca ucapan Asy Syaikh Abdullathif secara lengkap tanpa pemotongan:
Yang mana beliau رحمه الله berkata: ([21])”Pertama: Dasar yang keempat: kufur amalan dan kufur penentangan dan pembangkangan, yaitu dia mengingkari perkara yang telah diketahui bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم membawanya dari sisi Alloh, yang berupa nama-nama Robb, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya yang asalnya adalah tauhid-Nya, dan peribadatan kepada-Nya satu-satunya tanpa sekutu bagi-Nya. [dan ini menentang keimanan dari segala sisi. Adapun kufur amalan, maka di antaranya ada yang menentang keimanan seperti sujud kepada patung, menghina mushaf, membunuh Nabi dan mencaci beliau] dan seterusnya.
Yang di antara tanda kurung itu dihapus oleh Al Halabiy. Maka perhatikanlah –wahai orang yang adil, semoga Alloh memeliharamu- bagaimana Asy Syaikh Abdullathif mendefinisikan dua macam kekufuran – kufur amalan dan kufur penentangan dan pembangkangan – kemudian al Halabiy mencukupkan diri dengan penukilan pengenalan salah satu jenis yang mencocoki madzhabnya –yaitu kufur penentangan dan pembangkangan – dan meninggalkan kufur amalan. Maka apa yang akan kita katakan? Kepada Alloh saja kita minta pertolongan.
Al Halabiy berkata dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” hal. 12: “Dan demikianlah Al Imam Ibnul Qoyyim dalam “Ash Showa’iqul Mursalah” (2/hal. 421). Dan aku telah menukilkan semacam itu juga dari Al Imam Adz Dzahabiy dalam “Al ‘Uluw” (hal. 214). Maka mana ucapanku? Dan di manakah pembatasan yang kulakukan? Dan tidak ada kecuali penukilan-penukilan ilmiyyah ini!! Bahkan tidak ada di dalamnya kata apapun (!) dari lafazhku ataupun lafazh yang lebih kecil dari ucapanku!! Adapun Adz Dzahabiy dan Ibnul Qoyyim, maka keduanya adalah dua imam yang salafiy dan bersih. Maka yang wajib adalah membawa ucapan keduanya kepada yang dominan, bukan kepada pembatasan saja!!!
Kemudian kenapa penukilanku dari keduanya –dan itu adalah benar-benar ucapan dan perkataan kedua- tidak dibawa kepada yang demikian itu juga, dan itulah asalnya?”
Selesai ucapan Al Halabiy.
Aku jawab –semoga Alloh memaafkanku-:
Yang pertama: ucapan dia: (maka di manakah ucapanku?)
Jawabanku: sesungguhnya penukilanmu dari para imam tersebut, apa yang dimaukan? Bukankah itu adalah apa yang engkau yakini dan dengannya engkau menyembah Alloh?
Kedua: adapun ucapannya: (Dan di manakah pembatasan yang kulakukan?)
Jawabanku: telah lewat penunjukannya di hal. 36-38 dari risalah ini([22])
Ketiga: ucapan dia: (Dan tidak ada kecuali penukilan-penukilan ilmiyyah ini..).
Aku jawab: bukanlah yang terpandang itu penukilannya, akan tetapi yang penting adalah pemahamannya. Penukilannya benar, tapi pemahamannya sakit.
Keempat: ucapannya: (Kemudian kenapa tidak dibawa penukilanku dari keduanya …)
Aku jawab: Sesungguhnya kedua imam tersebut Ibnul Qoyyim dan Adz Dzahabiy adalah dua salafiy yang telah dikenal dengan kesalafiyahannya dan pertolongannya terhadap madzhab Ahlussunnah. Maka jika keduanya berbicara secara global di suatu tempat, maka keduanya telah menerangkan perincian perkara global tadi di tempat-tempat yang lain. Adapun Al Halabiy maka tidak dikenal darinya kecuali pertolongannya untuk madzhab murjiah. Dan Al Halabiy mengqiyaskan dirinya kepada kedua imam tadi adalah qiyas yang rusak karena perbedaan asal dan cabangnya.
Yang kelima: sesungguhnya ucapan Ibnul Qoyyim yang disebutkan oleh Al Halabiy dan nashnya adalah: “… maka barangsiapa menentang sedikit saja dari apa yang dibawa oleh Rosul صلى الله عليه وسلم setelah dia mengetahuinya bahwasanya beliau mendatangkan perkara tadi, maka orang ini kafir dalam perkara agama yang kecil dan besarnya.” Dan tidak ada di dalamnya pembatasan kekufuran pada penentangan saja sebagaimana yang diduga oleh si penulis, hanya saja Ibnul Qoyyim menjadikan penentangan sebagai salah satu sebab kekufuran, bukan menghalangi bahwasanya yang lain juga bisa menyebabkan kekufuran.
Al Halabiy berkata dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” hal. 13: “Adapun sisi kedua, maka aku katakan: aku telah menukilkan dalam “At Tahdzir” hal. 11 dari Al ‘Allamah Asy Syaikh Abdurrohman As Sa’diy رحمه الله : “…Dan batasan kekufuran yang mencakup seluruh jenisnya dan macamnya serta individunya …” dan aku telah mengomentarinya di sana dengan ucapanku: dengan berbaik sangka kepada ulama, membawanya kepada kemungkinan yang terbaik.”
Aku jawab –semoga Alloh memaafkanku-:
Yang pertama: Asy Syaikh Ibnu Sa’diy tidak butuh kepada baik sangka si Halabiy kepada beliau ataupun kepada ucapan beliau yang dinukilnya dari beliau. Tidak ada pada ucapan Asy Syaikh kemungkinan yang buruk sehingga harus dibaiksangkai. Ibnu Sa’diy telah menjelaskan sebelum ucapan beliau yang dinukil oleh Al Halabiy dari beliau bahwasanya beliau tidak membatasi kekufuran pada penentangan. Dan berikut ini ucapan beliau secara lengkap tanpa dipotong:
“Orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah islamnya orang itu, dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan. Dan batasan kekufuran yang mencakup seluruh jenisnya … dst.”
Yang kedua: ucapan Halabiy: (di manakah pembatasan?)
Aku jawab –semoga Alloh memaafkan aku-:
Yang menjelaskan adanya pembatasan –pada ucapan Al Halabiy- adalah sebagai berikut:
1- Dia menukilkan ucapan Ibnu Sa’diy secara terpotong karena dia mengira bahwasanya beliau mencocoki madzhab Al Halabiy yang berupa pembatasan kekufuran dengan penentangan. Jika tidak demikian, kenapa dia berpaling dari awal ucapan yang menjelaskan bahwasanya kekufuran itu dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan?
2- bahwasanya Al Halabiy mengomentari penukilan tadi dengan ucapannya: “Karena sesungguhnya orang yang telah tetap untuknya hukum Islam dengan keimanan yang pasti, dia itu hanya keluar dari Islam dengan penentangan terhadapnya atau pendustaan terhadapnya.”
Maka katakan padaku –demi Robbmu- ini pembatasan atau apa? Apa perbedaan antara ini dengan apa yang ditetapkan dalam “Ihkamut Taqrir” hal. 13: “Tidaklah dia itu kafir kecuali jika dia mendustakan Nabi tentang apa yang beliau bawa dan beliau kabarkan, sama saja apakah pendustaannya itu berupa penentangan seperti penentangan Iblis dan Fir’aun ataukah berupa pendustaan yang memang bermakna pendustaan.”
3- Ucapan dia: “Adapun jika dia itu ragu atau membangkang atau berpaling atau munafiq, maka sungguh dia itu pada asalnya bukanlah mukmin.” Seakan-akan keraguan atau pembangkangan atau keberpalingan atau kemunafiqan itu tidak datang setelah adanya keimanan, tapi yang datang itu hanyalah penentangan dan pendustaan. Maka kembalilah perkaranya kepada bahwasanya kekufuran itu tidak terjadi kecuali dengan dua perkara tadi –yaitu: penentangan dan pendustaan-.
Adapun ucapannya pada halaman 13: “Dan aku tambahkan –di sini- penjelas yang lebih banyak dan lebih banyak lagi, … -sampai pada ucapan dia:- terkadang datang pada sebagian muslimin keraguan atau pembangkangan, atau …, atau … sampai akhir dari perkara yang terkadang dengan itu mereka keluar dari agama Islam, …”
Aku jawab:
Al Halabiy tidak ingin mengakui kesalahannya dan bahwasanya Lajnah itu benar dalam kritikannya kepadanya, maka dirinya membikin pengkaburan dengan ucapan. Maka Lajnah Daimah ketika mengkritik, mereka itu hanyalah mengkritik dia kitab yaitu: “At Tahdzir Min Fitnatit Takfir” dan “Shoihatu Nadzir Bi Khothorit Takfir” dan Lajnah tidaklah mengkritik risalah “Al Ajwibatul Mutalaimah.” Maka perbaikan kesalahan yang dikakukannya dalam bantahannya ini -”Al Ajwibatul Mutalaimah”- atau menambahi di dalamnya dengan sesuatu, maka tidaklah ini bermakna bahwasanya Lajnah itu keliru dalam kritikan mereka terhadapnya. Maka orang yang adil akan berkata: “Iya, aku keliru pada sisi ini. Dan yang benar adalah demikian dan demikian, …” kemudian dia menulis apa yang ingin diperbaikinya. Adapun menentang perkara yang sangat jelas dan berbelit-belit serta berkelit, maka ini bukanlah jalan pencari kebenaran. Ini hanyalah jalan pengekor hawa nafsu. Kita mohon pada Alloh keselamatan.
Adapun ucapan dia di halaman 14 tentang pembagian kekufuran menurut Ibnul Qoyyim: “Maka apa yang akan kita katakan? Dan akan kembali kemana? Dan apa sisi argumentasinya?”
Aku jawab –semoga Alloh memaafkan aku-:
Yang pertama: ada perbedaan antara jenis kekufuran dan sebab kekufuran. Maka jenis kekufuran itu banyak dan telah dikenal, seperti kekufuran penentangan dan pendustaan, kekufuran keberpalingan, kekufuran kesombongan, dan kekufuran kemunafiqan.
Adapun sebab-sebab kekufuran itu tidak keluar dari ucapan, atau amalan, atau keyakinan, yang syariat menetapkan bahwasanya dia itu adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama. Dan yang terpandang dalam hukum hanyalah sebab-sebabnya, bukan jenis-jenisnya. Jenis-jenis kekufuran itu disebutkan hanya sebagai tafsir saja.
Yang kedua: kita katakan: sesungguhnya pembagian ini datang dengannya seorang imam salafiy yang memandang bahwasanya keimanan itu adalah ucapan dan perbuatan, dan bahwasanya kekufuran itu terjadi dengan amalan sebagaimana bisa terjadi dengan keyakinan. Lihatlah ketika beliau رحمه الله berkata dalam kitab “Ash Sholah” hal. 51: “Di sana ada dasar yang lain, yaitu sesungguhnya kekufuran itu ada dua macam: kufur amal, dan kufur penentangan dan pembangkangan. Dan dia itu –yaitu kufur penentangan-: seseorang mengingkari –dengan menentang dan membangkang-perkara yang telah diketahuinya bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم membawanya dari sisi Alloh, yang berupa nama-nama Robb, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya. Dan ini adalah kekufuran yang menentang keimanan dari segala sisi. Adapun kekufuran amalan itu terbagi menjadi amalan yang menentang keimanan, dan amalan yang tidak menentang keimanan, … dst.”
Dan akan datang ucapan ini dengan lengkap insya Alloh. Maka jika ucapan beliau ada kesamaran di suatu tempat, kita kembalikan kepada ucapan beliau yang jelas sehingga menjadi jelaslah hukumnya dari madzhab imam ini. Lagi pula pembagian beliau ini jelas –alhamdulillah- bahwasanya beliau tidak membatasi kekufuran pada penentangan saja, yang mana beliau رحمه الله berkata sebagaimana yang dinukilkan oleh Al Halabiy dalam pembagian kekufuran: “Pertama: kekufuran yang muncul dari kebodohan, kesesatan, dan membebek para pendahulu.”
kekufuran yang muncul dari kebodohan itu tidak ada di dalamnya penentangan ataupun pendustaan –sekalipun mengharuskan adanya hal itu dan tidak muncul kecuali dengan itu-, karena kebodohan itu adalah kosongnya jiwa dari ilmu. Maka orang ini tidak mengetahui sedikitpun sampai menentangnya atau mendustakannya.
Dan membebek kepada pendahulu itu tidak mengharuskan adanya pendustaan ataupun penentangan. Dalilnya adalah: bahwasanya Abu Tholib tidaklah mendustakan Nabi صلى الله عليه وسلم . dia itulah yang berkata: “Mereka telah mengetahui bahwasanya anak kami tidak didustakan di sisi kami, dan dia tidak bermaksud berkata batil.” Akan tetapi yang menghalangi dia beriman adalah karena dia membebek kepada para pendahulunya, dan marah demi agama kaumnya. Maka apakah ada satu orang dari Ahlussunnah yang meragukan kekafirannya?
Beliau رحمه الله juga berkata: “Ketiga: kekufuran keberpalingan yang murni.”
Dan keberpalingan itu adalah dengan hatinya dan dengan pendengarannya, sebagaimana beliau sendiri menyebutkan dalam “Madarijus Salikin” (1/hal. 366-267) yang mana beliau berkata: “Adapun kekufuran keberpalingan adalah: orang itu berpaling dengan pendengarannya dan dengan hatinya dari Rosul صلى الله عليه وسلم . dia tidak membenarkan beliau dan tidak pula mendustakan beliau, tidak berloyalitas pada beliau dan tidak pula memusuhi beliau. Dia tidak mencondongkan pendengarannya pada apa yang beliau bawa sama sekali, …dst.” Orang yang berpaling ini tidak membenarkan, tidak pula mendustakan, tidak berloyalitas, dan tidak pula memusuhi, tidak menentang dan tidak pula menyetujui.
Maka inilah pembagian tersebut, dan inilah yang menjadi rujukan, dan inilah sisi yang benar. Maka apakah engkau melihat di dalamnya ada pembatasan kekufuran pada penentangan atau pendustaan?
Al Halabiy berkata dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” (hal. 14): “Kemudian dari bab yang lain: apakah Al ‘Allamah As Salafiy Ibnu Sa’diy رحمه الله dituduh mencocoki aqidah irja atau mencocoki murjiah? Atau apa?”
Aku jawab –semoga Alloh memaafkan aku-:
Inilah dia teror yang dipakai oleh kaum Quroisy terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم ketika mereka berkata kepada beliau: “Apakah engkau lebih baik ataukah ayahmu Abdulloh? Apakah engkau lebih baik ataukah kakekmu Abdul Muththolib?” terus-menerus teror macam ini dipakai untuk mengharuskan para penyelisih mengikuti apa yang tidak menjadi keharusan.
Aku ulang-ulang lagi, bahwasanya cacat yang terjadi itu bukan pada perkataan yang dinukilnya, akan tetapi cacatnya adalah penukilannya dan pemahamannya. Al Halabiy menukilkan dengan penukilan-penukilan yang terpotong-potong yang lemah, dan berkata: “Ini adalah ucapan fulan, dan ini adalah aqidah fulan.” Soalnya jika tidak demikian, telah kita lewati bahwasanya Al Halabiy memotong ucapan As Sa’diy رحمه الله dan mengambil dari ucapan beliau apa yang mencocoki dirinya dan meninggalkan apa yang menyelisihinya. Dan setiap ucapan yang jelas itu jika dipotong, berubahlah maknanya. Bahkan bisa jadi maknanya akan menentang apa yang dimaukan. Tidakkah engkau melihat firman Alloh عز وجل :
﴿فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ﴾ [الماعون: 4، 5]
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. Yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya.”
Seandainya sang pembaca berhenti pada firman Alloh ta’ala: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat ” bagaimana jadinya maknanya?
Berapa banyaknya orang yang mencela ucapan yang benar, sementaranya penyakitnya adalah dari pemahaman yang sakit.
(selesai terjemah bagian pertama dari risalah ini, insya Alloh dilanjutkan ke seri dua)
([1]) Sudah saya dahulukan penyebaran terjemahannya karena memang lebih dulu selesai diterjemahkan, dan sebagian ikhwah ingin saya segera melanjutkan penjelasan tentang kasus tokoh ini. Semoga Alloh menolong dan mempermudah.
([2]) Lihat “Al Jawabush Shohih” karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (6/hal. 343). Ungkapan ini juga telah datang dari Waki’ ibnul Jarroh رحمه الله sebagaimana di “Sunan Ad Daroquthniy” (1/hal. 26/no. 32).
([3]) Lihat “Majmu’ul Fatawa” (7/hal. 394-395)
([4]) Dijadikannya pengkafiran sebagai suatu fitnah dan bahaya secara mutlak seperti itu merupakan kebodohan belaka. Asy Syaikh Sulaiman bin Samhan رحمه الله berkata: “Para shohabat رضي الله عنهم telah mengkafirkan orang-orang yang mereka kafirkan dari kalangan orang-orang yang murtad dengan beraneka jenisnya. Dan Ali mengkafirkan orang-orang yang ghuluw (berlebihan) terhadap beliau. Dan para ulama sepeninggal beliau telah mengkafirkan Qodariyyah dan yang seperti mereka, seperti mereka mengkafirkan Jahmiyyah, mereka membunuh Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shofwan dan orang yang mengikuti pendapat mereka. dan mereka juga membunuh para zanadiqoh. Demikianlah para ahli ilmu, fiqh dan hadits di setiap generasi dan zaman ada kelompok yang tegak mengkafirkan orang yang dikafirkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, dan tegak dalil tentang kekafirannya, dan mereka tidak menjauh dari yang demikian itu. Bahkan mereka berpandangan bahwasanya itu merupakan bagian dari kewajiban agama dan kaidah-kaidah Islam. Dalam hadits:
«منبدلدينهفاقتلوه».
“Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.”
([5]) Yang benar adalah (الجواب عن الشيء) bukan (الجواب على الشيء), sehingga judul yang lebih sesuai adalah: (الأجوبة المتلائمة عن فتوى اللجنة الدائمة)
([6]) Catatan Abu Fairuz: yang dipimpin dan ditanda tangani oleh Al Imam Ibnu Baz رحمه الله.
([7]) “Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 364.
([8]) “Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 143.
([9]) Demikianlah dengan pengulangan dhomir-dhomir, dan dia itu –tidak jelas apa yang dimaukannya- meniadakan kefasihan, merupakan kecacatan menurut ahli ilmu Bayan.
([10]) Yaitu: sikap mereka mengeluarkan amalan lahiriyyah.
([11]) “Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 554-556
([12]) “Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 616
([13]) “Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 553
([14]) “Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 562
([15]) Yang mana Al Halabiy berkata dalam kitabnya “Shoihatu Nadzir” hal. 39: “Kaidah “tidak dikafirkan dengan itu seorang muslim” menurut Ahlussunnah itu dibangun di atas ilmu dan pengetahuan –secara kaidah dan prinsip- kemudian bercabang dari keduanya:
Bisa jadi berupa:
Pertama: keyakinan: penentangan dan pendustaan
Atau kedua: menganggap halal, pengharoman sesuatu yang halal, dan menghalalkan perkara yang harom, -sampai pada ucapannya-, dan inilah kaidahnya, dan inilah yang kami pelajari dari para masyayikh kami, dan kami mengambilnya dari ulama kami –yang dulu dan sekarang- secara bacaan ataupun juga langsung dari lisan.”
Dalil apa yang lebih besar daripada ini yang menunjukkan bahwasanya Al Halabiy itu membatasi kekufuran itu hanya terbatas pada penentangan dan pendustaan, karena muslim itu menurut dirinya –dan kata dia: menurut Ahlussunnah juga- tidak menjadi kafir sampai dia itu menentang atau mendustakan atau menghalalkan. Maka di manakah amalan jika demikian?!!
Kemudian perhatikanlah bahwasanya itu tadi adalah suatu kaidah menurut Ahlussunnah, yang telah dipelajari oleh Al Halabiy dari para masyayikhnya dan diambilnya dari para ulama –yang dulu dan yang sekarang- secara bacaan dan langsung dari mulut mereka! jika begitu, maka masalahnya bukan sekedar kesalahan dalam pengungkapan, atau kekeliruan dalam penukilan, atau kelalaian dalam pemahaman, atau kelupaan dalam penukilan seperti yang dikatakannya dalam “Al Ajwibatul Mutalaimah” hal. 38.
([16]) Bersamaan dengan bahwasanya Al Halabiy memandang bahwasanya kufur pembangkangan itu adalah kufur asli, bukan sesuatu yang datang kemudian, sebagaimana akan datang penjelasannya di halaman 38 dari risalah ini (risalah asli “Rof’ul Laimah”).
([17]) “Majmu’ul Fatawa” (7/hal. 194).
([18]) Di antaranya adalah ucapan beliau dalam “Kasyfusy Syubuhat”: “Hendaknya kita mengakhiri pembicaraan dengan satu masalah yang agung yang penting, yang engkau memahaminya dengan apa yang telah lalu, tapi kami menyendirikan pembicaraan ini karena keagungan kadarnya, dan karena banyaknya kekeliruan di dalamnya. Kita katakan: tidak ada perselisihan bahwasanya tauhid itu harus dengan hati, lidah dan amalan. Jika sedikit saja dari ini ada kecacatan, maka orang itu bukanlah seorang muslim. Jika dia mengetahui tauhid tapi tidak mengamalkannya, maka dia itu kafir pembangkang seperti Fir’aun, Iblis dan yang semisal dengan mereka.”
([19]) Karena ucapan Asy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab رحمه الله : “… dan kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang disepakati oleh para ulama –semuanya- yaitu dua syahadat,” memungkinkan bahwasanya kufurnya orang itu karena dia meninggalkan dua syahadat atau membatalkannya. Jika engkau berkata: “Bagaimana engkau tahu bahwasanya Al Halabiy memaksudkan yang meninggalkan dua syahadat bukan yang membatalkannya?”
Aku jawab: karena Al Halabiy tidak memandang sedikitpun dari amalan yang membikin kafir itu sebagai pembatal dengan sendirinya. Dan ini mengharuskan setiap orang yang membatasi kekufuran pada penentangan dan pendustaan. Maka tidak tersisa kecuali kemungkinan yang pertama, yaitu bahwasanya kekufuran itu terjadi karena meninggalkan dua syahadat.
([20]) Catatan Abu Fairuz –semoga Alloh membimbingnya-: Yaitu: Asy Syaikh Abdullathif memaksudkan adanya perselisihan tentang orang yang meninggalkan salah satu dari individu amalan yang menjadi pondasi Islam, bukannya orang yang meninggalkan jenis amalan. Kalau tentang jenis amalan, maka orang yang meninggalkannya –yaitu meninggalkan amalan secara keseluruhan, tinggal jenis keyakinan dan jenis ucapan saja misalkan, maka dia itu kafir tanpa ada perselisihan di kalangan Ahlussunnah. Wallohu a’lam.
([21]) “Ad Durorus Saniyyah” (1/hal. 480).
([22]) Kata Abu Fairuz: dalam kitab aslinya: “Rof’ul Laimah.”